Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perubahan Ketentuan Pidana Undang-Undang 32 Tahun 2009 dalam UU Omnibus Law
22 Oktober 2020 7:04 WIB
Tulisan dari Ichsan Syaidiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sejak disahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, dapat kita lihat banyak sekali diskursus yang membahas undang-undang kontroversial tersebut. Tidak sedikit yang mengkritik dan menolak bahkan tidak banyak pula yang setuju dan mendukung.
ADVERTISEMENT
Terang saja, kekuatan Undang-Undang Omnibus Law ini mencakup kurang lebih 70 undang-undang terkait dan dilakukan pembahasan dan pengesahan dalam waktu yang cukup singkat dari Oktober 2019 Hingga hari ini.
Bisa kita lihat di beberapa media, perdebatan mengenai muatan undang-undang baik dari perspektif hukum ketenagakerjaan, lingkungan dan banyak lagi. Bahkan banyak akademisi juga mengkritisi prosedural pembentukan Undang-Undang ini.
Dari semua diskursus diskusi yang ada, kiranya perlu juga diperhatikan bahwa dalam Undang-Undang Omnibus Law juga melakukan dekriminalisasi terhadap beberapa pasal yang bermuatan pidana serta beberapa perubahan terkait ketentuan pidana dalam setiap undang-undang yang tercangkup di dalamnya.
Maka dari itu dalam tulisan ini saya ingin ikut andil dalam menuangkan pemikiran saya terkait perubahan ketentuan pidana khususnya dalam perspektif Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Draft yang menjadi acuan saya dalam membuat tulisan ini adalah draft teranyar yang diakui pemerintah sudah rampung dan diserahkan kepada presiden ( Draft 812 Halaman). Berikut beberapa pembahasan yang saya temukan.
ADVERTISEMENT
Dekriminalisasi ketentuan pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009.
Dekriminalisasi merupakan istilah yang menjelaskan dimana suatu perbuatan tadinya merupakan perbuatan pidana, menjadi tidak dipidana. Menurut Prof Jacob Elfinus Sahetapy, dekriminalisasi yang dilakukan pada dapat dilakukan pada level legislasi, artinya, suatu perbuatan pidana /delik yang tadinya dianggap sebagai suatu perbuatan pidana dalam undang-undang, kemudian undang-undangnya diubah dan perbuatan itu tidak lagi menjadi ketentuan pidana. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang 32 Tahun 2009 Ketentuan Pidana diatur dalam pasal 97 hingga pasal 123, jumlah artinya terdapat 26 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana. Dalam Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja versi 812 mencabut dua pasal yakni :
Pasal 102 :
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
ADVERTISEMENT
Pasal 110 :
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dengan dicabutnya kedua delik tersebut dalam UU 32 Tahun 2009 tidak hanya menimbulkan implikasi terhadap berkurangnya jumlah delik yang ada dalam undang-undang tersebut. Melainkan ada bahaya yang lebih besar lagi. Dengan dicabutnya ketentuan tersebut justru akan menambah masalah lagi mengenai Pengelolaan Limbah yang saat ini sudah mengkhawatirkan.
Dalam catatan awal tahun ICEL Tahun 2019 menyebutkan bahwa di Indonesia tumbuhnya permasalahan-permasalahan B3 dan limbah B3 pada periode 2015-2018 tergolong cepat dan beragam. Setidaknya jika dilihat dari masalah-masalah yang muncul ke permukaan seperti tidak tertanganinya limbah medis, slag aluminium, kontaminasi penimbunan, LB3 ke permukiman warga, kontaminasi merkuri dan sianida di berbagai lokasi pertambangan rakyat dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dengan dicabutnya pasal 102 justru dapat menambah rentet panjang permasalahan penanganan pengelolaan limbah B3 Ilegal karena pelaku baik orang ataupun badan hukum tidak dijatuhi hukuman pidana. Sehingga patut dipertanyakan semangat pemerintah pusat dalam menangani dan menanggulangi permasalahan Limbah B3.
Belum lagi dicabutnya pasal 110 yang mengindikasikan bahwa dalam membuat AMDAL dapat dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki sertifikat dan tidak dipidana.
Beberapa perubahan ketentuan pidana lainnya
Selain ada upaya dekriminalisasi oleh pembuat undang-undang, hal lain yang perlu disorot dalam perubahan ketentuan pidana pada undang-undang ini yaitu pada pasal 109,111,dan 112 ;
Pada Undang-Undang 32 Tahun 2009 muatan pasal 109 yakni :
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
ADVERTISEMENT
Dalam undang-undang Omnibus Law, terdapat perubahan yang cukup signifikan yakni :
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
a. Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4);
b. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
c. persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);
yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Sekilas kita lihat terdapat perubahan yang cukup gemuk dalam muatan pasal 109 terbaru karena dalam ketentuan sebelumnya hanya syarat pada ketentuan pasal 36 ayat (1) yaitu kewajiban pelaku usaha memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Sekarang ditambah dengan beberapa persyaratan perizinan lainnya yaitu Izin Pemerintah Daerah ataupun Pusat mengenai Pembuangan Limbah (Pasal 20 ayat 3) kemudian Perizinan Pemerintah Pusat mengenai Dumping (Pasal 61 Ayat 1) .
Akan tetapi muatan delik ini yang bentuk sebelumnya adalah delik formil dalam perubahannya diubah menjadi delik materil karena dalam muatan akhir pasal 109 terbaru menyebutkan frasa "yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan /atau lingkungan".
Sehingga dapat diasumsikan bahwa pemerintah memberikan kelonggaran terhadap masalah perizinan selama tidak menimbulkan "korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan /atau lingkungan". Sehingga agar pelaku usaha dapat dijerat mengenai pelanggaran perizinan maka harus dibuktikan terlebih dahulu adanya akibat dari perbuatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Delik dalam pasal 111 ditujukan kepada pejabat berwenang yang memberikan izin usaha/kegiatan dan izin lingkungan, dalam ketentuan sebelumnya:
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling l ama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dalam ketentuan yang baru, justru ketentuan pasal 111 direduksi menjadi :
ADVERTISEMENT
Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dengan direduksi ketentuan pasal 111 dapat dilihat secara gamblang bahwa untuk pemberi izin usaha justru dikriminalisasikan bahwa pejabat yang memberikan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi izin lingkungan tidak dapat dipidana. yang artinya pemerintah dapat melepas diri dari tanggungjawab atas pemberian izin usaha yang kemudian hadir ditemukan terdapat cacat/ kekurangan secara administrasi.
Dalam ketentuan pasal 112 mengatur mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap pejabat berwenang yang melakukan pengawasan terhadap ketaatan tanggungjawab penyelenggara usaha, berdasarkan ketentuan lama pasal 112 bermuatan:
ADVERTISEMENT
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pada ketentuan yang diatur dalam Omnibus Law, pasal 112 mengalami perubahan pasal sebagai berikut :
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa dalam pasal 71 tersebut mengatur mengenai kewajiban pemerintah dalam mengawasi ketaatan pelaku usaha khususnya dalam menaati undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup , sedangkan dalam pasal 72 mengatur mengenai kewajiban pemerintah dalam mengawasi ketaatan pelaku usaha dalam mengupayakan kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Bisa dilihat dalam ketentuan yang baru pemerintah kembali seakan melepaskan beban tanggungjawab pengawasan terhadap pelaku usaha mengupayakan perizinan dalam melaksanakan usaha/kegiatan yang artinya pejabat berwenang dalam hal ini tidak dapat lagi dijatuhi pidana apabila lalai dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan izin usaha.
Konklusi
Setelah mencermati beberapa perubahan yang ada dalam Omnibus Law khususnya dalam perundang-undangan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah sangat "kekeh' dengan upaya melancarkan perizinan/kegiatan usaha dengan mencabut/ melakukan dekriminalisasi terhadap delik mengenai pengelolaan limbah tanpa izin kemudian terlihat juga dalam ketentuan yang diubah pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini pejabat yang berwenang juga tidak dapat lagi dijatuhi pidana apabila memberikan izin tanpa dilengkapi izin lingkungan bahkan apabila pejabat yang berwenang lalai dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi syarat-syarat perizinan usaha/kegiatan pengelolaan lingkungan.
Atas dasar tersebut kiranya kita perlu mempertanyakan kembali intensi pemerintah dalam upaya menyelenggarakan penegakan hukum khususnya melalui hukum pidana dalam melindungi pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen Omnibus Law ini.