Konten dari Pengguna

Ratusan Murid SMP di Buleleng Tidak Bisa Baca, Apa Itu Salah Guru SD?

I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa
Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olah Raga Kabupaten Badung & Alumni Pascasarjana Undiksha
22 April 2025 9:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru ASN Kota Bogor mencairkan suasana sebelum memulai pembelajaran di SDN Loji 2 Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat, (29/11/2024). Foto: Arif Firmansyah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Guru ASN Kota Bogor mencairkan suasana sebelum memulai pembelajaran di SDN Loji 2 Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat, (29/11/2024). Foto: Arif Firmansyah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan viralnya berita sebanyak sekitar 363 orang siswa SMP di Kabupaten Buleleng, Bali tidak bisa membaca. Siswa yang tidak bisa membaca hampir bisa dipastikan tidak akan bisa menulis. Berbagai tudingan dan vonis dijatuhkan di insan pendidik. Kualitas guru, sekolah, hingga pejabat yang membidangi pendidikan jadi sorotan. Apa yang sebenarnya terjadi?
ADVERTISEMENT
Secara statistik, ini patut diapresiasi karena adanya temuan ini disampaikan oleh Dewan Pendidikan yang notabene bertugas membantu Bupati dalam memberi masukan pada bidang pendidikan. Hal ini juga tidak dibantah oleh unsur Dinas Pendidikan. Ini menunjukkan transparansi data sehingga terjadi diskursus yang konstruktif di ruang publik. Jika survei ini dilakukan di daerah lain, tidak menutup kemungkinan juga ditemukan banyak hal serupa.
Jika melihat dari sisi kognitif, hal ini sangat mungkin terjadi. Terutama jika anak mengalami disabilitas kognitif atau intelligency quotient (IQ) siswa berada di bawah rata-rata. Jika ini penyebabnya, maka semestinya siswa tidak bersekolah di sekolah reguler/direkomendasikan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pada tahap refleksi pembelajaran, ini menjadi momentum yang penting di mana seorang guru mampu mengidentifikasi siswa yang “istimewa” dan membutuhkan perhatian khusus. Apabila teridentifikasi lebih awal, satuan pendidikan bisa melakukan konseling kepada siswa dan orang tua untuk dilakukan pendampingan bersama psikolog.
ADVERTISEMENT
Sesuai pengalaman lapangan penulis, banyak orang tua merasa malu bahkan marah jika anaknya akan didampingi psikolog. Ada juga orang tua yang menutup diri dan tidak mau hadir karena alasan ini. Untuk itu, peran satuan pendidikan sangat penting di awal tahun ajaran untuk menyamakan persepsi dengan para orang tua terkait program sekolah, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek konseling yang mendukung iklim inklusivitas.
Mengingat guru tidak berwenang menyatakan bahwa siswa itu adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), maka penting bagi Dinas Pendidikan untuk concern dalam membangun iklim inklusivitas. Salah satunya dengan menyediakan atau merekomendasikan tenaga ahli psikolog yang memadai.
Sebagai contoh di Kabupaten Badung, tenaga ahli psikolog yang dibantu oleh puluhan guru pendamping khusus (GPK) secara intensif memberikan pendampingan kepada siswa istimewa, para orang tua, serta guru, sehingga guru memahami teknik inklusivitas yang berdampak pada siswa nantinya akan mendapat perlakuan dengan benar, baik oleh guru maupun orang tuanya. Jika siswa istimewa tidak diperlakukan sesuai level kognitifnya, maka akan sulit terjadi kemajuan serta penggalian minat bakat.
ADVERTISEMENT
Tidak semua siswa yang dikonseling oleh psikolog/GPK adalah siswa yang berkebutuhan khusus. Ada pula siswa yang tidak bisa membaca disebabkan oleh faktor eksternal, seperti kecanduan game, terlalu banyak screen time (bermain HP/laptop), serta kurangnya rasa nyaman di rumah akibat broken home di dalam kehidupan rumah tangga. Siswa yang IQ nya memadai masih bisa dibimbing di sekolah reguler dengan mengedepankan prinsip inklusivitas. Pendekatan ini memberikan ruang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kemampuan akademis untuk bisa mengenyam pendidikan dengan aman dan nyaman.
Apabila siswa memang tergolong ABK dan dipandang tidak bisa dibina di sekolah reguler, maka Dinas Pendidikan dapat memberikan rekomendasi untuk bersekolah di SLB. Ini membutuhkan komunikasi dan komitmen yang kuat dari orang tua. Jika dipaksakan bersekolah di sekolah reguler, sangat kecil kemungkinan siswa dapat diasah bakatnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa siswa yang mendapat rekomendasi dan orang tuanya komitmen memindahkan anaknya ke SLB, justru akhirnya siswa menemukan bakatnya, seperti bisa memasak, membuat kerajian, dan sebagainya. Apabila siswa termasuk ABK, satuan pendidikan melalui operator sekolah wajib mendata siswa tersebut pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sehingga menjadi bahan untuk tindak lanjut pada level nasional/daerah.
Jangan lupa bahwa kurikulum merdeka memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik yang istimewa, untuk dapat disesuaikan kurikulumnya di sekolah reguler, jika siswa tersebut dipandang masih bisa dididik di sana. Jadi guru akan memberikan perlakuan khusus kepada siswa tersebut serta mengajak para siswa lain dan orang tua untuk membangun semagat inklusivitas.
Banyak kalangan berpikir bahwa tidak naik kelas adalah solusi untuk menjaga kualitas lulusan siswa SD. Padahal sesuai panduan pembelajaran dan asesmen yang diterbitkan Kemendikdasmen (sebelumnya Kemdikbud), tinggal kelas adalah jalan terakhir jika aspek kognitif, sikap, dan perilaku siswa serta komitmen orang tua sudah tidak menemui titik terang. Secara kognitif juga siswa yang tinggal kelas akan terus merasa tertinggal dan cenderung tidak berupaya untuk belajar. Oleh sebab itu, tinggal kelas bukan upaya solutif.
ADVERTISEMENT
Saat pembagian rapor, guru juga perlu melakukan pencatatan pada rapor siswa, utamanya dalam catatan wali kelas, bahwa siswa merupakan anak yang istimewa, disebutkan kelebihannya dan kekurangannya namun dalam bahasa positif. Apabila nanti siswa tersebut sudah lulus, maka guru di jenjang selanjutnya bisa memahami rekam jejak siswa tersebut, termasuk adanya permasalahan intelektual maupun sosial yang dialami siswa. Catatan wali kelas acapkali dianggap remeh dan ditulis seadanya, bahkan seringkali sama untuk semua siswa. Padahal catatan ini menunjukkan level guru dalam mengidentifikasi kekhasan siswa dan melakukan komunikasi secara formal dengan orang tua.
Sinergi dengan orang tua juga perlu dilakukan di awal siswa masuk sekolah kelas 1 SD. Mengingat siswa TK tidak bisa diajarkan membaca, hanya pengenalan huruf dan angka, maka orang tua di masa kelas 1 perlu memberikan support dan latihan rutin, memberikan buku penunjang dan lain-lain. Guru juga bisa memanfaatkan games dan metode yang variatif sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Bayangkan siswa TK yang biasanya bermain kini memasuki fase mengajar. Tentu ini hal yang tidak mudah dan memerlukan perjuangan ekstra bagi guru agar anak betah di kelas dan pikirannya tidak mengembara. Sinergi sekolah, keluarga dan masyarakat semestinya selalu menjadi pijakan.
ADVERTISEMENT
Sekolah bisa memperbanyak slogan literasi. Sangat baik apabila siswa dilibatkan dalam membuat slogan tersebut. Secara kolaboratif orang tua tentu akan terlibat dan mendukung proses pembelajaran.
Guru pada jenjang SMP juga perlu memiliki semangat yang sama dalam inklusivitas. Oleh karena itu diperlukan penelusuran mendalam terkait penyebab siswa tidak bisa membaca, apakah dalam rapor sudah teridentifikasi sebelumnya dalam catatan wali, karena IQ yang kurang atau faktor eksternal. Komunikasi lintas jenjang juga perlu dlilakukan untuk menghindari ego sektoral karena tentu saja para guru di masing-masing jenjang sudah melakukan upaya untuk siswa.
Mengingat pendidikan bukan hal instan, proses ini membutuhkan dukungan holistik dan berkesinambungan. Semoga ini menjadi refleksi bagi seluruh insan pendidikan dan para orang tua.
ADVERTISEMENT
-------------------------------------
Penulis adalah Pengawas Sekolah Ahli Muda pada Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olah Raga Kabupaten Badung, pernah bertugas sebagai Guru dan Kepala SD, serta merupakan Alumni Pascasarjana Undiksha.