Konten dari Pengguna

Pertanian Terpuruk, Beras Organik Bangkit: Taruhan Swasembada Pangan Era Prabowo

Mohammad Ichsan Verianto
Mohammad Ichsan Verianto, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Interest in Regional Economics, Public Policy, Green Economics & Environment, and Finance.
3 Mei 2025 9:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Ichsan Verianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sektor pertanian Indonesia menghadapi ujian berat. Selama dekade terakhir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kontribusi pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terhitung turun dari 2014 sebesar 13,34% menjadi 12,61% pada 2024. Sedangkan pertumbuhan sektor ini anjlok dari sebesar 4,24% di 2014 menjadi hanya 0,67% pada 2024.
Perkembangan pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto mengalami penurunan selama 2014 hingga 2024. Foto: Badan Pusat Statistik (BPS)/ diolah.
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto mengalami penurunan selama 2014 hingga 2024. Foto: Badan Pusat Statistik (BPS)/ diolah.
Padahal pemerintah berdasarkan data acuan BPS sudah menggelontorkan dana akumulatif yang cukup besar dari 2016 hingga 2024 yaitu sebesar Rp 909,3 triliun untuk program ketahanan pangan. Ironisnya, defisit produktivitas memicu inflasi pangan tinggi seperti harga beras dan daging sapi melambung yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk memberlakukan kebijakan buka pintu impor.
ADVERTISEMENT
Ambisi Prabowo untuk Swasembada Pangan
Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) pada April 2025 sebagai langkah konkret menuju kemandirian pangan, sekaligus akan menerapkan kebijakan buka pintu impor. Kebijakan ini mengacu pada kebijakan pemerintah untuk mempermudah atau menghilangkan berbagai batasan pada impor barang dari luar negeri.
Dengan kata lain, diberlakukannya penghapusan kuota impor, pemindahan jalur masuk barang-barang impor, dan pemangkasan persyaratan impor. Dikhawatirkan kebijakan ini justru dapat berdampak buruk kepada petani lokal. Cita-cita swasembada pangan pun diuji habis-habisan oleh warisan masalah struktural ini.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa ketahanan pangan adalah fondasi stabilitas nasional dengan berujar kalau pangan aman negara juga akan aman, serta menambahkan untuk tidak takut akan kondisi saham yang naik atau turun. Artinya, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokok, bukan nilai-nilai di layar bursa saham.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi yang dikutip dari Kantor Staf Presiden (KSP), Prabowo menyatakan bahwa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung kepada negara lain. Indonesia juga harus siap untuk menolong negara tetangga lewat bantuan beras sebagai simbol solidaritas.
Ilustrasi Swasembada Pangan Beras. Foto: Osame/ Shutterstock
Selaras dengan komitmen Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada pangan, sejak tahun 2025 pemerintah gencar menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Strategi infrastruktur seperti gudang desa, pendingin, truk tani pun perlu diperkuat agar hasil panen tersimpan baik dan beras premium mudah dipasarkan.
Tarif & Kuota Impor: Ancaman Pasar Bebas
Di sisi lain, dinamika pasar bebas dan adanya perang tarif dagang antara Amerika Serikat dan Cina membawa tantangan baru. Dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS) pasca-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dan akibat perang dagang, tim Indonesia mengajukan supaya AS menurunkan tarif impor untuk 20 produk ekspor unggulan Indonesia termasuk tekstil, alas kaki, hingga komoditas pertanian yang saat ini dikenakan biaya atau ongkos (Bea) sampai 47%.
Ilustrasi Perang Tarif Dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Foto: AndryDj/ Shutterstock
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan bahwa AS memberi sinyal positif terhadap tawaran Indonesia untuk tarif yang lebih adil dan seimbang. Imbalannya, Indonesia sempat menawarkan pelonggaran impor produk AS seperti gandum, kedelai dan pembelian energi.
ADVERTISEMENT
Namun, para ekonom memperingatkan jika terlalu longgar membuka impor, pasar domestik bisa dibanjiri produk pangan murah asal AS atau negara lain, sehingga petani lokal dirugikan. Sebagai contoh, pada 2024 Indonesia impor serealia senilai US$ 6,8 miliar yang dilakukan tanpa mitigasi kehati-hatian sehingga harga jual petani jatuh akibat persaingan impor.
Sementara itu, data BPS menunjukkan produksi padi dan beras dalam negeri mengalami penurunan ringan. Pada 2024 luas panen padi tercatat sekitar 10,05 juta hektare (ha) dengan produksi 53,14 juta ton gabah kering giling (GKG), menurun 1,55% dari 53,98 juta ton GKG pada 2023.
Konversinya, produksi beras 2024 sekitar 30,62 juta ton yaitu turun 1,54% dari 31,10 juta ton di 2023. Sedangkan pada kuartal I tahun 2025 panen justru naik. Bulan Maret 2025 mencapai 5,14 juta ton beras, dari 8,93 juta ton GKG. Hal ini disebabkan karena cuaca menguntungkan dan kebijakan insentif.
ADVERTISEMENT
Harga beras pun bergerak fluktuatif. BPS melaporkan bahwa harga beras premium di penggilingan naik tipis 0,98% menjadi Rp13.207/kg pada Maret 2025 dibanding Februari 2025. Namun secara tahunan harga beras justru turun sekitar 9% untuk kategori beras premium, medium, dan submedium. Hal ini disebabkan karena pasokan beras yang melimpah.
Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat sejak pertengahan 2024 harga beras dalam negeri relatif stabil dan sedikit di atas level setahun sebelumnya, menunjukkan adanya tren serupa dengan yang dilaporkan BPS. Untuk memenuhi kebutuhan populasi, FAO memperkirakan impor beras Indonesia pada 2025 masih di atas rata-rata yaitu sekitar 1,9 juta ton. Sementara pada 2024 sebagian besar produksi padi sebesar 52,7 juta ton, baru sedikit di bawah rerata 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Jalan Baru Beras Organik
Menghadapi gangguan itu, diperlukan kebijakan dan upaya untuk memperkuat basis beras domestik. Di sinilah peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) beras organik menarik perhatian. Di banyak daerah, kelompok tani dan pengusaha mikro mulai mengembangkan produksi beras organik sebagai komoditas bernilai tambah tinggi. Beras organik tidak memakai pestisida atau pupuk kimia, sehingga biaya produksi petani lebih hemat sementara kualitas dan harga jualnya cenderung lebih stabil.
Ilustrasi Sistem Pertanian Beras Organik. Foto: Seita/ Shutterstock
Kementerian Pertanian (Kementan) bahkan mendorong pembangunan 1.000 desa organik untuk meningkatkan produksi beras organik, serta memfasilitasi sertifikasi ekspor sejak 2015. Strategi ini dipandang bisa mengurangi beban impor karena pasokan dalam negeri lebih sehat, sekaligus menggenjot ekspor niche market atau target pasar spesifik.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, berdasarkan data yang dikutip dari Kementan tentang peluang ekspor beras organik mulai terbuka. Sejak 2017, Indonesia telah mengekspor total sekitar 2.100 ton beras organik ke Belanda, Bangladesh, Malaysia, Belgia, Amerika Serikat, dan lainnya.
Meski sempat turun saat pandemi, sekarang pasar global lebih luas lagi. Kementan melaporkan bahwa saat ini terdapat sekitar 20-an negara yang siap untuk menjadi tujuan ekspor beras organik Indonesia. Hal ini sejalan dengan strategi diversifikasi ekspor pemerintah. Dukungan lanjutan berupa pelatihan, promosi pasar organik, dan regulasi yang mendorong ritel modern mengadopsi produk lokal juga terus digalakkan.
Selain itu, komposisi petani Indonesia sebagian besar adalah usaha mikro. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah petani guram (lahannya kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 14,25 juta orang pada 2013, menjadi 16,89 juta orang. Apabila banyak dari petani guram ini beralih ke budi daya organik sebagai UMKM pertanian, maka manfaatnya bukan hanya ketahanan pangan yang terjaga tetapi juga upaya pengentasan kemiskinan pedesaan terakselerasi.
ADVERTISEMENT
Modal yang lebih terjangkau (misalnya pupuk kendang dan varietas lokal), pasar premium, serta kemitraan koperasi juga bisa memberikan nilai tambah bagi petani kecil. Pada akhirnya, pendekatan bottom-up ini akan selaras dengan arah kebijakan Presiden Prabowo yang fokus untuk menciptakan ekonomi pertanian yang inklusif.
Optimisme Mandiri Pangan
Menghadapi dekade kemunduran pertanian, kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan impor atau sekadar program besar-besaran. Seperti yang diingatkan Presiden Prabowo, ketahanan pangan harus menjadi prioritas nomor satu, karena jika perut rakyat kenyang dan sejahtera, Indonesia bisa tenang menghadapi gejolak dunia.
Fokus pada pengembangan UMKM beras organik dan kemandirian pangan memberi harapan nyata seperti suplai pangan yang lebih berkelanjutan, impor bisa ditekan, dan petani makin sejahtera. Strategi ini juga memperkuat posisi tawar negeri dalam perdagangan bebas global.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pemerintah bersama publik perlu terus mendukung inovasi dan jejaring UMKM pertanian, memperkuat riset varietas organik, serta mengawal kebijakan perdagangan yang adil bagi petani. Saatnya berkolaborasi dimulai dari pembeli, pengusaha kecil, hingga regulator. Kita dapat mendorong Indonesia maju sebagai bangsa pertanian yang tidak hanya swasembada, tapi juga unggul dan mandiri di pasar global.