Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menakar Keberlanjutan Hukum dan Demokrasi di Indonesia
21 September 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ibnu Fikri Ghozali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan keragaman budaya yang kaya, menghadapi tantangan besar dalam membangun dan memperkuat sistem hukumnya. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah menjalani perjalanan panjang untuk mengembangkan kerangka hukum yang mencerminkan nilai-nilai demokratis, keadilan, dan keberagaman sosialnya.
ADVERTISEMENT
Reformasi politik tahun 1998 memicu perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia, termasuk dalam sistem hukum dan peradilan. Momentum reformasi ini menandai upaya serius untuk menanggulangi masalah-masalah yang menghambat keadilan, seperti korupsi, ketidakmerataan akses terhadap hukum, dan lambannya proses peradilan. Reformasi hukum ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan keadilan, tetapi juga untuk memperkuat tata kelola hukum yang transparan dan akuntabel.
Sistem hukum Indonesia didasarkan pada prinsip negara hukum (rule of law) dan kedaulatan hukum (sovereignty of law), yang menjadikan konstitusi sebagai landasan utama dalam pembentukan undang-undang dan regulasi. Konstitusi Republik Indonesia yang disahkan pada tahun 1945 menjadi panduan utama bagi pembentukan peraturan hukum dan struktur pemerintahan negara.
Di samping itu, Indonesia juga mengakui pluralisme hukum yang menghormati dan mengakomodasi berbagai tradisi hukum lokal dan adat istiadat yang ada di berbagai daerah. Prinsip ini mengakui keberagaman budaya dan norma hukum di Indonesia sebagai bagian integral dari identitas nasional yang beragam.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama yang merusak sistem hukum Indonesia adalah korupsi di kalangan elit negara. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diluncurkan setiap tahun oleh Transparency International (TI) memberikan gambaran tentang tingkat korupsi di berbagai negara berdasarkan persepsi ahli dan pelaku bisnis. Pada tahun 2023, TI melakukan survei terhadap 180 negara. Hasil survei menunjukkan bahwa Indonesia memperoleh skor IPK sebesar 34, yang sama dengan skor tahun sebelumnya. Namun, peringkat Indonesia turun dari posisi 110 pada tahun 2022 menjadi 115 pada tahun 2023.
Penurunan peringkat ini menunjukkan bahwa meskipun skor IPK Indonesia tetap, persepsi korupsi di negara lain mungkin telah membaik, atau ada negara lain yang kini dipandang lebih baik dalam hal pemberantasan korupsi dibandingkan Indonesia. Peringkat ini penting sebagai indikator bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengevaluasi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, skandal di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia baru-baru ini menyoroti masalah serius terkait pengaruh kekuasaan yang dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Ketika para hakim yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan integritas justru terlibat dalam tindakan yang melanggar prinsip-prinsip tersebut, hal ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Masalah ini semakin kompleks ketika tindakan yang melanggar asas demokrasi dan hukum dipandang biasa oleh segelintir elite kekuasaan dan pimpinan partai politik. Hal ini mencerminkan adanya ketidakpedulian terhadap pentingnya supremasi hukum dan integritas konstitusi, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis.
Fakta ini diperkuat dengan penurunan drastis dalam V-Dem Democracy Index 2024 yang dialami Indonesia adalah tanda peringatan serius tentang kondisi demokrasi di negara ini. Menurut laporan tersebut, peringkat Indonesia turun dari posisi 79 ke 87, dengan skor yang merosot dari 0,43 menjadi 0,36. Ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam berbagai aspek demokrasi, dan bahkan menempatkan Indonesia di posisi yang lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Pengabaian terhadap UUD 1945 dan prinsip-prinsip keadilan oleh para pemegang kekuasaan tidak hanya merugikan individu-individu yang terdampak secara langsung, tetapi juga mengancam stabilitas dan legitimasi sistem demokrasi itu sendiri. Bagi mereka yang sadar hukum dan memiliki pemahaman mendalam tentang konstitusi, hal ini tentu sangat menyakitkan dan memprihatinkan.
Contoh konkret dari skandal ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa lembaga peradilan dan seluruh aparat pemerintah benar-benar menjalankan tugas mereka dengan jujur, adil, dan patuh pada konstitusi. Reformasi hukum yang menyeluruh dan peningkatan pengawasan terhadap perilaku para pejabat publik sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan pemerintahan.
Aspek ini mengangkat dua pesan kunci yang penting untuk merevitalisasi negara hukum di Indonesia, dengan mengacu pada prinsip kehendak pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang juga mencerminkan kekuatan konstituen. Konstituen ini menggambarkan ekspresi aspirasi rakyat sebagai legitimasi yang tidak dapat dikekang secara ketat, berbeda dengan ciri khas rezim totaliter. Dengan demikian, UUD 1945 senantiasa membuka ruang bagi berbagai kemungkinan sebagai bentuk representasi seluruh masyarakat dan segala kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Pesan pertama adalah mengenai pentingnya aspirasi rakyat sebagai sumber legitimasi bagi negara hukum. UUD 1945 mencerminkan ekspresi dari kehendak rakyat Indonesia, yang tidak bisa diabaikan atau dibakukan secara ketat seperti dalam sistem totalitarian. Ini berarti bahwa negara hukum Indonesia harus senantiasa responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan dan penegakan hukum. Partisipasi publik dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan advokasi hukum menjadi krusial untuk memastikan bahwa kebijakan dan praktik hukum mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat.
Pesan kedua adalah bahwa negara hukum Indonesia harus mengakui dan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka dalam sistem hukumnya. Hal ini mencakup representasi yang inklusif dari semua kalangan masyarakat dan kepentingannya. Dalam konteks hukum, ini berarti bahwa kebijakan dan penegakan hukum harus memperhitungkan keragaman budaya, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Integrasi hukum adat dan hukum agama, misalnya, bisa menjadi salah satu bentuk pengakuan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka ini, memastikan bahwa sistem hukum mencerminkan realitas kompleksitas dan keragaman masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami dan menerapkan kedua pesan kunci ini, Indonesia dapat memperkuat fondasi negara hukumnya dengan lebih baik, memastikan bahwa keadilan, kebebasan, dan perlindungan hukum tersedia untuk semua warganya tanpa diskriminasi. Revitalisasi negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokratis ini juga akan membantu meningkatkan stabilitas politik, keamanan, dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan.