Konten dari Pengguna

Kaya Nikel Tapi Belum Mandiri: Dilema Energi Terbarukan Indonesia

Mohammad Ichsan Verianto
Mohammad Ichsan Verianto, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Interest in Regional Economics, Public Policy, Green Economics & Environment, and Finance.
3 Mei 2025 17:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Ichsan Verianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia selama ini dikenal memiliki sumber daya nikel yang sangat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 17 miliar ton dengan cadangan terukur 5 miliar ton.
ADVERTISEMENT
Nikel adalah komoditas strategis terutama untuk rantai pasok baja tahan karat dan teknologi baterai kendaraan listrik. Meskipun kaya kandungan nikel, kenyataannya pemanfaatan nikel untuk industri mobil listrik dalam negeri masih terbatas alias belum mandiri.
Ilustrasi Sumber Daya Mineral Nikel. Foto: Erman Gunes/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sumber Daya Mineral Nikel. Foto: Erman Gunes/Shutterstock
Data riset industri menunjukkan lebih dari 60% nikel Indonesia terserap oleh industri stainless steel dan hanya sekitar 19-20% yang digunakan untuk baterai lithium-ion. Dengan kata lain, mayoritas nikel Indonesia saat ini pemanfaatannya belum optimal karena masih terkonsentrasi pada industri baja, tidak secara langsung digunakan untuk mendukung kebutuhan transisi energi.
Dominasi Industri Stainless Steel
Faktanya penggunaan nikel yang masih didominasi untuk baja tahan karat menjadi sorotan utama di berbagai pembahasan. Hal ini dikarenakan struktur hilirisasi belum terintegrasi penuh meskipun Indonesia menjadi penghasil nikel terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Indonesia dapat dikatakan belum mandiri dalam menunjang ekosistem industri terbarukan seperti pemenuhan kebutuhan baterai listrik. Alasannya karena teknologi baterai electric vehicle (EV) tidak hanya bergantung pada bahan baku nikel tetapi juga teknologi pembuatannya. Contohnya seperti elemen lithium dan kobalt pada baterai nickel manganese cobalt (NMC) yang harus tetap diimpor.
Oleh karena itu, saat ini tidak heran jika sebagian besar nikel justru difokuskan untuk pengolahan baja. Fakta ini ditegaskan dengan data dari Kementerian ESDM yang menyatakan bahwa lebih dari 60% produksi nikel di Indonesia masih terserap oleh industri stainless steel, sementara pemanfaatan untuk baterai lithium-ion baru sekitar 19-20%. Fenomena ini memantik wacana bahwa hilirisasi nikel masih perlu dioptimalkan agar nilai tambahnya dapat dirasakan terutama untuk sektor-sektor terbarukan seperti EV dan penyimpanan energi.
ADVERTISEMENT
Tantangan Nikel Kadar Rendah
Salah satu kendala tambahan ialah penyerapan nikel kadar rendah di dalam negeri seperti bijih kualitas rendah. Akhir-akhir ini muncul laporan beberapa smelter tidak mau membeli bijih nikel berkadar rendah yang diproduksi penambang lokal seperti jenis limonit. Fenomena ini terkait dengan mekanisme Harga Patokan Mineral (HPM) yang sulit dioperasionalisasikan secara ekonomis.
Kementerian ESDM juga mengonfirmasi bahwa harga nikel dalam negeri terus menjadi polemik yang menyebabkan produsen lebih memilih menjual nikel kadar rendah ke luar negeri. Alasannya karena harga jual lebih tinggi daripada harga nikel di domestik.
Dengan kata lain, penambang tidak menitipkan nikel rinci (rendah kadar Ni) ke smelter dalam negeri karena margin yang terlalu tipis, dan memilih untuk diekspor mentah ke luar. Kebijakan HPM pun sedang dievaluasi agar lebih menjadi harga jual acuan dalam transaksi, bukan sekadar patokan royalti tapi demi menjaga keseimbangan antara kepentingan smelter dan penambang. Tekanan ini menunjukkan sulitnya mengatur alur niaga nikel domestik dengan tujuan agar semua tumpukan bijih dapat diproses termasuk yang kadar rendah.
ADVERTISEMENT
Produksi Mineral Turun Drastis
Dalam konteks hilirisasi dan permintaan global, data produksi mineral Indonesia juga perlu dicermati. Laporan Kementerian ESDM yang dikutip Bloomberg Technoz menyebut bahwa hampir semua komoditas mineral andalan Indonesia mengalami penurunan produksi pada 2024.
Penurunan paling parah terjadi pada komoditas timah dan emas. Produksi timah merosot 41,6% (dari 68,2 ribu ton menjadi 39,8 ribu ton), dan produksi emas turun sekitar 42% (dari 105 ton menjadi 60,8 ton). Kondisi ini mencerminkan perlambatan aktivitas tambang nasional sekaligus dampak regulasi larangan ekspor bijih mentah untuk komoditas tertentu.
Ilustrasi Tambang Nikel. Foto: Phawat/Shutterstock
Sementara itu, produksi nikel relatif lebih stabil dibuktikan dengan data Kementerian ESDM yang menunjukkan sedikit penurunan pada 2024, dari 176,9 juta ton pada 2023 menjadi 173,6 juta ton. Sedangkan penyerapan nikel paling banyak berasal dari pasar global.
ADVERTISEMENT
Secara agregat, realisasi Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) nikel 2024 disetujui sebesar 240 juta ton, melebihi kebutuhan domestik smelter sekitar 220 juta ton. Artinya, saat ini pasokan bijih nikel termasuk nikel kadar rendah terhitung lebih dari cukup untuk pabrik smelter dalam negeri, dengan catatan selama harga dan kebijakan perdagangan bisa diatasi.
Nikel untuk Kendaraan Listrik
Nikel memiliki potensi besar dalam mendukung energi bersih atau terbarukan. Nikel merupakan komponen utama baterai tipe NMC yang menjadi favorit dalam pembuatan mobil listrik tipe jarak jauh.
Ilustrasi Baterai Mobil Listrik Hasil Olahan Industri Nikel yang Berorientasi Energi Terbarukan. Foto: Iryna Inshyna/Shutterstock
Kebutuhan baterai di Indonesia diproyeksikan akan melonjak secara drastis hingga 2030 yang memerlukan 108,2 Gigawatt hour (GWh) baterai untuk memenuhi target 20 juta unit kendaraan EV yang berkapasitas total sebesar 780 GWh. Saat ini, kapasitas produksi bahan baku baterai nasional baru setara 373 GWh, artinya terdapat defisit sekitar 407 GWh yang perlu dipenuhi dengan investasi baru. Indonesia masih punya peluang untuk menopang kebutuhan ini karena jumlah cadangan nikel yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangannya besar karena industri baterai nasional masih bergantung pada impor bahan baku utama seperti lithium dan kobalt, sehingga belum bisa memproduksi baterai EV secara penuh di dalam negeri. Pemerintah pun sedang mendorong insentif hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahan baterai hingga ekosistem EV. Tujuannya agar nilai tambah nikel tidak lagi hanya digunakan untuk pengembangan industri baja tetapi juga mendukung kedaulatan energi masa depan.
Masa Depan Industri Nikel
Dalam rencana jangka panjang, nikel dipandang sebagai sumber daya strategis bagi transisi energi global maupun nasional. Indonesia bahkan memiliki sekitar 42% cadangan nikel dunia termasuk bijih laterit nickel pig iron yang menjadi daya tawar kuat bagi investasi green economy.
Peluang pengembangan nikel nasional sangat besar jika dilakukan hilirisasi. Nikel dapat memperkuat manufaktur EV nasional, sistem penyimpan energi terbarukan, dan manufaktur baterai dengan adanya hilirisasi.
ADVERTISEMENT
Namun, ancamannya juga nyata seperti perubahan permintaan global dan dinamika geopolitik dapat berdampak pada pergeseran pasar. Selain itu, kesiapan teknologi pengolahan nikel kadar rendah seperti High Pressure Acid Leach (HPAL) masih perlu ditingkatkan agar bijih nikel bercampur (limonit) tidak terbuang.
Dari sisi domestik, penyelesaian masalah hukum mineral, kenaikan royalti, dan pendidikan teknis sumber daya manusia (SDM) industri harus diperkuat. Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah mencanangkan paket kebijakan untuk mempercepat investasi smelter nikel, pengolahan akhir (refining) baterai, serta insentif kendaraan listrik.
Dengan demikian, potensi nikel dapat menjadi modal besar Indonesia untuk memimpin tranformasi energi bersih di Asia Tenggara. Hal ini dapat terealisasi jika tantangan internal seperti kebijakan harga bijih, integrasi hulu-hilir, dan teknologi hilirisasi dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Nikel Indonesia tidak hanya menyuplai baja tahan karat, tetapi juga menjadi pilar kemandirian baterai EV dan penyimpanan energi nasional. Masa depan nikel Indonesia adalah kesempatan untuk mengubah kekayaan alam menjadi nilai tambah ekonomi dan energi yang berkelanjutan, asalkan langkah strategis segera diambil pada momentum yang tepat, dimulai dari sekarang.