Konten dari Pengguna

Defisit Pajak Kronis: Indonesia Butuh Reformasi Fiskal?

Mohammad Ichsan Verianto
Mohammad Ichsan Verianto, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Interest in Regional Economics, Public Policy, Green Economics & Environment, and Finance.
15 Mei 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Defisit Pajak Kronis: Indonesia Butuh Reformasi Fiskal?
Defisit APBN capai Rp104,2 T, penerimaan pajak anjlok. Reformasi fiskal jadi kunci menghadapi tekanan ekonomi global dan membangun fondasi fiskal yang lebih tangguh.
Mohammad Ichsan Verianto
Tulisan dari Mohammad Ichsan Verianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika dunia berada di ambang resesi, Indonesia menghadapi tantangan ganda yaitu pelemahan ekonomi dan penurunan penerimaan pajak negara. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 104,2 triliun pada kuartal pertama 2025 menjadi sinyal keras akan rapuhnya fondasi fiskal nasional. Kondisi ini mendesak perlunya langkah cepat untuk mempercepat reformasi penerimaan negara, bukan sekadar mengandalkan stimulus sesaat.
ADVERTISEMENT
Fiskal Terkini dan Ancaman Defisit Pajak
Laporan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak nasional hingga Maret 2025 turun sebesar 16,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat sebesar Rp 104,2 triliun, atau 0,46 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Penurunan ini terjadi di tengah perlambatan global, tensi geopolitik, serta pelemahan konsumsi domestik.
Ilustrasi Defisit Pajak di Tengah Resesi. Foto: eamesBot/Shutterstock
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook edisi April 2025 mencatat, mayoritas negara berkembang mengalami tren serupa seperti kontraksi pendapatan negara akibat penurunan aktivitas ekonomi. Namun, berdasarkan laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyatakan bahwa rasio pajak terhadap PDB Indonesia tergolong rendah dibanding negara-negara lain di kawasan. Rasio pajak Indonesia hanya sekitar 10 persen terhadap PDB, terhitung masih jauh tertinggal dibandingkan Malaysia (14 persen) dan Thailand (16 persen).
ADVERTISEMENT
Efektivitas fiskal Indonesia tidak lepas dari tantangan struktural. OECD menyarankan perlunya perluasan basis pajak, termasuk optimalisasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Tujuannya untuk memperbaiki kemandirian fiskal jangka panjang.
Ketergantungan Pajak pada Sektor Rentan
Penurunan penerimaan pajak ini memperlihatkan ketergantungan yang tinggi terhadap sektor-sektor rentan. Komoditas seperti batu bara dan minyak sawit yang selama ini menopang penerimaan mengalami tekanan akibat penurunan harga dunia. Industri manufaktur juga terpengaruh akibat gangguan rantai pasok global.
Sektor energi dan pertanian yang seharusnya berperan penting, ternyata masih belum dioptimalkan sebagai basis pajak baru. Padahal, energi terbarukan mulai tumbuh, dan sektor pertanian menunjukkan ketahanan yang cukup stabil di tengah gejolak ekonomi. Digitalisasi di sektor pertanian, seperti penggunaan aplikasi pasar daring, membuka peluang perluasan basis pajak baru yang belum sepenuhnya tergarap.
ADVERTISEMENT
Tekanan juga datang dari ekonomi digital. Fenomena transaksi mata uang kripto, seperti kasus yang diungkap Kementerian Komunikasi dan Digital terkait penggunaan platform berbasis identitas biometrik Worldcoin di Indonesia, menunjukkan celah baru dalam sistem fiskal nasional. Sayangnya, respon fiskal negara belum secepat pergerakan teknologi itu sendiri.
Belajar dari Negara Tetangga
Beberapa negara tetangga bertindak lebih adaptif. Southeast Asia Academic melalui laporannya yaitu Southeast Asia Economic Outlook 2024 mencatat perbandingan kebijakan fiskal negara-negara di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) seperti Malaysia, Vietnam, dan Singapura yang menggunakan insentif pajak dan stimulus fiskal sebagai respons terhadap resesi.
Ilustrasi Konsep Manajemen Electronic Invoice untuk Memperluas Cakupan Pajak Digital. Foto: Miha Creative/Shutterstock
Malaysia misalnya, memperkenalkan layanan MyTax 2.0 untuk memperluas cakupan pajak digital serta memperketat penerimaan cukai atas minuman berpemanis melalui sistem e-invoicing nasional. Vietnam mengembangkan digitalisasi pajak pertanian lewat aplikasi e-filing yang memudahkan pembayaran pajak langsung tanpa perantara. Sementara itu, Singapura mengintegrasikan pajak karbon ke dalam sistem fiskal digital, dengan pendapatan yang dialokasikan untuk inovasi energi bersih.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah ini memperlihatkan upaya serius negara-negara tersebut dalam memperluas basis pajak dan memperkuat ketahanan fiskal. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam konsolidasi sistem pajak digital dan perlu mempercepat adopsi insentif fiskal yang lebih inovatif untuk menghadapi tekanan ekonomi global.
Rekomendasi Langkah Reformasi
Pertama, perluasan basis pajak. Indonesia perlu memperluas basis pajak secara nyata, termasuk mengoptimalkan sektor energi terbarukan dan digitalisasi pertanian. Pengenaan pajak karbon, jika dirancang dengan prinsip adil dan bertahap dapat membuka ruang fiskal baru sekaligus mendukung agenda hijau nasional.
Kedua, digitalisasi pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). akselerasi digitalisasi perpajakan harus menjadi prioritas. Penerapan integrated tax payment systems untuk UMKM berbasis aplikasi Point-of-Sale (POS) digital dapat menurunkan biaya kepatuhan dan memperbesar cakupan wajib pajak. Studi OECD pada 2023 menunjukkan bahwa digitalisasi pajak dapat meningkatkan penerimaan negara berkembang hingga 2-3 persen dari PDB dalam 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Ketiga, edukasi perpajakan publik. Diperlukan pendekatan berbasis edukasi untuk memperbaiki kepatuhan sukarela. Program edukasi pajak melalui platform media sosial dan marketplace dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak baru, terutama di sektor informal.
Keempat, belanja negara harus diarahkan lebih produktif. Belanja infrastruktur digital, pendidikan vokasional, dan kesehatan publik mesti diprioritaskan. Ini sesuai temuan Auerbach dan Gorodnichenko dari Biro Nasional Riset Ekonomi (NBER) pada 2022 yang menyatakan bahwa stimulus fiskal produktif memperkuat pertumbuhan jangka panjang.
Kesimpulannya, dengan reformasi fiskal yang berani, inovatif, dan inklusif, Indonesia tidak hanya akan mampu bertahan menghadapi resesi global, tetapi juga membangun fondasi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Masa depan fiskal Indonesia ada di tangan keputusan yang diambil hari ini.
ADVERTISEMENT