Kasus Dugaan Penyiksaan Kuli Bangunan: Mengapa Masih Terjadi?

Ichsan Zikry
Advokat dan Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera
Konten dari Pengguna
17 Juli 2020 11:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Zikry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penganiayaan  Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penganiayaan Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyeruaknya pemberitaan mengenai dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian Polsek Percut Sei Tuan terhadap seorang kuli bangunan dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan mengenai keterlibatannya dalam suatu kasus pembunuhan kembali membuka cerita lama dan berulang mengenai siklus penggunaan kekerasan dalam mengungkap suatu tindak pidana, potensi terjadinya salah tangkap dan berujung dengan terjadinya salah hukum. Berbagai instrumen hukum yang melindungi hak untuk bebas dari penyiksaan telah tersedia. Tetapi mengapa penyiksaan masih terus menjadi bagian dari cerita penegakan hukum di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Pertama, instrumen hukum yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan memang ada. Akan tetapi, belum tersedia perangkat peraturan yang dapat secara efektif mencegah terjadinya penyiksaan dalam rangkaian proses peradilan pidana, khususnya mengenai aturan main dalam melakukan interogasi. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana misalnya, hanya mengatur mengenai proses pencarian informasi dan keterangan dalam dalam kerangka yang bersifat formal, yaitu pengambilan keterangan yang kemudian dituangkan kedalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan. Permasalahannya adalah, seringkali proses interogasi dan pencarian informasi dalam tahap penyidikan juga dilakukan secara informal dan tidak terdokumentasi. Dalam proses informal dan tidak terdokumentasi inilah ruang-ruang untuk melakukan intimidasi dan bahkan penyiksaan terbuka lebar.
Kedua, insentif yang diterima oleh penyidik yang masih menggunakan pendekatan kekerasan untuk memperoleh keterangan dan pengakuan relatif besar. Dalam praktik, tidak mudah bagi seseorang untuk menarik kembali pengakuan yang telah diberikan di tahap penyidikan dengan alasan pengakuan tersebut diberikan di bawah paksaan atau sebagai akibat dari penyiksaan. Akibatnya, tidak jarang pengakuan yang diperoleh dengan cara kekerasan tetap dipertimbangkan sebagai bukti sekalipun si terdakwa telah menyangkal keterangan tersebut di muka persidangan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, nilai pembuktian dari pengakuan yang diberikan oleh seseorang dalam tahap penyidikan dapat memiliki dampak yang signifikan bagi seorang hakim dalam menilai kesalahan seseorang. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa relatif sedikitnya proses hukum yang dilakukan atas dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Hal ini mengakibatkan insentif yang diterima oleh penyidik berupa keberhasilan menyelesaikan suatu perkara lebih besar dari risiko yang mungkin diterima berupa tidak terbuktinya suatu perkara di muka persidangan atau risiko menghadapi jerat pidana.
Langkah langkah yang diperlukan untuk menjawab persoalan ini tentunya tersedia. Revisi kitab undang-undang hukum acara khususnya mengenai penguatan jaminan hak atas bantuan hukum dan bantuan hukum yang efektif, jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dipaksa memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri, dan aturan yang tegas untuk memeriksa dan mengenyampingkan keterangan yang diperoleh dari penyiksaan dapat menjadi poin-poin penting untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Selain reformasi kitab undang-undang hukum acara pidana yang tentu membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang, juga terdapat banyak upaya-upaya lain yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pengadilan untuk mencegah terjadinya tindak penyiksaan.
ADVERTISEMENT
Pertama, Polri perlu memperkuat aturan internal guna meminimalisir risiko terjadinya penyiksaan dalam tahap penyidikan. Beberapa usaha yang sudah dilakukan di berbagai belahan dunia adalah di antaranya dengan mewajibkan penyidik untuk mendokumentasikan segala kegiatan interogasi, mewajibkan penyidik untuk memberitahukan hak-hak dasar tersangka seperti hak untuk didampingi penasihat hukum dan memberikan keterangan secara bebas dan tentunya membekali penyidik dengan pelatihan dan pendidikan mengenai teknik penggalian informasi dan keterangan dari saksi dan tersangka yang sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan hak asasi manusia. Selanjutnya, penuntut umum pun dapat memainkan peran dalam mencegah terjadinya penyiksaan dengan bersikap proaktif dalam menguji kesukarelaan dan kebenaran dari pengakuan yang diberikan oleh tersangka di tahap penyidikan baik dengan memaksimalkan mekanisme prapenuntutan atau saat dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik ke penuntut umum. Begitupun dengan majelis hakim yang ditunjuk untuk memeriksa perkara yang memuat pengakuan tersangka yang diduga diperoleh dari penyiksaan. Majelis hakim pada dasarnya dapat merujuk ketentuan dalam Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa keterangan terdakwa adalah keterangan yang ia nyatakan di persidangan dan mengambil sikap tegas untuk mengenyampingkan pengakuan yang diindikasikan diperoleh dengan cara melawan hukum, yang dikenal sebagai exclusionary rules dan telah diterapkan di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, meminta pertanggungjawaban dari para pelaku penyiksaan melalui peradilan pidana juga tidak boleh dikesampingkan. Terdapat beberapa alasan mengapa proses pidana bagi para pelaku penyiksaan menjadi penting. Pertama, proses penegakan hukum bagi para pelaku penyiksaan penting untuk menunjukkan komitmen aparat penegak hukum dalam menghapuskan penyiksaan dari proses peradilan. Kedua, menuntut pertanggungjawaban pidana dari para pelaku penyiksaan berfungsi tidak hanya untuk menghukum si pelaku dengan memberikan efek jera namun juga dapat menjadi sarana pencegahan dengan memberikan rasa takut kepada pelaku dan potensial pelaku dikemudian hari. Terakhir, trauma korban penyiksaan juga harus menjadi perhatian. Dalam hal ini, mengadili para pelaku penyiksaan tentunya menjadi salah satu bentuk pemulihan bagi korban penyiksaan.