Konten dari Pengguna

Kebijakan Pendidikan yang Berkelanjutan

Ida Farida
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Cakrawala Institute
4 Juli 2024 18:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ida Farida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tak terasa bulan Oktober nanti, tampuk pimpinan pemerintahan akan berganti dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Dalam konteks politik, terpilihnya Prabowo sebetulnya dapat dimaknai sebagai "keberlanjutan" dari pemerintahan Jokowi dengan dukungan tersirat dan tersuratnya Presiden petahana tersebut dengan merestui anaknya menjadi Calon Wakil Presiden Prabowo.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari konteks politik di atas, beberapa kebijakan era Presiden Jokowi yang dianggap berdampak positif dan memunculkan kebaruan sebetulnya patut untuk dilanjutkan. Hal ini agar setiap kebijakan dapat dituntaskan sesuai dengan visi-misi dan target-target ketika kebijakan tersebut dicanangkan.
Jangan sampai rezim berganti kebijakan ikut berganti. Hal ini tentu dapat merugikan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kebijakan tersebut. Terlebih jika kebijakan tersebut merupakan kebijakan iconic dan bersifat transformatif seperti kebijakan Merdeka Belajar dalam dunia pendidikan kita.

Kebijakan Merdeka Belajar: Transformatif dan Konsisten

Kebijakan Merdeka Belajar sejatinya lahir dari isu sederhana, berawal ketika Mendikbud Nadiem Makarim menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), maka pada tahun 2019 mantan Bos Gojek tersebut menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”. Empat program tersebut di antaranya meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
ADVERTISEMENT
Dalam gebrakkanya tersebut Nadiem menjelaskan arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN yaitu pada tahun 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).
Dapat kita lihat bahwa, dengan kebijakan tersebut, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Sementara anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tidak hanya itu, kebijakan Merdeka Mengajar juga mengubah UN (Ujian Nasional). Penyelenggaraan UN tahun pada 2021 diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan ujian tersebut dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
Terobosan-terobosan kebijakan pendidikan di atas merupakan Episode ke-1 dari kebijakan Merdeka Belajar yang digalakkan oleh Nadiem Makarimm dalam pemerintahan Jokowi. Tidak hanya transformatif, rupanya kebijakan Merdeka Belajar dilanjutkan oleh Mendikbud Milenial tersebut hingga puluhan episode dengan gagasan-gagasan transformatifnya.
Sebut saja Merdeka Belajar Episode 26 berfokus pada tiga poin utama. Di antaranya, pertama, Transformasi Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yaitu standar nasional pendidikan tinggi yang semula berjumlah 39 kini disederhanakan menjadi 8 saja. Hal ini dilakukan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada perguruan tinggi dalam mengembangkan kurikulum dan program studi yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Kedua, Akreditasi Perguruan Tinggi yang Berbasis Outcome, yaitu sistem akreditasi perguruan tinggi kini lebih berfokus pada hasil pembelajaran (outcome) dibandingkan dengan input dan proses. Perguruan tinggi akan dievaluasi berdasarkan kompetensi dan keterampilan yang dikuasai oleh lulusan mereka.
Ketiga, Otonomi Perguruan Tinggi di mana perguruan tinggi diberikan otonomi yang lebih besar dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini dilakukan untuk mendorong inovasi dan kreativitas dalam.
Oleh karena itu, karena sektor pendidikan adalah sektor yang sangat vital bagi bangsa namun membutuhkan proses yang panjang dan berkesinambungan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas yang merata. Maka untuk sektor pendidikan, pemerintahan yang akan datang hendaknya mendahulukan kebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Artinya dengan konsistensi dan transformasi yang ada dalam program Merdeka Belajar, siapapun Presiden dan Menterinya layak untuk dilanjutkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga!
ADVERTISEMENT