Seluk Beluk Literasi, Ironi Yang Sudah Basi?

Dhysa Oktarina
Saya mahasiswi Universitas Pamulang studi S1 Akuntansi
Konten dari Pengguna
9 Mei 2024 14:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhysa Oktarina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Literasi adalah kacamata dalam melihat dunia. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kacamata-buku-pendidikan-riset-1052010/
zoom-in-whitePerbesar
Literasi adalah kacamata dalam melihat dunia. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kacamata-buku-pendidikan-riset-1052010/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Literasi dimasa kini bukan hanya dapat ditemukan pada buku, koran, dan majalah. Dengan adanya masa Covid-19, muncul beragam aplikasi membaca yang mewabah. Hal yang seharusnya telah menjadi wadah untuk anak-anak muda mengembangkan literasi dalam hal membaca ataupun menulis. Dimana literasi sendiri adalah kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Melalui kegiatan literasi seseorang dapat mengasah kemampuan membaca, menulis dan keterampilan berkomunikasinya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, muncul problematika tak terhindarkan. Seperti, aplikasi-aplikasi menulis yang tidak digunakan sebagaimana mestinya. Literasi yang benar adalah yang memberikan dampak positif baik dari sisi pembaca maupun penulisnya, tetapi banyak ditemukan literasi yang tidak sesuai dengan kaidah dan menyalahi aturan seluk-beluknya.
Menjamurnya aplikasi literasi ketika Covid-19 hingga kini. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kindle-ereader-tablet-e-pembaca-1867751/
Contohnya, aplikasi Wattpad, GWP dari Gramedia, Fizzo, dan masih banyak aplikasi lainnya yang seharusnya dapat mendukung literasi secara positif justru marak digunakan untuk publikasi tulisan yang kurang pantas.
Mudahnya, orang awam dalam menulis dan membuat cerita di aplikasi-aplikasi tersebut yang ditujukan agar orang-orang mudah mengakses literasi, malah menjadi boomerang.
Permasalahan yang telah menjadi buah bibir sejak beberapa tahun terakhirnya nyatanya hanya diabaikan. Dilihat dari bagaimana konsep teenlit dalam literatur yang seharusnya menunjukan citra pertemanan, keluarga, masa remaja dan problematikanya, sekarang ini lebih banyak mengandung adegan-adegan dewasa, kekerasan, sikap-sikap amoral tokoh yang dinormalisasi yang tak sesuai dengan usia para pembaca.
Seluk-beluk literasi.
Kesimpulannya, problematika literasi pada generasi muda di perkembangan IPTEK yang pesat akan terus ada dan sulit untuk dibasmih. Namun, dibandingkan hanya menjadi buah bibir semata, sudah sepatutnya dapat dicegah dampak negatifnya bagi penerus bangsa. Mari kita membuahkan literasi Indonesia semakin terbuka, luas, dan maju tanpa meninggalkan norma dan moral yang disajikan. Serta, menjadi pembaca yang pintar dalam memilih literatur yang sesuai dengan usia.
ADVERTISEMENT