Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tafsir Baru Sifat Putusan DKPP
31 Maret 2022 18:26 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini diawali dengan tindakan DKPP yang menetapkan Evi Novida Ginting, anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum bersalah dalam kasus perolehan suara calon legislatif yang berasal dari Partai Gerindra daerah pemilihan Kalimantan Barat 6. Atas penetapan bersalah tersebut, Evi Novida Ginting diberhentikan dari anggota Komisioner KPU RI. Selain memberhentikan Evi Novita Ginting sebagai Komisioner KPU RI, DKPP memberikan peringatan keras kepada ketua dan empat komisioner KPU lainnya.
ADVERTISEMENT
Presiden menindaklanjuti dengan menerbitkan surat keputusan presiden Nomor 34/P Tahun 2020 yang pada pokoknya memberhentikan Evi Novita ginting sebagai Komisioner KPU RI. Selanjutnya Evi Novita Ginting melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. PTUN Jakarta menyatakan Surat Keputusan Presiden terkait pemecatan Evi Novita Ginting batal sehingga PTUN Jakarta memerintahkan agar Surat Keputusan Presiden tersebut dicabut.
Memiliki Landasan Konstitusional
Dalam konsep negara hukum modern kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh peradilan sebagai lembaga negara yang ditunjuk oleh konstitusi. Pasal 24 ayat (2) telah mengatur bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkembangan pasca reformasi, terdapat fenomena tumbuh dan berkembang pengadilan khusus, berkembang juga lembaga quasi pengadilan. Sebuah lembaga yang memiliki kewenangan mengadili dan memutus sebuah perkara tetapi sebenarnya bukanlah pengadilan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kekuatan putusan dari lembaga-lembaga quasi pengadilan tersebut sama dengan putusan pengadilan, bahkan ada beberapa putusan lembaga yang sifat putusannya final dan mengikat sama dengan putusan pengadilan yang bersifat berkekuatan hukum tetap.
Ada landasan konstitusional mengenai status lembaga suasi pengadilan ini. Hasil amandemen keempat memberikan pengakuan terhadap keberadaan lembaga quasi pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945 yang memberikan pedoman bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Penyebutan badan-badan pada pasal 24 ayat (3) UUD NKRI 1945 memberikan gambaran bahwa telah ada lembaga-lembaga quasi pengadilan sebelum amandemen ke empat, seperti KPPU yang dibentuk pada tahun 1999.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengatur keberadaan lembaga quasi pengadilan yang diatur dalam bab tersendiri dengan judul bab Badan-Badan Lain Yang Fungsinya Berkaitan Dengan Kekuasaan Kehakiman.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan pembatasan fungsi dari badan-badan quasi pengadilan tersebut, hanya sebatas penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Selanjutnya Pasal 38 ayat (3) mengatur tentang ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Tumpang Tindih Kewenangan
Kewenangan lembaga quasi pengadilan yang sangat besar menimbulkan kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan pengadilan yang memiliki kekuasaan di bidang kehakiman (judicial power).
Pada awalnya, pembentuk Undang-Undang secara nyata membentuk DKPP sebagai lembaga quasi pengadilan dapat dilihat dari kerangka bangunan UU Pemilu, dapat dilihat dari Pasal 112 ayat (12) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan ketentuan bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2014, Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran sifat putusan DKPP yang Final dan Mengikat. Putusan MK Nomor 31/PUU/XI/2013 menyatakan bahwa frasa bersifat final dan mengikat dalam Pasal 112 ayat (12) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NKRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu”.
Dalam Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu juga mengatur tentang sifat putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Sifat final dan mengikat dari pasal 458 ayat (13) UU Pemilu tentu tidak boleh bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang memberikan ketentuan bahwa sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan bawaslu.
ADVERTISEMENT
Konsep ini yang kemudian bermasalah, ambil contoh DKPP yang memutuskan seorang komisioner KPU terbukti bersalah dan diberhentikan sementara sebagai komisioner KPU sampai dengan keputusan Presiden. Dengan desain putusan DKPP yang mengikat, Presiden sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk memberhentikan anggota Komisioner KPU berkewajiban mengeluarkan Keputusan Presiden (beschikking) yang berisi keterangan pemberhentian komisioner KPU.
Sehingga apabila seorang komisioner tidak terima dengan pemberhentiannya sebagai komisioner KPU, Komisioner KPU tidak dapat dapat menempuh upaya hukum untuk melawan putusan DKPP. Yang dapat ditempuh adalah melakukan upaya hukum, gugatan ke PTUN guna membatalkan Surat Keputusan Presiden yang isinya memberhentikan komisioner KPU tersebut.
Tafsir Baru Sifat Final dan Mengikat
Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 memberikan penafsiran yang lebih jelas terkait dengan sifat putusan DKPP yang final dan mengikat. Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik selaku pemohon mendalilkan bahwa Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat tersebut bertentangan dengan Konstitusi yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28J Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Adapun petitum dari pemohon Uji Materi adalah agar MK menyatakan bahwa frasa final dan mengikat dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai sebagai “bersifat mengikat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara”.
Dalam pertimbangan Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021, Mahkamah Konstitusi tetap mempertimbangkan Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013 yang menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat” yaitu harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan kedudukan DKPP yang bukan lembaga peradilan, melainkan sebagai lembaga yang setara dengan KPU dan Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sifat putusan dari DKPP yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN.
Dengan demikian, frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 tahun 2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, sehingga dapat menjadi objek di Peradilan TUN.
Akhirnya, Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 dapat menjadi awalan yang baik bagi lembaga DKPP yang selama ini dijalankan dengan desain di persimpangan jalan di antara apakah sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan peradilan etik atau murni sebagai lembaga negara yang independen untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.
ADVERTISEMENT