Melihat Sisi Ketidakadilan Gender Di Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak

Ichsan Akbar Kurniawan
Aktif sebagai mahasiswa ilmu komunikasi.
Konten dari Pengguna
2 Januari 2021 5:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Akbar Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ichsan Akbar K, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

ADVERTISEMENT
Sebagai media komunikasi yang padat dengan pesan bahkan menjadi alat propaganda, maka berbagai isi pesan dapat disematkan dan diusung dalam film termasuk konsep kesetaraan gender. Laura Mulvey (1997) dalam tulisan essay nya berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema” JCommsd Vol.2 No.3 2019 adalah salah satu statement klasik dalam studi film dan kacamata feminis psikoanalisis. Dalam tulisannya itu, Muley menjelaskan tentang bagaimana film popular memproduksi dan mereproduksi apa yang disebutnya dengan konsep ‘male gaze’ atau tatapan/pandangan laki-laki (Ida, 2014: 137-138)
ADVERTISEMENT
Memerangi masalah kaum perempuan selalu menjadi tema penting dalam masyarakat, Masalah kaum perempuan yang dimaksud adalah pada ketidakadilan gender atau penindasan yang pada hakikatnya dari perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan yang masih terus terjadi di Indonesia, kerap direpresentasikan oleh para pembuat film di indonesia. Dari sekian banyak film yang sudah diproduksi di dalam indonesia, film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak menjadi satu-satunya film yang lebih banyak membicarakan tentang ketidakadilan gender pada kaum perempuan.
Membicarakan soal perempuan adalah pembahasan yang sangat menarik apalagi film tersebut dijadikan sebuah film layar lebar, masalah kaum perempuan sering berkaitan dan membicarakan tentang feminisme seorang perempuan itu sendiri. Dengan kata lain laki-laki lebih mendominasi daripada perempuan atau sebaliknya. Diskriminasi terhadap perempuan seperti halnya ketimpangan gender dan kerap direpresentasikan. Dari banyaknya film yang sudah diproduksi di indonesia film yang menjadi sorotan dan mendominasi dan sepanjang alur cerita membicarakan tentang feminisme dari segi visual. Film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” ini sangat berbeda. Unsur feminis pada film ini sangat jelas ditampilkan dalam setiap adegan filmnya. Film marlina juga banyak mendapatkan apresiasi penghargaan piala citra hingga penghargaan Intenasional yang distutradai oleh Mouly Surya dan ditayangkan 16 November 2017.
ADVERTISEMENT
Film marlina menceritakan tentang seorang janda yang bernama Marlina yang sudah ditinggal suaminya meninggal, lalu di awal scene marlina menujukkan sebuah perlawanan saat dirinya akan dirampok oleh tujuh kawanan di rumahnya dengan mengancam nyawa, harta dan kehormatan Marlina. Dalam Film Marlina Si pembunuh Dalam Empat Babak sering kali mendapat anggapan bahwa film tersebut merupakan film feminis karena hampir dari keseluruhan film menampilkan citra perempuan yang mendominasi dan memiliki keberanian menylamatkan harga dirinya atas penindasan dan perlakuan tidak adil yang terjadi kepada marlina. Disamping dengan menggunakan dialog yang sangat sedikit dan menyelipkan unsur segi pengambilan gambar di dalam film tersebut banyak terdapat simbol-simbol perlawanan yang sangat terlihat jelas saat penonton sedikit memperhatikan jalannya film tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti di Scene saat marlina disuruh untuk memasak makan malam untuk ketujuh perampok tersebut, yang dimana marlina memasak dengan menggunakan kayu bakar yang memperlihatkan bawasannya dari segi pengambaran bahwa api saat marlina memasak dengan kayu bakar ialah representasi simbol perlawanan yang membara atau power seorang perempuan. Itu terbukti ketika discene marlina memberikan racun kedalam masakannya dan memenggal kepala seorang yang sudah melecehkan marlina. Ketika marlina sudah memenggal kepala yang sudah melecehkannya tersebut marlina kemudian membawanya ke kantor polisi untuk dijadikannya bukti bahwa ia sudah memenggal kepala seorang yang sudah merebut sebuah kehormatannya,
Pada akhirnya film marlina pun kemudian banyak menyita perhatian orang ketika penonton melihatnya dan banyak memunculkan berbagai prespektif penonton. Ketika seseorang janda harus memberanikan diri menghadapi ke tujuh laki-laki perampok yang dimana hakikat seorang laki-laki memiliki kekuatan yang besar daripada perempuan. Hal ini kemudian banyak beranggapan bahwa perempuan yang di nilai lemah atau lemah lembut pada dasarnya ia juga memiliki sebuah perlawanan dan menganggap perempuan atau laki-laki itu sama.
ADVERTISEMENT