Obstruction of Justice dalam Teori dan Hukum Pidana di Indonesia

Ichsan Syaidiqi
Konsultan Hukum dan Pengajar di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Politik Universitas Terbuka
Konten dari Pengguna
13 September 2022 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Aditya Joshi(image.unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Aditya Joshi(image.unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terminologi obstruction of justice atau lebih dikenal dengan menghalangi proses peradilan akhir-akhir ini sedang santer terdengar di ruang publik bersamaan dengan terungkapnya sangkaan terhadap perkara pembunuhan Brigadir J. Dugaan adanya perilaku yang tidak profesional dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal ini berdampak terhadap keberadaan barang bukti, inilah yang menjadi salah satu contoh bentuk dari obstruction of justice.
ADVERTISEMENT
Lantas seperti apa yang dimaksud dengan obstruction of justice, bagaimana penjelasannya dalam kajian hukum pidana dan keberlakuan hukumnya di Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menjelaskan mengenai obstruction of justice secara singkat, serta bagaimana keberlakuan hukum yang mengatur mengenai hal ini. Diperlukan ada upaya reformulasi pada norma yang mengatur obstruction of justice dalam peraturan pidana di Indonesia.

Obstruction of Justice dan Contempt of Court

Ada satu terminologi yang erat dikaitkan dengan obstruction of justice yaitu contempt of court. Menurut Black Law Dictionary istilah tersebut merupakan perbuatan menghina, menghambat, merusak peradilan dalam melaksanakan fungsinya untuk menyelenggarakan keadilan atau juga disebut sebagai perbuatan yang merendahkan kewenangan dan martabat pengadilan. Apabila kita dalam perspektif historis, terminologi ini dikenal dalam sistem negara hukum common law. Lilik Mulyadi mengungkapkan tradisi contempt of court lahir dan tumbuh berkembang melalui paham pada abad pertengahan korelasi dengan bentuk kerajaan Inggris, raja dianggap sebagai sumber hukum dan keadilan yang kekuasaannya didelegasikan kepada aparat hukum. Pada hakikatnya, aturan contempt of court berasal dari doktrin pure streams of justice.
ADVERTISEMENT
Apabila dikaitkan dengan kondisi tersebut maka contempt of court diidentifikasikan dengan contempt of the king. Hukum yang dibuat oleh raja dan pertanggungjawaban raja hanya kepada Tuhan. Dalam perkembangannya pengaturan mengenai contempt of court lebih dianut oleh negara dengan sistem hukum common law daripada civil law. Sebagai contoh Inggris yang sudah mengatur ketentuan mengenai contempt of court secara normatif dalam contempt of court act 1981 (Neisa Ang rum Adisti,2019).
Lantas apa korelasi antara contempt of court dengan obstruction of justice, menurut Oemar Seno Adji pada contempt of court terdapat beberapa perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap peradilan antara lain berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in court); kedua tidak menaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders), menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing the court), menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice), dan perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (sub-judice rule). Kemudian, menurut Suparji Ahmad, menghalangi peradilan / obstruction of justice merupakan bentuk dan klasifikasi contempt of court berupa obstruksi peradilan menjadi suatu perbuatan yang menimbulkan dampak penyelewengan atau mengacaukan untuk menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan. Apabila dilihat dari penjelasan tersebut, dapat dianggap bahwa menghalangi proses peradilan/obstruction of justice merupakan bagian dari bentuk contempt of court.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut mengenai menghalangi proses peradilan menurut Debora C. England terdapat empat kriteria perbuatan yaitu:
Aiding a suspect: membantu tersangka dengan memberikan informasi mengenai proses penyidikan terhadapnya. perbuatan ini dapat menghalangi proses peradilan karena bocornya informasi tersebut tersangka dapat menghilangkan atau merusak barang bukti termasuk didalamnya ialah menyembunyikan tersangka.
Lying, adalah tindakan dari saksi atau tersangka yang memberikan informasi palsu kepada penyidik pada saat dilakukannya pemeriksaan saksi atau tersangka baik melalui tulisan atau lisan.
Famous obstructions: Secara bersama-sama membantu pelaku tindak pidana untuk dapat mengelabui penegak hukum seperti mengambil dan menghilangkan barang bukti.
Tampering with evidence: yakni perbuatan merusak alat bukti. Termasuk perbuatan menyuap saksi agar merekayasa suatu peristiwa pidana.
ADVERTISEMENT

Obstruction of Justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

Berbeda dengan Inggris, Indonesia belum mengatur secara khusus peraturan perundang-undangan yang membahas secara khusus mengenai menghalangi proses peradilan. Namun didalam Undang- Undang No14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa konsep contempt of court ditemukan dalam penjelasan dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada butir 4 alinea ke-4 yaitu: “selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan teradap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan dikenal sebagai contempt of court”. Pengaturan mengenai menghalangi proses peradilan secara terpisah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, menurut Suparji Ahmad tindakan menghalang-halangi proses peradilan telah diatur dalam KUHP dan hukum pidana khusus (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pada KUHP, tindakan obstruction of justice dapat diartikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan. Hanya terdapat satu pasal yang secara eksplisit menyebutkan unsur dan tujuan yakni frasa “untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau penuntutan” dalam Pasal 221 ayat (1) sub 2e KUHP. Pasal 221 ayat (1) KUHP juga mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalangi penyidikan.
ADVERTISEMENT
Apabila dilihat dalam kriteria obstruction of justice sebagaimana disampaikan oleh Deborah, pada KUHP juga terdapat perbuatan menyembunyikan orang (aiding suspect) yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan. Termasuk kemudian perbuatan rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence) perbuatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 221, 231 dan juga 233 KUHP.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mendasarkan hal tersebut dituangkan dalam undang-undang tersebut adalah ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada Bab III terkait kriminalisasi dan penegakan hukum, terdapat 11 perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai delik korupsi salah satunya adalah pada pasal 25 yaitu perbuatan menghalangi/merintangi proses peradilan. Atas amanat dari konvensi tersebut kemudian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 21 dan 22 menyebutkan secara eksplisit unsur yang disebut sebagai perbuatan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
ADVERTISEMENT
Melihat pengaturan mengenai obstruction of justice secara konsepsi sangat terbatas dan diatur dalam dua peraturan perundangan yang berbeda, seharusnya KUHP sebagai lex generalis memberikan ketentuan umum mengenai apa yang dimaksud dengan obstruction of justice. Dalam kekhususannya dalam perkara korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi selaku lex specialis tetap berpatokan pada aturan umum yakni KUHP mengenai upaya menghalangi proses peradilan.

Reformulasi mengenai Obstruction of Justice perlu diperkuat dan diperjelas

Setelah melihat pengaturan obstruction of justice yang demikian, dapat dilihat bahwa peraturan ini disharmoni karena diatur dalam undang-undang berbeda. Konsep pidana yang mengatur mengenai obstruction of justice sudah seharusnya diperkuat. Bagian yang dikira perlu dicermati misalnya dalam KUHP subjek dalam pasal – pasal yang berkaitan dengan menghalangi peradilan hanya menyasar secara umum kepada masyarakat berdasarkan frasa setiap orang.
ADVERTISEMENT
Apabila berkaca pada kasus dugaan pembunuhan Brigadir J, justru yang melakukan menghalangi peradilan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Seharusnya dapat ditambahkan kualifikasi pasal pemberat apabila yang melakukan perbuatan adalah aparat penegak hukum (hakim, jaksa, atau polisi), sehingga diaturnya hal ini merupakan perwujudan dari legislator dalam melindungi peradilan secara harfiah.
Harapan tersebut sebenarnya dapat diwujudkan melalui Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun dilihat dalam substansi pengaturan contempt of court dan obstruction of justice didalam RKUHP, hanya diberlakukan terhadap (subjek) masyarakat di luar aparat penegak hukum. RKUHP sendiri belum mengatur soal ketika penegak hukum di lingkungan peradilan, seperti seperti hakim, penyidik, dan penyelidik melakukan perbuatan yang merendahkan martabat, kewibawaan, dan/atau kehormatan lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT
Kemudian dalam bentuk jenis konsep delik obstruction of justice kiranya perlu merinci mengenai detail perbuatan yang menjadi ruang lingkup sebagaimana disebutkan yakni Aiding a suspect: membantu tersangka, Lying, adalah tindakan dari saksi atau tersangka yang berbohong atau memberikan informasi palsu, Famous Obstructions: bersekongkol atau bersama sama membantu pelaku tindak pidana, Tampering With Evidence: yakni perbuatan merusak barang bukti atau alat bukti.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa Indonesia belum mengakomodir konsep contempt of court dan obstruction of justice secara utuh dalam peraturan khusus (bahkan dalam aturan umum mengenai hukum pidana). Hal ini seharusnya perlu dinormakan/dituangkan dalam RKUHP sebagai sebuah solusi jangka pendek, mengingat RKUHP saat ini masih dalam proses penyerapan masukan kepada berbagai pihak baik stakeholder dan akademisi. Sebelum pembahasan RKUHP diparipurnakan menjadi undang-undang yang berlaku.
ADVERTISEMENT