Tuntutan 12 Tahun Richard Eliezer: Langkah Kontraproduktif Upaya Penegakan Hukum

Ichsan Zikry
Advokat dan Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera
Konten dari Pengguna
18 Januari 2023 18:09 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Zikry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tuntutan 12 Tahun Richard Eliezer: Langkah Kontraproduktif Upaya Penegakan Hukum
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Richard Eliezer, atau yang dikenal sebagai Bharada E, resmi ditetapkan sebagai Justice Collaborator oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada pertengahan Agustus 2022. Ditetapkannya Richard sebagai Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum tentu didasarkan pada penilaian LPSK mengenai jasanya yang dianggap berperan membongkar tragedi pembunuhan Yosua Hutabarat. Dengan status Justice Collaborator yang dimiliknya, Richard Eliezer diproyeksikan berhak untuk mendapatkan keringanan hukuman berdasarkan Pasal 10A ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, janji keringanan hukuman yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Richard Eliezer selaku Justice Collaborator tersebut terancam sirna. Hari ini, 18 Januari 2023, walaupun tidak dituntut hukuman seumur hidup seperti Ferdy Sambo, tuntutan 12 tahun penjara terhadap Richard Eliezer masih jauh lebih tinggi dari tuntutan terhadap Bripka Ricky, Kuat Maruf dan Putri Chandrawati, yang masing-masing dituntut 8 tahun penjara.
Tuntutan terhadap Richard yang lebih tinggi dari terdakwa lain yang tidak berstatus sebagai Justice Collaborator tersebut dikhawatirkan menjadi langkah kontraproduktif dalam rezim perlindungan saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Apabila dikemudian hari hukuman yang dijatuhkan terhadap Richard lebih tinggi dari hukuman yang dijatuhkan terhadap Bripka Ricky, Kuat Maruf dan Putri Chandrawati, maka status Richard sebagai Justice Collaborator dan jaminan keringanan hukuman yang diberikan oleh Undang-Undang menjadi tidak ada artinya.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami bahwa kegagalan memenuhi jaminan keringanan hukuman bagi Justice Collaborator, setidaknya lebih ringan dibanding terdakwa-terdakwa lainnya, bukan hanya akan merugikan Richard Eliezer, melainkan juga akan merugikan kepentingan penegakan hukum, khususnya penegakan hukum untuk tindak pidana yang rumit dan terorganisir. Kepentingan penegakan hukum akan dirugikan karena situasi tersebut akan menjadi faktor penghambat bagi seorang pelaku kejahatan yang memiliki niat untuk bekerja sama membongkar suatu kejahatan. Apabila pelaku yang bekerja sama dihukum lebih berat atau bahkan sama dengan pelaku lain, maka pelaku yang berniat untuk bekerja sama tentu akan berpikir berulang kali sebelum memutuskan untuk mengakui perbuatannya dan membantu aparat penegak hukum dalam membongkar suatu kejahatan atau bahkan memilih untuk bungkam dan membiarkan proses penegakan hukum menemui jalan buntu.
ADVERTISEMENT
Aparat penegak hukum harus mengingat kembali bahwa Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menjamin adanya perlakuan khusus bagi seorang Justice Collaborator bukan tanpa alasan. Dalam upaya menegakkan hukum, harus diakui bahwa tidak jarang aparat penegak hukum berhadap dengan pelaku kejahatan yang tidak hanya lihai menutupi kejahatannya, namun juga memiliki kekuatan dan pengaruh untuk dapat lepas dari jerat hukum, yang akibatnya sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Oleh karena itu, peran seseorang yang merupakan bagian dari sindikat kejahatan yang bersedia membongkar kejahatan tersebut, harus dilindungi dan diberikan penghargaan. Aparat penegak hukum harus ingat bahwa seorang Justice Collaborator telah mengorbankan hak mendasarnya sebagai seorang terdakwa, yaitu hak untuk tidak dipaksa memberikan keterangan yang memberatkannya. Selain itu, seorang Justice Collaborator juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang dapat mengancam keselamatannya, karena kemungkinan adanya pembalasan dari pihak yang merasa dikhianati, baik didalam ataupun diluar penjara.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus fair dalam memperlakukan seorang Justice Collaborator. Aparat penegak hukum harus bertanya pada diri sendiri, apakah tanpa adanya Justice Collaborator dalam pembunuhan Yosua Hutabarat, apakah mungkin perkara ini dapat diungkap? Apabila jawabannya tidak, maka memberikan hukuman ringan, setidaknya dibanding terdakwa lain adalah suatu keharusan.
Kelemahan sistem perlindungan saksi yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Tuntutan terhadap Richard Eliezer yang jauh lebih tinggi dibanding tuntutan terhadap Bripka Ricky, Kuat Maruf dan Putri Chandrawati tidak dapat dilepaskan dari kelemahan sistem peradilan pidana Indonesia dalam melindungi saksi pelaku yang bekerja sama. Kelemahan yang paling terlihat dari tuntutan terhadap Richard Eliezer adalah tidak adanya kejelasan mengenai insentif keringanan hukum yang akan diterima oleh seorang Justice Collaborator. Sejak rezim Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2006 sampai sekarang, tidak ada perangkat peraturan yang secara jelas mengatur mengenai jaminan keringanan hukuman bagi seorang Justice Collaborator. Akibatnya, keputusan untuk menjadi seorang Justice Collaborator tidak ubahnya sebagai suatu perjudian karena keringanan hukuman yang dijanjikan oleh undang-undang masih tergantung pada subyektifitas penuntut umum dalam menuntut dan hakim dalam menjatuhkan putusan.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat misalnya, sebelum bersedia mengaku dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, penuntut umum akan terlebih dahulu menawarkan kepada Justice Collaborator insentif yang akan diterimanya, yang dapat meliputi keringanan hukuman dan atau perlindungan lain, dalam suatu mekanisme yang dikenal sebagai Plea Bargaining. Kesepakatan untuk bekerja sama dan janji untuk memberikan insentif keringanan hukuman dalam jumlah tertentu tersebut kemudian akan dituangkan kedalam suatu Plea Agreement, yang kemudian akan diajukan kepada hakim. Meskipun secara teori Hakim dapat menolak kesepakatan antara pelaku dan penuntut umum tersebut, namun praktik peradilan menunjukkan bahwa Hakim umumnya menerima kesepakatan tersebut untuk menghargai peran Justice Collaborator dalam mengungkap suatu perkara dan mengantisipasi agar jangan sampai menghambat keinginan pelaku yang ingin mengungkap kejahatan dikemudian hari.
ADVERTISEMENT