Konten dari Pengguna

Gus Dur dan Konsep Demokrasi

Ibnu Fikri Ghozali
Mahasiswa Master Prince Songkhla University, Thailand
21 September 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Fikri Ghozali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demokrasi (sumber: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi (sumber: pexels.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perayaan hari lahir Gus Dur pada tanggal 7 September lalu, tentu akan menjadi momen penting bagi para jejaring Gusdurian dan masyarakat luas yang menghormati serta mengagumi beliau. Peringatan ini bukan sekadar perayaan saja, melainkan juga merupakan kesempatan untuk merefleksikan warisan dan ajaran Gus Dur yang tetap relevan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah sosok yang tak terpisahkan dari sejarah demokrasi di Indonesia. Sebagai presiden keempat Indonesia dan tokoh sentral dalam Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur membawa gagasan dan praktik demokrasi yang unik dan revolusioner di tengah-tengah transisi politik pasca-Orde Baru.
Pandangan Gus Dur tentang demokrasi yang menekankan kebebasan individu dan penghormatan terhadap hak asasi manusia mencerminkan pemahaman mendalam akan pentingnya nilai-nilai universal dalam membangun sebuah masyarakat yang adil dan harmonis. Bagi Gus Dur, demokrasi bukan sekadar alat politik untuk memilih pemimpin atau mengatur kekuasaan, tetapi merupakan prinsip yang harus mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dengan mengedepankan kebebasan berpendapat, beragama, dan bebas dari diskriminasi, Gus Dur menempatkan hak-hak asasi manusia sebagai fondasi demokrasi yang sejati. Ia percaya bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau golongan, berhak mendapatkan perlakuan yang setara dan adil. Pandangan ini sangat relevan dalam konteks Indonesia yang majemuk, di mana keragaman sering kali menjadi sumber konflik. Gus Dur melihat pluralisme dan inklusivitas sebagai kunci untuk merawat kebhinekaan dan mencegah perpecahan.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, Gus Dur menunjukkan bahwa demokrasi harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang melindungi minoritas dan kelompok-kelompok rentan. Misalnya, ia memperjuangkan hak-hak kaum Tionghoa dan menghapuskan berbagai kebijakan diskriminatif yang diterapkan pada masa Orde Baru. Kebijakannya ini adalah bukti konkret bagaimana demokrasi, dalam pandangan Gus Dur, harus melampaui retorika dan diwujudkan dalam tindakan nyata yang memperjuangkan keadilan bagi semua.
Gus Dur ditemani istrinya, Hj. Shinta bertemu Paus Yohanes Paulus II. Foto: Dok. nu.or.id
Pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi sangat relevan ketika dilihat melalui lensa teori demokrasi, demokratisasi, civil society, dan sosialisasi politik. Gus Dur tidak hanya memahami demokrasi sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai nilai yang harus diperjuangkan melalui partisipasi aktif dalam berbagai peran sosial dan politik. Komitmennya terhadap demokrasi terlihat jelas dalam upayanya untuk membangun civil society yang kuat, di mana masyarakat memiliki kesadaran dan keberanian untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks teori demokrasi, Gus Dur memandang demokrasi sebagai sistem yang menghormati kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia. Pandangannya sejalan dengan konsep demokratisasi, di mana proses pembentukan masyarakat yang demokratis dilakukan secara bertahap melalui peningkatan partisipasi politik, penguatan lembaga-lembaga demokratis, dan penegakan supremasi hukum. Gus Dur percaya bahwa demokrasi tidak bisa dibangun hanya dari atas, tetapi harus melibatkan masyarakat luas melalui sosialisasi politik yang efektif.
Konsep civil society sangat penting dalam pemikiran Gus Dur. Ia melihat civil society sebagai elemen vital dalam menjaga keseimbangan antara negara dan masyarakat. Menurutnya, masyarakat yang kuat dan sadar akan hak-haknya adalah kunci untuk mencegah otoritarianisme dan memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kehendak rakyat. Gus Dur berperan aktif dalam membangun civil society di Indonesia melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi, terutama Nahdlatul Ulama, yang menjadi basis penting dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Latar belakang kultur agama Gus Dur juga berperan penting dalam mendukung konsep demokrasinya. Ia menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah hal yang bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Bagi Gus Dur, nilai-nilai Islam seperti keadilan, musyawarah, dan penghormatan terhadap kemanusiaan memiliki kontribusi besar bagi perkembangan demokrasi. Pemikirannya ini menegaskan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi untuk memperkuat demokrasi, terutama dalam konteks masyarakat yang mayoritas beragama Islam seperti Indonesia.
Keberanian Gus Dur dalam menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi menunjukkan komitmennya terhadap pluralisme dan inklusivitas. Ia menolak pandangan sempit yang mengaitkan Islam dengan otoritarianisme atau ekstremisme. Sebaliknya, Gus Dur menekankan bahwa Islam mendorong keterbukaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan, yang semuanya adalah inti dari demokrasi.
Abdurahman Wahid (Gusdur). Foto: AFP/AGUS LOLONG
Pemikiran Gus Dur yang dipengaruhi oleh sentuhan intelektual Islam dan Barat, menjadikan sikap toleransinya sebagai salah satu ciri khas yang menonjol. Toleransi ini tercermin dalam upayanya untuk mengakomodasi keragaman dalam masyarakat Indonesia yang plural. Pemikirannya seringkali dianggap sebagai representasi dari kehendak rakyat kecil, yang membuatnya dekat dengan aspirasi masyarakat pada level bawah. Namun, posisi ini juga menjadikan Gus Dur sebagai sosok yang sering kali kontroversial dan unik.
ADVERTISEMENT
Keteguhan Gus Dur dalam mempertahankan prinsip-prinsip yang diyakininya, meski harus berbenturan dengan berbagai pihak, menunjukkan keberanian dan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi. Bagi Gus Dur, konflik dan perbedaan pendapat adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika demokrasi. Ia melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperkuat demokrasi melalui dialog dan musyawarah.
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang dengan tegas memperjuangkan kedaulatan rakyat sepanjang hidupnya. Meski beliau telah wafat 15 tahun lalu, warisan pemikirannya tentang pentingnya demokrasi dan penghormatan terhadap rakyat tidak boleh dilupakan. Menghidupkan kembali demokrasi di Indonesia berarti menghidupkan kembali semangat dan cita-cita para pendiri bangsa, termasuk Gus Dur, yang percaya bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
ADVERTISEMENT
Di tengah tantangan-tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini, semangat Gus Dur menjadi pengingat pentingnya menjaga demokrasi tetap hidup dan berfungsi dengan baik. Ini bukan sekadar tentang proses politik atau pemilihan umum, tetapi tentang mempertahankan nilai-nilai yang mendasari kedaulatan rakyat—keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Menghidupkan kembali demokrasi adalah tugas yang harus terus diemban oleh generasi sekarang, agar warisan pemikiran dan perjuangan Gus Dur tetap lestari, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih adil dan demokratis.