Jalan Panjang Memperbaiki Kompolnas

Ichsan Syaidiqi
Konsultan Hukum dan Pengajar di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Politik Universitas Terbuka
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2022 15:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Kompolnas Mahfud MD (kanan) bersama Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri) mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2022). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Kompolnas Mahfud MD (kanan) bersama Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri) mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2022). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Wacana reformasi Kompolnas
Arsul Sani Anggota Komisi III DPR RI, menyampaikan usulan untuk revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam agenda rapat dengar pendapat bersama Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Senin (22/8/2022).Menurutnya Kompolnas agar lebih diberdayakan keberadaannya. Pernyataan ini dinilai sebagai sebuah sikap yang bertendensi politis dan tidak sepenuhnya dipertimbangkan dengan suatu proses evaluasi dan kajian mengenai eksistensi lembaga yang sudah lebih dari satu dekade tersebut. Terlebih yang disarankan hanya sebatas usulan untuk mereformasi peraturan yang menjadi dasar Kompolnas yang tertera dalam Undang-Undang Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Kompolnas menjadi sorotan, setelah kiprahya dalam mengawasi kasus kematian Brigadir J dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasan eksternal kepada Polri. Hal ini dikarenakan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto mempercayai narasi awal kejadian yang disampaikan Kapolres Metro Jakarta Selatan dan menjelaskan kepada publik bahwa peristiwa tersebut tidak ada kejanggalan dalam proses penyelidikan. Hingga pada akhirnya terungkap bahwa peristiwa yang sebenarnya jauh berbanding dengan keterangan tersebut (setelah adanya evaluasi dari internal Polri).
Kembali lagi pada pembahasan mengenai penguatan Kompolnas, agar perbaikan lembaga ini dapat dilakukan sebaiknya memang diperlukan kajian terhadap lembaga pengawas eksternal semacam Kompolnas yang perlu menjadi pertimbangan.

Kewenangan Kompolnas

Perlu diketahui bahwa tugas pokok dan fungsi serta wewenang Kompolnas dapat kita lihat dalam Bab III Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Dapat dilihat beberapa istilah yang melekat dalam melaksanakan fungsi lembaga ini misalnya pengawasan fungsional yaitu rangkaian kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan undang-undang berlaku. Peran tersebut dapat dinilai bukanlah peran yang sedikit karena melakukan pemantauan dan penilaian tidak hanya terhadap kinerja melainkan juga integritas bukan hanya anggota saja tetapi juga termasuk pejabat Polri di Kepolisian pada setiap wilayah negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pengawasan kinerja belum mempunyai batasan definitif yang jelas. Pada Perpres nomor 17 tahun 2011, apakah yang dimaksud dengan pengawasan kinerja Polri selaku institusi pelaksana peran ius puniendi selaku bagian dari sistem peradilan pidana. Kepolisian memiliki peran sebagai penyelidik dan/atau penyidik yang dalam hal ini erat kaitannya dengan proses pro justicia atau termasuk dalam kerja-kerja ranah adminsitratif lainnya. Sama halnya dengan pemantauan dalam ranah integritas apakah yang dimaksud dengan melakukan pengawasan terhadap kode etik perilaku anggota polri itu sendiri atau pemantauan yang dilakukan hanya tertuju kepada citra lembaga yang diawasi yang kemudian memberikan statemen apresiasi , mendukung, atau memantau untuk setiap tindak laku dari lembaga Polri.

Cetak biru yang jelas untuk Kompolnas

Menurut hemat penulis, dibentuknya komisi-komisi negara ini tidak terlepas dari pengaruh transisi politik. Indonesia sudah lebih dari dua dekade sejak reformasi dan salah satu tuntutan yang diajukan mahasiswa pada reformasi adalah penegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi-kolusi-dan nepotisme. Maka harapan yang ditaruh pada Kompolnas seharusnya dapat memenuhi tuntutan tersebut. Namun, dalam membentuk organ-organ baru tersebut, kita belum mempunyai pola yang jelas.
ADVERTISEMENT
Fajrul Falaakh (2012) mengatakan bahwa pengertian lembaga negara yang ada, masih dalam bentuk generik karena ketiadaan keseragaman peristilahan. Kebanyakan masih dalam bentuk pendekatan yang berbeda-beda misalnya pada konstitusi dengan Komisi Yudisial maupun berbagai jenis aturan lainnya misalnya Komnas Ham berdasarkan UU 39 Tahun 1999 sedangkan Kompolnas dibentuk berdasarkan perpres. Masing-masing lembaga tersebut memperlihatkan perbedaan dalam memaknai istilah lembaga negara.
Termasuk Kompolnas yang juga disebut sebagai lembaga non struktural yang dibentuk berdasarkan pasal 2 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas. Penyebutan lembaga non-struktural dari istilah atau terminologi, lembaga ini diartikan sebagai badan di luar struktur cabang kekuasaan yang ada. Meski dapat pula dibentuk untuk memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka kordinasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas dari suatu departemen dalam hal Kompolnas, ini disebutkan dalam pasal 4 huruf (b) akan tetapi, lembaga ini tidak termasuk dalam struktur kementrian, departemen atau lembaga pemerintah non-departemen. Namun Kompolnas secara anggaran dan administrasi bergantung kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Pasal 42). Sehingga ada ketidaksinambungan antara apa yang dimaksud dengan lembaga non-struktural dalam tata norma, namun dalam praktiknya tidak demikian.
ADVERTISEMENT

Pelbagai masalah untuk mereformasi Kompolnas sebagai alat kelengkapan negara

Dalam melihat wacana memperkuat Kompolnas, harus dipahami bahwa hal tersebut bukanlah hal yang sederhana dan dapat dilakukan dengan singkat hanya dengan mereformasi peraturan atau dengan menambahkan kewenangan baru dalam lembaga tersebut. Kompolnas sebagai alat kelengkapan negara dalam hal ini melakukan pengawasan terhadap Polri. Mengutip Jellineck, Padmo Wahjono (1982) mengemukakan bahwa ada banyak masalah dalam melihat eksistensi alat kelengkapan negara. Pertama, alat kelengkapan negara mana saja yang menjadi conditio sine quanon untuk merealisir state will. Dalam hal ini perlu dilihat apakah Kompolnas merupakan syarat mutlak yang dapat merepresentasikan kemauan negara dalam hal ini untuk menciptakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi-kolusi-dan nepotisme. Kalau dalam konteks Kasus Brigadir J, justru peran paling besar adalah pengawas internal polri, sedangkan Kompolnas dinilai blunder karena tidak sepenuhnya menjalankan peran pengawasan fungsional sebagai pengawas eksternal terhadap Polri.
ADVERTISEMENT
Kedua, alat kelengkapan mana saja yang karena fungsinya lalu disematkan kewenangan untuk membentuk alat kelengkapan negara selanjutnya. Dalam hal ini perlu diperjelas alat kelengkapan negara mana yang dapat disematkan kewenangan yang dapat membentuk alat kelengkapan negara selanjutnya (entah itu komisi atau badan lainnya).
Ketiga, berkaitan dengan segi hukum maka persoalannya perihal bagaimana bentuknya, bagaimana susunannya, apa yang menjadi tugas dan kewenangannya dan bagaimana pembentukannya. Apabila dilihat dari dasar Hukum Kompolnas bisa dilihat dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian dijabarkan kembali pada peraturan presiden nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Lembaga ini diatur dalam satu perundang-undangan yang harusnya menjelaskan tentang Kepolisian yang terkesan hanya lembaga sempalan. Apakah dapat suatu produk undang-undang melahirkan dua lembaga sekaligus yang satu merupakan lembaga kelengkapan yang masuk dalam struktur alat kelengkapan negara yang menjalankan peran eksekutif sedangkan satu lembaga lain tersebut bukanlah yang termasuk dalam struktural.
ADVERTISEMENT
Keempat, pengisian jabatannya, kiranya perlu dijabarkan mengenai mekanisme pengisian jabatan yang ideal, semisalnya dengan kriteria apa saja yang diwajibkan untuk mengisi jabatan tersebut, bagaimana cara pemilihan, pengangkatannya, atau bahkan pemberhentiannya. Terutama perihal tentang rangkap jabatan.
Apabila melihat format pengisian jabatan Kompolnas saat ini justru menjadi sangat riskan karena jabatan utama yakni ketua ex-officio yang diisi oleh 3 (tiga) anggota yang mewakili pemerintah semuanya menjabat selaku menteri di kabinet aktif yakni Mohammad Mahfud MD selaku Menteri di Menkopolhukam, Tito Karnavian selaku Menteri di Kemendagri, dan Yasonna Hamonangan Laoly selaku Menteri di Kemenkumham. Padahal Presiden Jokowi mengatakan bahwa pejabat yang bekerja dalam instansi pemerintah tidak boleh rangkap-rangkap jabatan. Apalagi yang merangkap jabatan punya jabatan penting di lembaga kementerian.
ADVERTISEMENT