Kekeliruan Majelis Hakim dalam Memutus Penundaan Pemilu

Ichsan Syaidiqi
Konsultan Hukum dan Pengajar di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Politik Universitas Terbuka
Konten dari Pengguna
4 Maret 2023 6:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : YouTube Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
sumber : YouTube Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah dibacakan putusan perkara nomor: 757/Pdt.G/PN Jkt.Pst pada tanggal 2 Maret 2023 yang pada intinya mengabulkan seluruhnya gugatan Partai Prima sebagai penggugat dalam perkara melawan Komisi Pemilihan Umum sebagai tergugat, sontak hal ini mendapatkan banyak tanggapan.
ADVERTISEMENT
Tanggapan yang didapatkan bervariatif, namun banyak yang menganggap ini merupakan putusan yang tidak baik. Hal ini banyak ditanggapi terutama oleh kalangan akademisi. Banyak yang menilai bahwa putusan ini keliru dan tidak berlandaskan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Feri Amsari mengatakan bahwa PN Jakpus telah bertindak diluar dari yurisdiksi. Mantan Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva, juga mengaku terkejut terhadap putusan yang dikeluarkan sehingga memang perlu dipertanyakan apa yang menjadi pemahaman dan kompetensi hakim PN dalam memutus perkara.
Terhadap kritik-kritik tersebut, penulis melalui tulisan ini mencoba menelaah lebih jauh mengenai apa yang menjadi kekeliruan Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut.

Petitum yang Diajukan Penggugat

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Dalam perkara nomor: 757/Pdt.G/PN Jkt.Pst, disebutkan pada intinya penggugat yaitu pihak Partai Prima mengalami kerugian dalam verifikasi administrasi yang dilakukan oleh Tergugat. Sehingga penggugat dalam petitumnya menuntut antara lain agar pihak Tergugat yaitu Komisi Pemilihan Umum yang diwakili oleh Hasyim Asy’ari dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum lalu menghukum pihak tergugat agar membayar ganti rugi materiil sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, penggugat meminta agar tergugat memulihkan nama baik penggugat dengan mewajibkan tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4(empat) bulan dan 7(tujuh) hari.

Kekeliruan dalam Gugatan Partai Prima

Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
Sebelum membahas petitum, perlu dijabarkan dahulu mengenai pengaturan mengenai pemilu. Penyelenggaraan pemilu merupakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 22E yakni pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Dalam tingkat undang-undang, sebagai pelaksanaan dari amanat konstitusi diaturlah penyelenggaraan pemilu melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang tersebut juga mengatur mengenai institusi yang berwenang dalam pengawasan pelaksanaan pemilu yaitu Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Bawaslu memiliki tugas dan wewenang yang khususnya menangani adanya sengketa proses pemilu. Adapun yang dimaksud dengan sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu.
Sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota yang ini diatur dalam Perbawaslu Nomor 18 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Objek gugatan dalam sengketa ini sebagaimana diatur dalam pasal 4 Perbawaslu 18 Tahun 2018 adalah Keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, atau keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Apabila dilihat dalam petitum yang disampaikan oleh penggugat, adanya dugaan kerugian yang dialami oleh penggugat dengan dikeluarkan keputusan KPU mengenai partai peserta pemilu (partai penggugat) dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam proses verifikasi partai peserta pemilu. Maka hal ini merupakan objek sengketa dari sengketa proses pemilu. Seharusnya dapat dilaporkan kepada institusi yang berwenang yakni Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu contoh sengketa yang diselesaikan oleh Bawaslu berkenaan dengan keputusan peserta pemilu yaitu pada kasus Partai Ummat mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu atas Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 tanggal 14 Desember 2022.

Kekeliruan Pengadilan dalam Menangani Sengketa

Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Soejono Eben/kumparan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal ini mempunyai kompetensi absolut sebagai pengadilan umum yaitu pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana serta perkara perdata.
Perkara perdata yang dimaksud ialah mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan (subjek hukum) yang satu dengan perseorangan (subjek hukum) yang lain mengenai hak dan kewajiban/perintah dan larangan dalam lapangan keperdataan yang biasanya secara umum dibagi dua yaitu Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (cidera janji).
ADVERTISEMENT
Sedangkan yang diajukan dalam petitum tergugat berkaitan dengan keputusan KPU dalam verifikasi peserta pemilu bukanlah ranah perdata yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh penggugat. Hal ini menurut penulis keliru, karena ini masuk dalam ranah hukum administrasi yang kemudian dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan hukum dari KPU (beschikking).
Seharusnya ini menjadi objek gugat dalam perkara Tata Usaha Negara apabila kemudian diajukan sebagai gugatan. Maka dari itu sejak awal harusnya Pengadilan Negeri Jakarta pusat seharusnya dapat menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima karena gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) pengadilan umum.

Meluruskan Kekeliruan

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Setelah menjabarkan beberapa kekeliruan baik pada petitum dan putusan perkara nomor: 757/Pdt.G/PN Jkt.Pst, hal yang dapat dilakukan saat ini khususnya bagi pihak tergugat yakni Komisi Pemilihan Umum ialah melakukan upaya hukum banding.
ADVERTISEMENT
Upaya banding yang kemudian diajukan kepada Pengadilan Tinggi Jakarta diharapkan dapat melakukan koreksi terhadap putusan sebelumnya dengan memeriksa judex factie.
Harapan penulis agar di kemudian hari pengadilan umum dapat menjadikan peristiwa ini sebagai suatu pembelajaran yang berharga. Karena tumpuan penegakkan hukum yang menciptakan ketertiban hukum berada dalam kuasa kehakiman.