Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower
21 Januari 2022 15:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa pekan yang lalu, dua anak presiden dilaporkan ke KPK dengan dugaan adanya KKN dan pencucian uang, pelapor menduga jika bisnis anak presiden tersebut ada afiliasinya dengan perusahaan yang melakukan pembakaran hutan.
ADVERTISEMENT
Tidak lama berselang, laporan kepada KPK tersebut dibalas oleh kelompok pendukung presiden dengan melaporkan balik pelapor dugaan KKN dan Pencucian uang ke Kepolisian dengan menggunakan Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah.
Perlu diketahui bahwa Pasal 317 ayat (1) KUHP berbunyi “Barangsiapa yang sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu pada pembesar Negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu menjadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lama empat tahun”.
Lex Specialis Derogat Legi Generali
Dalam hukum pidana, terdapat asas aturan yang khusus menghapus aturan yang umum, itu terdapat dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Sama hal dengan tindak pidana korupsi, yang merupakan tindak pidana khusus, dengan sifat kekhususan inilah yang kemudian mengesampingkan aturan umum.
ADVERTISEMENT
Atas dasar kekhususan tersebut terdapat beberapa aturan yang mengatur tindak pidana korupsi, mulai dari UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Atas United Nations Against Corruption dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Peran Serta Masyarakat
Itulah yang kemudian menyebabkan beberapa aturan-aturan yang umum di KUHP dalam hal tindak pidana korupsi perlu ditinjau kembali, misalkan ketentuan pasal 317 KUHP tentang aduan fitnah, mengapa perlu ditinjau ulang? karena di dalam UU Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 9 ayat (1) mengatur dengan jelas mengenai peran serta masyarakat, baik dalam hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, dalam Pasal 41 juga mengatur tentang peran serta masyarakat. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, peran serta masyarakat inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa setiap warga negara memiliki hak dan wewenang untuk melaporkan pejabat negara, swasta atau siapa pun yang diduga melakukan praktik tindak pidana korupsi.
Apabila dihubungkan dengan apakah laporan itu fitnah atau tidak, dalam tindak pidana korupsi mengenal adanya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebuah kejahatan korupsi. Tentu dalam hal laporan, ada mekanisme yang harus dijalankan oleh aparat penegak hukum, mulai dari menerima laporan, mendalami laporan sampai dengan menyimpulkan apakah laporan tersebut lengkap dan ada unsur tindak pidana korupsinya.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan, apabila Pasal 317 KUHP ini berlaku untuk pelapor dugaan tindak pidana korupsi, berapa banyak pelapor dugaan tindak pidana korupsi di KPK pada tahun 2020 yang kemudian dipidana akibat laporannya kurang memenuhi atau tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Dalam catatan akhir tahun KPK 2020, pelaporan yang masuk Ada 1.839 laporan tindak pidana korupsi dan yang berhasil menjadi tersangka berjumlah 109 orang. Artinya banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh KPK.
Pelapor Perlu Dilindungi
Dalam KUHP, Pelapor didefinisikan sebagai orang yang memberikan laporan, informasi atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang atau telah terjadi. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 dikenal dengan Whistleblower atau pelapor tindak pidana. Yang kemudian dalam surat edaran tersebut menyatakan bahwa Whistleblower pada tindak pidana korupsi perlu mendapatkan perhatian khusus dan perlindungan hukum.
ADVERTISEMENT
Negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan yang efektif yang kemungkinan ada pembalasan atau intimidasi bagi pelapor tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 32 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption.
Bahkan berdasar tugas dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Nomor 31 Tahun 2014, LPSK bertugas dan berwenang memastikan pemberian perlindungan bagi saksi dan korban, khususnya kepada pelapor.
Sebagai penutup, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang pada intinya mengatur saksi korban, saksi pelaku dan atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apabila ada orang yang ingin melakukan upaya tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pelapor Dapat Penghargaan
sejak tahun 2000 Indonesia telah mengenal konsep penghargaan terhadap warga negara yang melaporkan suatu indikasi tindak pidana korupsi, yakni, melalui Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Dalam ketentuan Pasal 5 PP Nomor 43 Tahun 2008 tersebut menjelaskan bahwa masyarakat dapat memberikan informasi mengenai adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada pejabat yang berwenang pada badan publik atau kepada penegak hukum. bahkan Masyarakat yang berjasa membantu upaya pemberantasan korupsi diberikan penghargaan dalam bentuk piagam dan/atau premi.
Ibnu Syamsu Hidayat, Lawyer di Themis Indonesia