Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Transisi EV Indonesia: Inovasi atau Ilusi di Tengah Efisiensi?
21 April 2025 18:16 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mohammad Ichsan Verianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peran Strategis dan Tantangan Terbaru Industri Otomotif dalam Ekonomi Nasional
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, industri otomotif menjadi salah satu subsektor manufaktur utama yang diprioritaskan pengembangannya oleh pemerintah Indonesia karena perannya yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sektor ini memiliki potensi besar di berbagai aspek, mulai dari produksi komponen pada tahap hulu hingga distribusi dan penjualan kendaraan pada tahap hilir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor industri otomotif, khususnya alat angkutan berkontribusi cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2023, yakni sebesar 4,5%. Namun, sektor ini juga mengalami kontraksi sebesar -2,1% pada 2024 akibat kontraksi permintaan kendaraan terutama jenis mobil.
Sinyal Pemulihan melalui Purchasing Managers’ Index (PMI)
Dilihat dari data perkembangan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia selama periode April hingga Agustus 2024 yang mengalami kontraksi berturut-turut, hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri masih menghadapi berbagai kendala struktural. Titik balik terjadi pada September 2024 (49,2 poin) hingga Januari 2025 (51,9 poin), di mana PMI Indonesia kembali berada di zona ekspansi. Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan industri manufaktur, khususnya sektor otomotif pada 2025.
ADVERTISEMENT
Transformasi Otomotif Nasional Menuju Kendaraan Listrik (EV)
Pemerintah menargetkan industri otomotif nasional sebagai pelopor dalam penerapan revolusi industri keempat melalui program Peta Jalan “Making Indonesia 4.0”. Program ini bertujuan meningkatkan daya saing industri otomotif nasional, baik di pasar domestik, regional, maupun global. Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan sektor manufaktur terbesar di Asia Tenggara (ASEAN), terbukti dari data Bank Dunia pada 2023 yang menunjukkan nilai tambah manufaktur (manufacturing value added/MVA) Indonesia mencapai USD 281 miliar, jauh melampaui Thailand (USD 128 miliar) dan Vietnam (USD 102 miliar). Indonesia bersaing ketat dengan Malaysia dan Thailand dalam penguasaan pangsa pasar otomotif global.
Saat ini, industri otomotif Indonesia tengah berada dalam fase transformasi signifikan, terutama dengan meningkatnya fokus pada kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sebagai bagian dari upaya transisi energi dan pengurangan emisi karbon. Pemerintah telah menetapkan target untuk mencapai netralitas karbon pada 2060, antara lain dengan mendorong adopsi kendaraan listrik secara masif melalui berbagai insentif dan kebijakan, termasuk subsidi serta pembangunan infrastruktur pengisian daya. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menargetkan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia mencapai 2 juta unit pada 2025, sembari memaksimalkan potensi investasinya.
Investasi dari produsen kendaraan listrik global menunjukkan prospek positif. Build Your Dreams (BYD), produsen kendaraan listrik asal Tiongkok, berencana menyelesaikan pembangunan pabrik senilai USD 1 miliar di Indonesia pada akhir 2025 dengan kapasitas produksi 150.000 unit EV per tahun. Investasi ini tidak hanya meningkatkan kapasitas produksi nasional, tetapi juga membuka lapangan kerja dan mendorong transfer teknologi.
ADVERTISEMENT
Ancaman dari Kebijakan Fiskal: Efisiensi Bisa Jadi Bumerang?
Namun, upaya pengembangan kendaraan listrik di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan efisiensi anggaran dan penyesuaian kebijakan fiskal. Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, serta menerapkan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) mulai 2025.
Meskipun kebijakan kenaikan PPN tengah dikaji ulang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan stagnan bahkan mengalamai kontraksi dalam jangka pendek-menengah karena diberlakukannya efisiensi anggaran oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat dan pertumbuhan penjualan kendaraan, termasuk kendaraan listrik.
Efisiensi anggaran tahun 2025, khususnya terkait transisi kendaraan listrik dapat dinilai kontradiktif jika dibandingkan kebijakan sebelumnya. Pada 2024, pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun, dengan rincian Rp113,3 triliun untuk BBM dan LPG serta Rp73,6 triliun untuk listrik. Namun, realisasi subsidi BBM dan LPG mencapai Rp230,5 triliun, melebihi pagu anggaran. Ini menunjukkan dominasi alokasi untuk energi tidak terbarukan masih sangat besar.
ADVERTISEMENT
Situasi ini mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2024 untuk memberikan insentif konversi 1.111 unit motor listrik, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 966 unit. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Rp1,75 triliun untuk subsidi pembelian 200.000 unit motor listrik baru dan 50.000 unit motor konversi.
Namun, kebijakan pemangkasan anggaran Kementerian ESDM dari Rp3,91 triliun menjadi Rp2,25 triliun pada 2025 dikhawatirkan melemahkan kapasitas institusional di beberapa aspek krusial. Pertama, pengawasan lapangan dan kapasitas teknis menjadi kurang optimal. Kedua, efektivitas diplomasi internasional dalam menarik investasi hijau, seperti melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP), dapat terganggu karena dominasi skema pinjaman dibanding hibah, yang berisiko meningkatkan beban utang.
Ketiga, fungsi pembinaan dan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam implementasi proyek energi baru terbarukan (EBT) juga bisa terhambat. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi rentan kehilangan momentum kompetisi transisi energi global. Keterlambatan dalam pembangunan EBT berskala besar dapat menurunkan daya saing nasional di kawasan ASEAN dan menghambat investasi asing di sektor otomotif.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Negara Lain: Skema Inovatif untuk Pendanaan Transisi
Indonesia sebetulnya dapat mengadopsi praktik pendanaan inovatif dari negara lain. Pemerintah Prancis, misalnya, meluncurkan dana sebesar EUR 50 juta untuk melatih kembali pekerja industri pengecoran logam agar mampu beradaptasi dalam produksi kendaraan listrik. Sementara itu, pemerintah Bogotá di Kolombia menggunakan model bisnis inovatif yang memungkinkan konsorsium swasta menyediakan bus listrik bagi sistem transportasi publik. Skema ini berhasil mengintegrasikan 484 bus listrik ke dalam armada kota. Model bisnis ini menggambarkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta yang penting dalam menciptakan skema pendanaan untuk mendukung transisi energi bersih di sektor otomotif.
Di tengah anggaran cekak, adakah jalan tengah mempercepat transisi kendaraan listrik?
Di tengah keterbatasan anggaran akibat efisiensi fiskal, Indonesia masih memiliki peluang untuk memaksimalkan transisi kendaraan listrik. Salah satu strategi adalah pemanfaatan skema pendanaan inovatif seperti blended finance, yang menggabungkan dana publik dan swasta, termasuk hibah serta pinjaman lunak dari lembaga internasional seperti Climate Investment Funds (CIF) dan Asian Development Bank (ADB). Skema carbon pricing dan emission trading system (ETS) juga dapat menjadi sumber alternatif, di mana pendapatan dari pajak karbon dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Kemitraan dengan sektor swasta dan lembaga keuangan menjadi langkah strategis. Pola kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership/PPP) bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur stasiun pengisian daya tanpa membebani APBN. Selain itu, penerbitan obligasi hijau (green bonds) dan skema pembiayaan berkelanjutan juga dapat mendorong pengembangan industri kendaraan listrik.
Pemerintah pun dapat memperkuat insentif nonfiskal untuk menarik minat masyarakat, seperti akses jalur khusus, bebas aturan ganjil-genap, parkir gratis, serta potongan biaya administrasi. Penguatan ekosistem industri kendaraan listrik dalam negeri, termasuk investasi dalam produksi baterai dan komponen utama, juga penting guna menurunkan biaya produksi agar kendaraan listrik lebih terjangkau.
Optimalisasi dana JETP pun perlu dilakukan. Negosiasi ulang skema pendanaan untuk meningkatkan proporsi hibah dibanding pinjaman akan mengurangi beban utang negara. Elektrifikasi kendaraan dinas pemerintah dan transportasi publik melalui skema leasing atau kerja sama dengan produsen lokal juga menjadi langkah konkret untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, Indonesia tetap dapat mengakselerasi transisi kendaraan listrik secara berkelanjutan dan memperkuat daya saingnya di pasar global meskipun dalam keterbatasan anggaran, asalkan dapat memanfaatkan momentum transisi energi yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, sinergi antara sektor swasta, lembaga keuangan, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam mewujudkan industri otomotif yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi guna mendukung target net zero emission di masa depan.