Konten dari Pengguna

Mengejar Gelar Sarjana di Negeri Beton

3 Mei 2018 6:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ida Royani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengejar Gelar Sarjana di Negeri Beton
Hari Minggu adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu, karena pada hari itulah aku bisa merasa bebas lepas setelah 6 hari bekerja di rumah majikan yang terkadang tidak keluar rumah, kecuali buang sampah dan mencuci mobil. Namaku Ida royani, aku seorang buruh migran asal Kediri, aku sangat menyukai bidang kepenulisan, karena itulah aku juga seorang bloger, nama blogku: My Blog atau bisa dikunjungi di https://idaroyani343.blogspot.hk/ dan di Hong Kong aku tinggal di daerah Siu Lam.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi kebiasaanku setiap hari libur, kujadwal aktifitasku jauh-jauh hari sebelumnya, apa dan di mana saya menghabiskan waktu liburku, dan yang jelas meliput kreatifitas tenaga kerja Indonesia yang di Hong Kong biasa disebut buruh migran Indonesia (BMI ) Hong Kong menjadi skala prioritas teratas. Seperti pada Minggu (15/4/208) lalu, usai kirim uang untuk kebutuhan ke keluarga tercinta, kemudian aku ke perpustakaan umum di Tsuen Wan.
Begitulah kebiasaanku setiap libur, aku pasti sempatkan ke perpustakaan untuk mencari sinyal internet, karena selama ini aku menggunakan wi fii di rumah majikan. Jadi, ketika berada di luar rumah tidak ada internet. Yah…, aku berfikir kenapa juga harus beli atau langganan paketan, jika wi fii disediakan oleh majikan! Bisa berhemat, kan? Begitulah kalkulasiku, walau sebenarnya ribet juga karena semua komunikasi dari narasumber juga teman-teman melalui whatsapp juga messenger facebook. Namun di sisi lain aku bisa berkonsentrasi dengan jadwal-jadwal yang telah aku buat ketika aku hendak libur.
ADVERTISEMENT
Dan mungkin bagi teman-teman se-gank-ku, Seniorita Gank, aku ini orang yang menyebalkan, karena tiap kami ngumpul, aku selalu minta tethering internet, dan saking hafalnya kelakuanku, teman-temanku lah yang selalu menawari duluan, “Cepetan tethering!” begitulah suara wajib yang pasti terdengar jika saya baru sampai di tempat biasa kami ngumpul.
Begitu tengah hari, aku keluar perpustakaan, makan siang yang kenyang karena jadwalku hari itu nonton konser teman-teman komunitas band-band BMI yakni, Camel Music Rock Concert #3. Lalu salat Duhur dan Ashar aku jamak di emperan toko pinggir jalan. Entahlah apa yang ada dibenakku ini, tiap libur salat Duhur dan Ashar selalu aku jamak, begitu juga salat Maghrib dan Isyak, hingga kini dalam hati kecilku tak putus berdoa agar Allah memberiku hidayah kelonggaran waktu buat menunaikan salat tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Jam 1.10 siang, bergegaslah aku ke Kwai Hing, stasiun MTR yang dari Tsuen Wan hanya berjarak 2 kali pemberhentian stasiun. Jujur, aku lebih senang datang ke konser komunitas band-band BMI dan aku jadikan sebagai prioritas jadwal liputanku, dibanding konser-konser musisi ibukota yang bertandang ke Hong Kong, atau acara-acara lainnya, karena hanya ini yang mampu aku lakukan sebagai bentuk solidaritas dan empatiku untuk mendukung kreatifitas bermusik BMI di Hong Kong yang kurang begitu mendapatkan“ruang”.
Sekitar 5 menit sudah sampai, tidak sulit mencari lokasi konser, sebab ini sudah kali kedua, konser Camel digelar, sambil setengah berlari aku menuju ke tempat konser yang berada di gedung tingkat 17, tepat jam 1.30 aku sampai, walau telat 30 menit, aku masih bisa mencari posisi paling depan, tepat di depan panggung, tak peduli menerobos dan berdesak-desakan, begitulah kegigihan meliput sebuah acara, agar aku bisa dengan leluasa mengekspresikan apa yang aku lihat dan dengar sebagai data dan fakta dalam artikel yang aku tulis nantinya.
ADVERTISEMENT
Segeralah aku mempersiapkan kamera untuk merekam aksi komunitas band BMI Hong Kong, yang terkadang aku harus mendongak ke arah panggung untuk mencari angel yang pas, terkadang aku juga harus jongkok, karena teriakan penonton dan para kamerawan yang terhalang jika aku berdiri. “Akh.., begitulah jika aku sedang berada di deretan diantara kamera-kamera. Namun, rasa pegal di leher dan tangan sirna ketika lagu-lagu mulai terlantun.
Dan inilah yang aku nanti-nanti musik cadas dari komuntas band-band BMI. Saat band Distorsi tampil, aku merasa sangat terhibur, seolah aku sedang menonton Burgerkill lagi manggung di Hong Kong. Alunan efek distorsi gitar, pembetot bass yang energik, vokalisnya bersuara khas yakni, scream and growl, dan gebukan sang drummer seolah lengkap menguji adrenalin para penonton. “Hempaskan…hempaskan…,” kata hatiku sambil menikmati alunan musik cadas.
ADVERTISEMENT
Usai konser aku melakukan wawancara, kemudian pulang. Malam harinya ketika aku hendak mempersiapkan artikel untuk liputan konser tadi siang, tiba-tiba ada pesan whatsapp masuk. Rupanya salah satu personil band Distorsi menambahkan informasi saat sesi wawancara tadi sore. Kemudian, diantara pesan-pesan whatsappnya, ada sebuah kalimat tanya cukup membuatku tertegun sejenak, “…mbak nya kuliah ya?”
Sejenak aku berhenti mengetik, kusingkirkan laptopku ke sebelah bantal, kemudian kubaringkan badanku di tempat tidur yang juga sekaligus tempatku mengetik, kuputar MP3 di HP ku, “…Besame, besame mucho….Como si fuera esta noche la última vez… .”
Alunan suara lembut dari vokalis ZOE, grup musik dari Meksiko, mengajak anganku menerawang ke langit-langit kamar, dan mengingati kembali bagaimana aku jatuh bangun mengejar gelar sarjana di Negeri Beton ini.
ADVERTISEMENT
Terkadang, orang Indonesia menyebut Hong Kong dengan sebutan Negeri Beton, karena sepanjang mata memandang yang terlihat adalah hamparan gedung-gedung menjulang. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Hong Kong yang berbukit-bukit, tanahnya memang cocok dan kuat untuk membangun bangunan-bangunan pencakar langit, selain itu juga dikarenakan populasi penduduk yang semakin meningkat, sedangkan tanah yang tersedia terbatas.
September 2009, aku datang ke Hong Kong. Setahun di Hong Kong , potongan kerja juga sudah selesai, dari informasi teman yang pada hari itu lagi makan di warung Indonesia di sebuah pasar di Tsing Yi, ia mengatakan bahwa akan ada salah satu universitas dari Jakarta yang akan membuka cabang di Hong Kong dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh secara online. Temanku tersebut baru mengikuti ujian paket C di Causeway Bay, ia mendapat informasi dari gurunya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, aku mendaftar di universitas tersebut, namun banyak juga yang bertanya apa alasanku? Sederhana saja, bagiku perempuan perlu mengejar pendidikan setinggi mungkin. Karena pengetahuan adalah awal mula kekuatan, dengan semakin banyak ilmu akan membuka cakrawala wawasan, sehingga kita bisa lebih bijak dan terukur dalam menyikapi setiap perbedaan yang ada di sekitar kita.
Oleh karena hanya tersedia 2 jurusan, yakni FISIP program studi/prodi sarjana satu (S1) Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemah dan Administrasi Niaga aku memilih prodi Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemah. Universitas tersebut bernama Univesitas Terbuka (UT) yang beralamat di Pondok Cabe – Tangerang. Kendati Universitas Terbuka termasuk dalam perguruan tinggi negeri/PTN, namun di Hong Kong universitas tersebut dikelola oleh pihak swasta yang telah mendapatkan MOU dari UT untuk mengelola mahasiwa UT di Hong Kong dengan sistem paket semester (sipas).
ADVERTISEMENT
Saat ujian akhir semester (UAS) pada semester dua, aku dan sejumlah mahasiswa protes terhadap penyelengaraan UAS di Hong Kong, yang menurut kami tidak sesuai dengan standard operating procedure (SOP) layaknya sebuah ujian. Akhirnya kami dikeluarkan dan diminta untuk kuliah di UT secara mandiri/non sipas oleh instansi yang mengelola mahasiswa UT di Hong Kong tersebut.
Dari situlah perjuangan kami bermula, 24 mahasiswa UT yang semuanya adalah BMI pontang panting mengurus dan memperjuangkan hak-hak kami sebagai warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses pendidikan. Kami masih dan selalu ingat akan perjuangan Ibu Nunung Nurwulan, Konsul Pensosbud KJRI Hong Kong kala itu yang membantu kami agar tetap bisa melanjutkan kuliah dan mengikuti UAS pada semester berikutnya yang mana saat itu tinggal menghitung hari namun belum ada kejelasan mengenai registrasi pembayaran mata kuliah dan tempat UAS.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui pertemuan dengan pihak UT yang difasilitasi oleh KJRI Hong Kong, akhirnya ke-24 BMI mahasiswa UT tersebut diperkenankan melanjutkan studi di UT karena memang pada prinsipnya perkuliahan di UT menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh (e-learning) secara sipas yang dikelola oleh swasta dan non sipas/mandiri yang artinya mahasiswa mengurus sendiri registrasi mata kuliah, pembayaran registrasi kuliah, pembelian bahan ajar materi pokok/modul , dan layanan administrasi akademik kemahasiswaan semuanya secara on line ke UT di Pondok Cabe melalui website UT yang semua telah tersedia alur dan fitur-fiturnya.
Alhamdulillah, urusan tekhnikal yang cukup menguras energi dan emosi bisa terlewati dengan bantuan KJRI, sekarang waktunya aku dan kawan-kawan harus mengumpulkan segenap energi dan pikiran untuk memaksimalkan belajar guna mendapatkan ilmu-ilmu dan bimbingan dari dosen-dosen UT.
ADVERTISEMENT
Terkadang terasa pelik bagi orang yang melihat, bagaimana mungkin seorang buruh migran yang bekerja 24 jam di rumah majikan, bekerja mulai dari jam 7 pagi hingga 11 malam, masih sanggup untuk kuliah, mengerjakan tugas-tugas dari dosen, mengkaji ulang modul-modul mata kuliah. TKI ngampus bagiku bukan suatu mitos lagi, untunglah, jaman sekarang perkembangan teknologi dan informasi semakin modern, dengan menggunakan smartphone sambil memasak di dapur, kami bisa mengerjakan tugas-tugas tuton dan berinteraksi dengan para peserta diskusi juga dosen di forum diskusi.
Tentu saja bagi kami, ini adalah perjuangan yang cukup melelahkan, kami mempunyai jam kerja yang cukup panjang, dari jam 7 hingga 11 malam baru istirahat. Karakter majikan yang kadang bikin pusing kepala belum lagi ditambah masalah-masalah keluarga di kampung mengharuskan kami agar tetap menjaga emosi dan stamina tubuh kami setelah begadang mengerjakan tugas-tugas usai kami selesai bekerja seharian.
ADVERTISEMENT
Kami juga harus pintar membagi waktu. Dan aku sangat berterima kasih sekali pada pemerintah Hong Kong karena peraturan ketenagakerjaannya, setiap mingu kami bisa libur dan pada public holiday kami juga libur, itu benar-benar aku manfaatkan untuk mengkaji ulang mata kuliah yang sedang aku ambil.
Saat libur, hampir 4 tahun waktuku hanya berkutat di perpustakaan Hong Kong, menghadap komputer. Perpustakaan Hong Kong adalah tempat paling nyaman bagi kami untuk mengejakan tugas-tugas perkuliahan kami, selain internet gratis, komputer juga tersedia secara gratis, bahkan untuk mencetak dokumen-dokumen juga gratis tinggal membawa kertasnya sendiri, mesin foto copy juga tersedia self service (mengoperasikan sendiri) dengan biaya yang sangat murah, inilah Hong Kong, negara penempatan dengan sistem ketenagakerjaan dan berbagai fasilitas yang memanusiakan buruh migran sehingga menjadi destinasi utama pilhan bagi BMI.
Menjadi mahasiswa mandiri/non sipas adalah berkah bagi kami. Jika sebelumnya kami ikut sistem sipas modul diberikan saat mendekati UAS, namun dengan sistem mandiri kami bisa memesan modul kapan saja. Dan untuk efesiensi waktu, aku memesan semua modul dari sisa mata kuliah yang belum aku ambil. Jadi, begitu UAS selesai, aku segera baca modul untuk mata kuliah semester berikutnya. Aku target, sebelum tutorial online, yakni 2 bulan sebelum UAS berlangsung, modul-modul yang kubaca selesai aku baca dan kaji ulang. Biasanya satu semester aku ambil 7 mata kuliah dengan kisaran minimal 20 SKS.
ADVERTISEMENT
Sistem perkulihan di UT menggunakan e-leaarning atau online. Jadi, 2 bulan sebelum UAS ada tutorial on line/tuton yang mana selama 8 inisiasi atau 8 minggu kami, mahasiswa UT, digembleng oleh dosen dalam forum diskusi dan tugas-tugas membuat makalah. Dari sini aku mulai belajar berkomunikasi, belajar mengasah kemampuan dan keterampilan berpikir untuk lebih peka terhadap persoalan-persoalan dari sisi akademis, belajar menulis secara metodologi, yang semuanya adalah hal baru bagiku, karena tiap hari aktifitasku berkutat pada masak-memasak di dapur, ke pasar, mencuci dan menyeterika baju, membersihkan kamar mandi, karena memang pekerjaanku sebagai pembantu rumah tangga.
Pada awalnya tercengang-cengang aku masuk dalam forum diskusi. Bagaimana tidak? Aku harus mengimbangi pemikiran-pemikiran mahasiswa yang rata-rata mereka sudah berpengalaman terhadap informasi, komputer, dan teknologi (ICT) juga masih remaja/fresh graduate dari SMU, sedangkan aku adalah emak-emak usia juga sudah tidak muda, lulus sekolah SMA juga sudah berbelas tahun yang lalu. Contohnya, pada saat mengambil mata kuliah Morfologi dan Sintaktis Bahasa Indonesia. Ini adalah barang baru bagiku, namun itu bukan halangan bagiku untuk terus belajar menjadi yang terbaik, mata kuliah ini aku mendapat nilai A.
ADVERTISEMENT
Saat mengerjakan tuton itulah, aku kembali membaca modul untuk kali kedua. Karena setiap topik-topik diskusi membahas setiap atau beberapa bab dari modul. Ketika tuton selesai selama 2 bulan, ada jeda waktu satu minggu untuk UAS, maka aku gunakan lagi untuk membaca modul kali ketiga.
Strategi membacapun, kudu extrem. Karena sangat terbatasnya waktu, dan aku juga harus tetap fokus juga terhadap pekerjaan agar tidak terganggu. Caranya, ketika hendak ke pasar, karena harus naik bis, maka di sepanjang perjalanan aku baca modul, di tas belanjaan pasti aku taruh satu modul. Begitu juga di kamar mandi, aku taruh satu modul. Di tempat tidur samping bantal aku taruh satu modul, di dapur aku taruh satu modul, dan yang pastinya di tasku pasti ada modul.
ADVERTISEMENT
Banyak ilmu-ilmu yang saya peroleh saat saya kuliah, salah satunya adalah menulis. Kebiasaan diskusi, menganalisa permasalahan secara metodologi, pada tahun 2013 aku dan temanku, Zunaedah, memenangkan karya ilmiah dalam kategori Perkembangan Teknologi Media Dalam Rangka Pembangunan Karakter di Universitas Terbuka, dengan judul Implementasi E-Learning UT Terhadap Buruh Migran Indonesia (BMI) Di Hongkong Dan Makau. http://fhisip.ut.ac.id/2017-08-07-04-05-44/root/pengumuman/100-pemenang-lktm-fisip-ut-2013 Tak itu saja, kecintaanku menulis diapresiasi oleh Universitas Terbuka pada Dies Natalis UT ke-30, aku mendapat Rektor Award sebagai pengembang blog terbaik kedua, tulisanku kala itu berjudul, Sistem E-Learning UT Turut Memartabatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong Melalui Pendidikan.
Kiranya, benar pepatah mengatakan bahwa proses kerja keras tidak akan menghianati hasil. Bekerja sambil kuliah bukan halangan untuk terus bisa berkarya dan memberikan yang terbaik, selaras dengan tri dharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Semua lelah letihku menjaadi sirna saat aku diumumkan sebagai penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik/PPA dari UT pada tahun 2012. Jumlah dana hadiah yang diberikan bukanlah menjadi ukuran bagiku, namun pemberian beasiswa adalah ajang pembuktian bahwa mahasiswa yang berprestasi layak diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Setelah dinyatakan lulus tugas akhir program studi, dengan makalah: PENERAPAN TEKNIK TRANSFERENSI “Studi Kasus Penerjemahan Teks Eksposisi yang Berjudul Go Green Today, Live To Greet Tomorrow ke Bahasa Indonesia”, kabar yang aku tungu-tunggu pun akhirnya datang. Berdasarkan keputusan Rektor UT nomer: 65/UN31/KEP/2015 tanggal 23 Maret 2015 aku dinyatakan lulus dan mendapatkan undangan wisuda di UT Pusat, Pondok Cabe Pamulang, Tangerang.
Namun sayangnya, aku tidak bisa datang ke Jakarta untuk wisuda karena situasi dan kondisi yang terikat kontrak kerja, dan yang mengharukan ibu Rektor Tian Belawati berkenan hadir ke Hong Kong dalam upacara penyerahan ijazah yang difasilitasi KJRI Hong Kong, pada 2 Mei 2015.
Kulirik jam yang ada di dinding kamarku, malam kian larut, jam 12. 50 malam. Segera kumatikan lampu dan memejamkan mata, agar besok pagi segar dan lebih bersemangat menyambut pagi.
ADVERTISEMENT