Menjaga Sendi Demokrasi dan Daulat Rakyat

Ibnu Syamsu Hidayat
Advokat di Firma Hukum Themis Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Maret 2022 13:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Catatan mesin pencarian google yang merupakan mesin penelusuran yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia menunjukkan ada sekitar 9.490.000 hasil yang berhubungan dengan penundaan pemilu 2024. Ini menunjukkan bahwa wacana penundaan pemilu 2024 yang dilempar oleh elite-elite penolakan partai politik berhasil menjadi perhatian publik.
ADVERTISEMENT
Serentak masyarakat sipil menolak wacana penundaan pemilu 2024, mengutip data yang tersaji dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terdapat kurang lebih 75 persen responden menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan pemilu 2024 (LSI, Maret 2022).
Kelompok masyarakat sipil yang bergabung dalam koalisi tolak penundaan pemilu 2024 juga menggalang petisi online, tercatat sudah ada 20.997 tanda tangan untuk menolak penundaan pemilu 2024. Selain itu kelompok masyarakat sipil bersama akademisi yang ada di berbagai perguruan tinggi melakukan diskusi publik soal pentingnya menolak wacana penundaan pemilu 2024.
Bagian dari Demokrasi?
Mahasiswa menunjukan poster saat aksi demo tolak Omnibus Law di Jakarta, Selasa (20/10). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Walaupun terdapat penolakan keras dari publik, para pengusul tidak berhenti mewacanakan penundaan pemilu 2024. Mereka beralasan bahwa alam demokrasi tidak melarang adanya sebuah wacana. Bahkan, Presiden Joko Widodo yang dulunya menolak tegas isu wacana perpanjangan masa jabatan presiden dengan berkata “satu, ingin menampar muka saya, ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, atau ingin menjerumuskan saya,” tersebut berubah menjadi “wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi.”
ADVERTISEMENT
Kiranya perlu untuk mempertanyakan ulang pernyataan Presiden Joko Widodo soal wacana penundaan pemilu yang tidak bisa dilarang karena bagian demokrasi. Dari wacana penundaan pemilu 2024 yang diusulkan, bagian mana yang merupakan wujud demokrasi?
Profesor Bagir Manan (2021) berpandangan bahwa sendi demokrasi itu tercantum dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945 maupun dalam Penjelasan UUD 1945. Dalam Pancasila yang menggunakan istilah “Kerakyatan”, pembukaan UUD 1945 dengan istilah “Kedaulatan Rakyat” atau dalam batang tubuh UUD 1945 dengan sebutan “Kedaulatan di tangan Rakyat.”
Ambil contoh di batang tubuh UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 7 UUD 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
ADVERTISEMENT
Dari dua contoh pasal dalam UUD 1945 di atas menunjukkan dengan jelas bahwa wacana penundaan pemilu 2024 bertentangan dengan sendi demokrasi, sehingga sangat jelas jika wacana penundaan pemilu 2024 itu bukan bagian dari demokrasi.
Tujuan Reformasi
Mengenang Reformasi '98 Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
Gerakan reformasi 1998 pada intinya menuntut perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum dan pemberantasan KKN, Penegakan Hak Asasi Manusia dan demokrasi, dan penegakan kebebasan pers serta pemberian hak otonomi terhadap daerah.
Wacana penundaan pemilu 2024 juga bertentangan dengan tujuan reformasi yang ingin memperbaiki kualitas demokrasi dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden. Ini dapat dilihat dari Ketetapan MPR No.XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi dua periode untuk memberikan kepastian pasal 7 UUD 1945 yang sebelumnya dinilai multitafsir dan disalahgunakan oleh pemerintah orde baru.
ADVERTISEMENT
Semangat reformasi untuk pembatasan kekuasaan memiliki kesesuaian dengan karakteristik demokrasi yang disusun oleh Robert. A. Dahl:
“Democracy helps to prevent government by cruel and vicious autocrats”.
Maksudnya, adanya demokrasi diharapkan akan mencegah praktik pemerintahan yang zalim dan kejam atau biasa disebut agar terhindar dari tirani.
Daulat Rakyat?
Para buruh mengelar aksi demonstrasi di DPR RI pada Jumat (14/1). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Sebelum isu penundaan pemilu ini semakin ramai diperbincangkan, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, lebih dahulu melempar wacana penundaan pemilu 2024 atas dasar aspirasi dari beberapa pelaku usaha.
Paket alasan penundaan pemilu 2024 semakin komplit. Penundaan pemilu berdasar aspirasi masyarakat. Seperti alasan PKB yang menerima aspirasi penundaan saat Muhaimin Iskandar saat berkunjung di berbagai daerah, Partai Golkar-nya Airlangga Hartarto, mengaku menerima aspirasi dari para petani sawit di Pekanbaru.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya, apakah usulan segelintir orang atau kelompok dapat dikatakan sebagai daulat rakyat yang harus direalisasikan?
Alasan elite politik yang mengatakan bahwa wacana penundaan merupakan aspirasi masyarakat secara tidak langsung dipatahkan oleh hasil beberapa lembaga survei yang merilis bahwa mayoritas masyarakat tidak menghendaki adanya penundaan pemilu 2024.
Apabila wacana penundaan pemilu 2024 benar-benar aspirasi masyarakat masyarakat yang kemudian dianggap daulat rakyat, maka prosesnya harus melalui cara yang benar dan valid, partisipasi publik yang maksimal, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara akademik maupun publik.
Kiranya kita semua belajar dari proses pembentukan UU Cipta Kerja yang pada proses pembentukannya menggunakan pendekatan simplifikasi terhadap prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, yang pada akhirnya MK menyatakan inkonstitusional walaupun bersyarat.
ADVERTISEMENT