Konten dari Pengguna

Partai Belum Siap Berkompetisi

Ibnu Syamsu Hidayat
Advokat di Firma Hukum Themis Indonesia
4 Maret 2022 15:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
Tahun lalu geliat politik 2024 seakan mulai muncul. Dalam situasi COVID-19 beberapa elit partai mulai memperkenalkan nama mereka kepada masyarakat Indonesia. Tidak jarang di tepi jalan, beberapa sudut kota terdapat baliho, papan reklame yang isinya perkenalan diri elit partai sebagai calon presiden 2024. Ada yang yang blak-blakan memperkenalkan sebagai calon presiden seperti Ketua PKB Abdul Muhaimin Iskandar, Ketua Partai Golongan Karya Airlangga Hartanto yang membawa pesan “Kerja Untuk Indonesia, Airlangga Hartanto 2024” dan ada yang hanya menggunakan jargon seperti “Kepak Sayap Kebhinekaan”, ajakan jaga imun dan iman dengan foto Puan Maharani atau gaya
ADVERTISEMENT
Ada baiknya para elit politik hadir dalam situasi pandemi COVID-19. Memberikan pesan bahwa partai politik tidak terputus dengan konstituennya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Selain itu Partai politik peduli kepada masyarakat dengan memberi himbauan atau ajakan untuk menjaga kesehatan atau meyakinkan bahwa mereka bekerja untuk Indonesia.
Namun, karena ini politik, ada kepentingan lain mengapa para elit politik muncul secara tiba-tiba dalam situasi pandemic, salah satunya adalah menarik simpati rakyat guna meningkatkan elektabilitas para elit politik tersebut sebagai modal pencalonan presiden 2024 nanti.
Alih-alih elektabilitas naik, hasil yang dipaparkan oleh Litbang Kompas pada Oktober 2021, elit politik yang telah memasang baliho, poster, Billboard di jalan-jalan elektabilitasnya masih rendah, Airlangga Hartanto 0,5 persen, Muhaimin Iskandar 0,5 persen dan Puan Maharani sebesar 0,6 persen.
ADVERTISEMENT
Kepentingan Sesaat
Sebelumnya santer terdengar wacana penundaan pemilu 2024. Namun pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu (KPU) telah menyepakati kapan diselenggarakannya pemilu 2024. Berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022, pemungutan suara pada Pemilihan Umum Serentak 2024 akan diselenggarakan pada Rabu 14 Februari 2024.
Frase selama janur kuning belum melengkung, semua masih terjadi tidak hanya dikenal dalam dunia percintaan anak muda, tetapi politik Indonesia pun mengenal itu. Seperti apa yang sedang ramai diperbincangkan beberapa hari ini soal wacana penundaan pemilu yang disampaikan oleh beberapa elit politik seperti Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartanto, Giring Ganesh dan Zulkifli Hasan.
Para pengusul penundaan pemilu 2024 menilai bahwa dalam situasi pandemi Covid-19, banyak pembangunan yang terganggu, ekonomi nasional yang kurang stabil sehingga rakyat saat ini masih membutuhkan sosok presiden seperti Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bangunan argumentasi bahwa rakyat masih membutuhkan Joko Widodo sebagai presiden ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa partai politik belum siap menghadapi konteslasi pemilu 2024 khususnya konteslasi pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024. Secara tidak langsung elit politik yang mewacanakan penundaan pemilu mengakui jika elektabilitas mereka masih rendah sehingga membutuhkan waktu lagi untuk mendongkrak elektabitasnya.
Sistem Kepartaian Yang Lemah
Elektabilitas elit politik yang tidak kunjung tinggi ini merupakan pertanda peminggiran dan kemerosotan partai politik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan fenomena menguatkan personifikasi electoral, sehingga partai politik terpaksa memilih tokoh non partai untuk mewakili mereka dalam konteslasi eksekutif maupun legislatif (Aspinal & Mietzner, 2014,2019).
Selain itu, elektabilitas elit politik yang lemah ini disebabkan oleh pengelolaan partai politik yang tidak optimal. Partai politik yang saat ini bukan sebagai kawah candradimuka bagi untuk menerbitkan kader-kader yang siap menjadi pemimpin, namun cenderung digunakan sebagai perahu pencalonan. Partai politik dengan politisi yang menonjol yang memiliki keinginan mencalonan dirinya dalam konteslasi eksekutif maupun legislatif seringkali melakukan negosiasi bayar tunai untuk membeli perahu sebagai kendaraan yang nyaman untuk proses pencalonan diri mereka.
ADVERTISEMENT
Partai Sepi Peminat
Elektabilitas yang tidak kunjung naik bagi elit politik bisa jadi disebabkan oleh sepinya minat masyarakat mengikatkan dirinya dalam partai politik. Hanya ada sekitar 15 persen warga negara Indonesia yang teridentifikasi dengan partai politik (Burhanudin Muhtadi 2018:18).
Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh penguasaan partai oleh elit politik, pengelolaan internal partai yang lemah sehingga kurang representatif. Hal seperti ini yang seharusnya menjadi evaluasi pengelolaan partai politik.
Skema kaderisasi partai politik yang berjenjang mulai dari ranting, cabang, daerah sampai dengan pusat perlu dipikirkan. Dengan adanya proses penjenjangan kader partai politik tentu akan mematangkan kader partai politik. Misalkan kader partai harus melakukan pengabdian berapa tahun mengurus partai untuk dapat mencalonkan diri sebagai bupati, DPRD, DPR bahkan sampai dengan Presiden.
ADVERTISEMENT
Proses penjenjangan kaderisasi partai politik ini akan mencegah praktik loncat partai. Kader partai yang tidak nyaman dengan partainya, yang kalah bersaing dengan yang lain sangat mudahnya melakukan lompat ke partai yang sekiranya akan memberikan keuntungan.
Dengan demikian, proses demokratisasi Indonesia semakin sehat, proses konteslasi pemilulebih kerkeadilan karena tidak mengenal lagi syarat kandidasi pencalonan seperti yang saat ini terjadi karena partai politik sudah memiliki banyak kader-kader yang berkualitas, mental yang berintegritas sehingga siap memimpin bangsa Indonesia.