Konten dari Pengguna

Dapatkah Pengadilan Perdata Mencabut Hak Kebebasan Berpendapat Rocky Gerung?

Ichsan Syaidiqi
Konsultan Hukum dan Pengajar di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Politik Universitas Terbuka
9 Agustus 2023 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rocky Gerung menggelar konferensi pers terkait pernyataannya Bajingan Tolol. Foto: Nadia Riso/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Gerung menggelar konferensi pers terkait pernyataannya Bajingan Tolol. Foto: Nadia Riso/kumparan
ADVERTISEMENT
Rocky Gerung resmi digugat secara perdata melalui perkara 712/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL oleh David M. L. Tobing pada tanggal 2 Agustus 2023. Rocky diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. Hal yang menarik dalam gugatan ini menurut penulis selain 'berbeda' dengan laporan-laporan yang dilakukan oleh simpatisan Jokowi, yakni petitum yang diajukan yaitu 'Menghukum Tergugat untuk tidak menjadi pembicara, narasumber, wawancara baik monolog maupun dialog di berbagai acara yang diselenggarakan di suatu tempat, televisi, radio, seminar-seminar, universitas dan melalui media elektronik YouTube, Instagram, Threads, TikTok, Twitter, Facebook, Zoom, Google Meet, Microsoft Teams dan sejenisnya selama seumur hidup'. Maka dari itu penulis akan mencoba membedah apakah petitum tersebut dapat dipenuhi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Dapat diasumsikan bahwa petitum bersinggungan dengan hak kebebasan berpendapat berdasarkan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Maka melalui tulisan ini penulis mencoba menelaah gugatan tersebut dari sisi subjek atau pihak yang berhak mengajukan gugatan dalam perkara, dan apakah bentuk petitum tersebut dapat diterima, serta kemungkinan putusan yang akan dikeluarkan majelis hakim.

Pihak yang dirugikan atas perbuatan Rocky Gerung

Lazimnya dalam perkara perdata, apabila seseorang mengalami kerugian yang dialami atas perbuatan seseorang baik dalam bentuk wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum, maka orang yang terkena dampak kerugian tersebutlah yang kemudian paling berhak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dalam kasus ini menarik karena dalam pernyataan, penggugat merasa dirugikan atas perbuatan Rocky Gerung yang diduga menghina Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Maka seharusnya yang paling berhak dalam perkara ini hak untuk menggugat adalah absolut melekat pada pihak yang dirugikan yakni Presiden Jokowi, kecuali dalam perkara ini memang dikuasakan perkara tersebut kepada penggugat. Namun hingga sampai saat ini belum dapat dikonfirmasi apakah perbuatan penggugat atas dasar kuasa yang diberikan oleh Presiden Jokowi.
Terhadap gugatan yang diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai hak, maka gugatan dapat diklasifikasikan sebagai gugatan error in persona.

Petitum memuat tuntutan untuk mencabut hak kebebasan berpendapat

Rocky Gerung saat diwawancara di kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Petitum atau gugatan yang diajukan dalam perkara perdata lazimnya yakni meminta ganti rugi atas perbuatan yang telah dilakukan. Namun menarik dalam petitum yang diajukan oleh penggugat dalam perkara ini tidak sama sekali mengajukan permohonan ganti rugi atas perbuatan yang diduga telah dilakukan, namun hanya menuntut agar hak tergugat yang berhubungan dengan kebebasan berpendapat dibatasi bahkan dicabut seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, pengadilan perdata dalam memutus perkara yang bersifat keperdataan tidak pernah mengeluarkan hukuman (condemnatoir) yang berkaitan dengan pencabutan hak-hak tertentu individu. Umumnya pengadilan menghukum tergugat dalam perkara perdata untuk membayar sejumlah denda akibat perbuatan yang dilakukan tergugat.
Pencabutan hak-hak tertentu bisa kita temukan dalam peradilan pidana hal ini termaktub dalam pasal 10 huruf (b) KUHP sebagai bentuk pidana tambahan. Terhadap pencabutan hak tertentu R Soesilo memiliki arti bahwa, tidak semua hak terpidana akan dicabut (seperti hak asasi manusia, hak hidup, dan lainnya tidak dapat dicabut) hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mencabut hak tertentu bukanlah kewenangan pengadilan perdata.
Apabila dari penjelasan tersebut, maka bukan menjadi kewenangan pengadilan perdata, hal ini dapat menimbulkan suatu ketidakjelasan dalam gugatan karena terdapat suatu ketidakjelasan dari isi gugatan/ hal yang dituntut dengan kewenangan pengadilan perdata dalam menjatuhkan putusan. Maka gugatan ini dapat diduga memuat suatu kecacatan atau obscuur libel.
ADVERTISEMENT
Pengertian obscuur libel menurut Yahya Harahap yaitu surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk). Disebut juga, formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas serta berkesesuaian antara hal yang dituntut dengan kewenangan peradilan yang menjadi pilihan penyelesaian sengketa.

Implikasi terhadap putusan

Berdasarkan pendapat penulis di atas, maka terdapat kekurangan dalam petitum yang diajukan terhadap Rocky Gerung yakni, secara penggugat terdapat unsur error in persona karena bukan pihak yang memiliki hak dalam mengajukan tuntutan serta terdapat suatu kecacatan yakni obscuur libel antara isi gugatan dengan kewenangan peradilan yang mengadili tidak berwenang dalam hal mencabut hak tertentu yakni hak kebebasan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Hal ini berakibat putusan yang dikeluarkan menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil atau Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard atau yang seringkali disebut sebagai Putusan NO. Apabila majelis pendapat hakim berpendapat lain dalam arti menerima petitum dan mengabulkan gugatan dari penggugat, hal ini dapat menjadi suatu ‘fenomena’ bahwa peradilan perdata dapat mencabut hak kebebasan berpendapat individu.