Perintah Jabatan dan Pertanggungjawaban Pidana

Ichsan Syaidiqi
Konsultan Hukum dan Pengajar di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Politik Universitas Terbuka
Konten dari Pengguna
7 Januari 2023 18:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam upaya pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum Richard Eliezer (RE), argumentasi yang diajukan oleh pihak kuasa hukum bahwa RE hanya melaksanakan perintah dari tersangka Ferdi Sambo (FS). Hal ini kemudian menjadi pembelaan agar RE tidak dapat dikenakan/dibebankan tanggungjawab pidana. Melaksanakan perintah jabatan diatur dalam pasal 51 KUHP sebagai salah satu alasan penghapusan pidana. Penulis mencoba menjelaskan mengenai perintah jabatan sebagai alasan penghapusan pidana dan selain itu terdapat kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang yang melaksanakan perintah jabatan tidak dapat dikenakan pidana.
ADVERTISEMENT

Pertanggungjawaban pidana dan alasan penghapusan pidana

Seseorang apabila melakukan suatu perbuatan pidana tidak serta merta dapat dikenakan pidana. Hal ini merupakan konsekuensi dari ajaran dualistis dalam hukum pidana Indonesia yang artinya pemidanaan terhadap suatu tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat, bukan hanya melihat terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana. Dengan demikian menurut Chairul Huda, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
Maka dari itu, selain dituntut untuk membuktikan kesalahan, maka perlu dilihat terlebih dahulu apakah individu tersebut dapat bertanggungjawab secara pidana. Dalam konsep pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri dari tiga syarat, yakni:
1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari sisi pelaku.
ADVERTISEMENT
2. Adanya perbuatan melawan hukum, yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja (dolus)dan sikap kurang hati-hati (culpa).
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
Pada syarat ketiga, dalam konsep pertanggungjawaban pidana terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf yang apabila hal ini terdapat dalam diri pelaku atau perbuatannya, inilah yang kemudian dapat menghapus pidana si pelaku.
Alasan pemaaf ialah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku tindak pidana. Menurut Lamintang, bahwa alasan pemaaf pada hakikatnya berkaitan dengan sikap batin si pelaku. Jadi, meskipun seluruh unsur perbuatan terpenuhi namun karena alasan pemaaf yang dilihat dari sisi pelakunya, perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh alasan pemaaf diatur dalam KUHP pasal 44 (gangguan kejiwaan), pasal 49 ayat (2) (pembelaan terpaksa yang melampaui batas), pasal 51 ayat (2) (menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang).
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam alasan pembenar merupakan alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan pidana, menurut Lamintang, alasan pembenar lebih bersifat objektif dan melekat pada perbuatan si pelaku. Jika perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada pemidanaan. Pada alasan pembenar dalam KUHP diatur dalam pasal pasal 48 mengenai keadaan darurat (overmacht), pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa, pasal 50 tentang menjalankan perintah peraturan perundang-undangan, dan pasal 51 ayat (1) tentang menjalankan perintah jabatan.

Pejabat dan perintah jabatan pada pasal 51 KUHP

Mari kita bahas mengenai alasan pembenar dalam pasal 51, klausul pasal perintah jabatan dalam KUHP Indonesia merupakan saduran KUHP dalam Bahasa Belanda yaitu Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag atau dalam istilahnya yang diambil yaitu ambetelijk bevel. Maka perlu dilihat terlebih dahulu bunyi lengkap dari pasal, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum;
2. Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah;
Sebagai contoh seorang polisi diperintah oleh penyidik untuk menangkap seorang pelaku kejahatan. Maka dari itu kemudian polisi melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tersebut. Tindakan menangkap dan menahan ini pada hakikatnya merampas kemerdekaan orang lain. Akan tetapi polisi yang menangkap pelaku tersebut kemudian tidak dapat dipidana karena dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan karena adanya perintah (berupa sprindik, surat penangkapan, dan surat penahanan yang dikeluarkan oleh Kepolisian). Sehingga perbuatan tersebut dapat dibenarkan dan hilanglah sifat melawan hukumnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Lamintang, ambtelijk bevel atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai perintah jabatan, maka perlu dibahas mengenai pejabat yang dimaksud jabatan yang berhak memerintah. Sayangnya KUHP tidak memberikan penjelasan mengenai pejabat yang memberikan perintah, apabila dilihat dalam pasal 92 KUHP hanya dirumuskan mengenai perluasan dari arti pejabat. Maka dari itu Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam putusan tanggal 21 Mei 1918 menyebutkan bahwa yang dimaksud perintah jabatan tidak hanya dimaksudkan sifat membawah dalam jabatan, akan tetapi setiap kewajiban untuk patuh dari penduduk terhadap perintah-perintah dari organ-organ dari kekuasaan negara.
ADVERTISEMENT
Maka kata kunci yang dapat kita ambil dari putusan tersebut tersebut adalah yang dimaksud dengan perintah yang diberikan oleh pejabat adalah yang lahir dari/dikeluarkan oleh organ-organ kekuasaan negara (sebagaimana contoh yang disebutkan sebelumnya).

Kualifikasi perintah jabatan yang dapat dipidana

Selanjutnya adakah kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana meskipun menurut pasal 51 KUHP tidak dapat dikenakan pidana. R.Soesilo menjelaskan bahwa untuk dapat dipidana, maka harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian Negeri, bukan pegawai partikelir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.
ADVERTISEMENT
2. Perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, kecuali jika orang itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. Jika demikian, menurut ayat (2) dari pasal ini, orang itu tidak dapat dihukum.
Selain itu menurut Satochid Kartanegara mengenai cara melaksanakan perintah tersebut juga harus “seimbang, patut, dan tidak boleh melampaui batas keputusan perintah.” Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa keberlakuan pasal 51 KUHP sebagai alasan penghapusan pidana dapat dikecualikan apabila dalam perintah tersebut, pelaku melaksanakan perintah yang tidak berhak (dalam arti tidak resmi) dan juga apabila melaksanakan perintah yang tidak menimbang kepatutan dan batasan perintah.
ADVERTISEMENT

Pandangan disiplin bangkai

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipetik kesimpulan mengenai keberlakuan pasal 51 KUHP memang sebagai bentuk alasan penghapusan pidana karena melaksanakan perintah jabatan resmi/ dalam hal menjalankan kewenangan suatu institusi dalam konteks kasus ini Kepolisian misalnya dalam melakukan suatu rangkaian penyelidikan, maka hal itu dapat dikecualikan. Namun tidak semua bentuk perintah meskipun itu diberikan oleh otoritas/ jabatan yang berada diatasnya dapat melepaskan tanggungjawab pidana bagi si pelaksana perintah. Terdapat syarat yang kiranya dipenuhi agar kualifikasi perintah jabatan ini dapat benar-benar menjadi alasan penghapusan pidana.
Mengenai hal ini, penulis mengutip satu pandangan yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa tidak setiap pelaksanaan perintah jabatan melepaskan orang yang diperintah dari tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain, terdapat pengutukan daripada apa yang dinamakan disiplin bangkai (kadaver disiplin). Moeljatno mengatakan pemerintah mengutuk orang yang secara membuta tanpa dipikir-pikir lebih dahulu, menjalankan begitu saja perintah dari atasannya. Pemerintah seyogyanya jangan terdiri dari pejabat-pejabat yang hanya bisa bilang “sendiko,semuhun dawuh, atau yes-man” saja. Oleh karena itu tidak dapat menerima apa yang dinamakan dispilin bangkai. Suatu perintah tidak boleh langsung dijalankan, melainkan harus dipikirkan terlebih dahulu, apabila bertentangan dengan hukum dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT