Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hilangkan Malu Demi Investasi
9 Desember 2021 19:35 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konstitusi kita telah menjelaskan bahwa negara Indonesia merupakan Negara hukum, Pasal 1 UUD RI Tahun 11945 menyatakan bahwa “Indonesia merupakan Negara hukum”. Konsep ini membawa dampak bahwa penyelenggaraan negara lebih mengarah pada hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar untuk menyelenggarakan aktivitas pengelolaan dan aktivitas pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Salah satu pengejewantahan frase “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum” yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dapat dicapai dengan instrumen hukum yang dapat melindungi segenap warga negara, baik hak-hak sebagai warga negara maupun hak asasi manusia.
Tentu, untuk menciptakan hukum yang melindungi segenap warga negara, yang berkeadilan, memberikan kepastian setiap warga negara dilindungi hak-hak konstitusionalnya, maka membutuhkan pedoman yang dapat digunakan sebagai standar baku, metode yang pasti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sejak awal pembentukan sampai dengan peraturan perundang-undangan tersebut diperlakukan kepada warga negara. Perlu diketahui bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjalankan ketentuan pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,pemerintah dan DPR seringkali mengabaikan ketentuan yang telah ditentukan, mulai dari tidak adanya Naskah Akademik, RUU yang berubah-ubah sampai dengan proses pembahasan yang minim partisipasi publik.
Terbukti di UU Cipta Kerja
Pembentukan Undang-Undang yang keluar dari UU Nomor 12 Tahun 2011, sebagai panduan baku pembentukan Undang-Undang terbukti dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal itu dapat dilihat dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Permohonan Uji Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia dengan beragam profesi, mulai dari Karyawan swasta, mahasiswa, dosen, organisasi masyarakat (LSM) dan unsur masyarakat adat. Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945 dan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari melanggar format penyusunan peraturan, bertentangan dengan asas pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan RUU Cipta Kerja yang berubah-ubah pasca persetujuan Presiden dan DPR, proses pembentukan yang sangat minim partisipasi masyarakat, bahkan pembentukan UU Cipta Kerja ini hanya membutuhkan 1 bulan.
ADVERTISEMENT
Terlalu Jumawa
Idealnya, negara tidak boleh jumawa terhadap kekuatan politik yang ia miliki. Komposisi pendukung pemerintahan yang mayoritas bukan menjadi penghalal segala cara, salah satunya dalam proses pembentukan peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut dapat dilihat dari proses pembentukan UU Cipta Kerja ini. Pemerintah merasa di atas angin, bahwa UU Cipta Kerja ini tidak akan terjegal dengan asumsi komposisi penuh dengan koalisi dan parlemen dikuasai oleh pendukung utama pemerintah.
Tentu dalam politik hukum ini tidak baik, politik di atas hukum. Seharusnya politik dan hukum berjalan dengan irama yang seimbang. Meskipun hukum merupakan produk dari politik, begitu produk politik tersebut diundangkan dan telah menjadi undang-undang, kedudukan politik dan hukum telah melebur sebagai subsistem dalam masyarakat yang derajatnya seimbang, maka semua kegiatan politik berikutnya harus tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah disepakati. Ambil contoh pembentukan UU Cipta Kerja, walaupun pembentukan UU Cipta Kerja merupakan aktivitas politik, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, mulai dari awal sampai proses akhir pembentukan harus tetap berpedoman baku pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati.
ADVERTISEMENT
Apalagi konstitusi Indonesia telah mendeklarasikan sebagai penganut negara yang berdasar pada hukum (rechtsstaat), bukan atas dasar kekuasaan (machtstaat), menjadikan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara yang telah dicita-citakan, baik cita-cita yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 maupun peraturan turunan lainnya.
Salah Paham Amar Putusan MK
Menarik jika kita semua mengamati pendapat Hakim MK yang memilih dissenting opinion Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pendapat hakim tersebut menyatakan bahwa teknik penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat didekati dengan pendekatan hukum yang positifistik legalistic dan liner, karena pendekatan ini sangat sulit dan selalu tertinggal menjawab persoalan hukum yang berkembang dalam masyarakat yang sedang berubah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu pendekatan hukum harus out of the box sehingga dapat melepas dari tradisi berhukum yang konvensional. Hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan masyarakat dan hukum itu juga harus mampu untuk mengatur perkembangan kebutuhan masyarakatnya sehingga hukum harus bersifat dinamis dan progresif.
saya menilai bahwa pendekatan yang diutarakan oleh hakim MK ini tidak tepat jika digunakan sebagai alasan pembenar UU yang dalam pembentukannya sangat minim partisipasi, dibuat dalam jangka waktu yang sangat cepat, dan naskah RUU yang berganti-ganti tanpa kejelasan.
Tujuan awal hukum progresif adalah untuk melindungi dan memberikan akses keadilan, akses kesejahteraan bagi masyarakat, misalkan dengan melibatkan masyarakat adat dalam pembahasan RUU Omnibus law, sehingga hak-hak hutan masyarakat adat dapat terjamin hak-hak konstitusionalnya, bagaimana hukum progresif menjawab persoalan buruh , baik yang informal maupun formal sehingga dapat menemukan jalan tengahnya.
ADVERTISEMENT
Hukum Progresif bertujuan agar hukum itu secara makro disebutnya tidak kunjung mendekati keadaan ideal, yaitu mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya. Apa yang terjadi justru sebaliknya, suatu keterpurukan dan kemunduran, sehingga banyak kekecewaan terhadap keadaan hukum. Dengan demikian Satjipto Rahardjo menawarkan hukum Progresif.
Dalam berbagai kesempatan di media massa, pendukung presiden, baik Tenaga Ahli Kepresidenan maupun anggota DPR menyatakan MK memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki UU Nomor 12 Tahun 2011. Yang pada intinya memasukkan metode Omnibus Law di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kembali lagi, apabila dicermati dengan saksama, MK dalam amar putusannya sama sekali tidak memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, memasukkan metode Omnibus Law dalam UU tersebut. Memang iya, terdapat Hakim MK yang memiliki pandangan soal revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi pandangan tersebut adalah pandangan Hakim MK yang memilih dissenting opinion. Perlu diketahui bahwa pandangan dissenting opinion hakim MK tersebut bukanlah satu kesatuan dari amar putusan, karena pada hakikatnya Dissenting Opinion adalah pendapat berbeda dari pendapat mayoritas hakim.
ADVERTISEMENT
Wacana revisi UU 12 Tahun 2011 karena menyikapi pertimbangan hakim MK yang dissenting opinion ini seperti orang yang melanggar lalu lintas, tetapi rambu-rambunya yang dipindah atau diperbaiki. Tentu ini suatu hal yang salah arah, yang diperintahkan oleh MK kepada pemerintah dan DPR adalah memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja ini dari awal, mulai dari perbaikan penyusunan Naskah Akademik, pelibatan partisipasi masyarakat, pembahasan yang komprehensif dan tidak buru-buru. Sehingga pembentukan UU ini dapat menciptakan keadilan dan perlindungan konstitusional setiap warga negara.
Demi Investasi
Rasa-rasanya, langkah apa pun akan ditempuh pemerintah demi masuknya investasi asing, pasca diundangkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, saya rasa pemerintah kembali percaya diri untuk mempromosikan bahwa iklim investasi di Indonesia telah berhasil mengatur ekosistem investasi di Indonesia dengan berbagai kemudian perizinan investasi.
ADVERTISEMENT
Bagai tersambar petir di siang bolong, MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Dengan demikian, terbayang bagaimana kalang kabut pemerintah seketika mendengarkan putusan MK tersebut, maka pilihannya menghilangkan urat malu dengan menyatakan bahwa tidak satu pun pasal di dalam UU Cipta Kerja yang dibatalkan oleh MK.
Padahal sangat jelas yang diuji oleh MK adalah permohonan uji formil, bukan uji materiil. Arti menguji formil menguji apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang Cipta Kerja telah sesuai dengan cara-cara pembentukan perundang-undangan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, MK yang menyatakan bahwa UU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dengan masa perbaikan selama dua tahun, maka dalam jangka waktu dua tahun tersebut pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja secara otomatis inkonstitusional sembari menunggu perbaikan 2 tahun sejak putusan MK dibacakan.
Ibnu Syamsu Hidayat, Advokat Themis Indonesia