68% Pengemudi Ojek Daring Bekerja Hingga 16 Jam Perhari dan Nyaris Tanpa Libur

Institute For Demographic and Poverty Studies
IDEAS merupakan Lembaga think tank tentang pembangunan nasional dan kebijakan publik berbasis keIndonesiaan dan keIslaman yang didirikan dan bernaung dibawah Yayasan Dompet Dhuafa.
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2023 14:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Institute For Demographic and Poverty Studies tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ojek online. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ojek online. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melakukan Survei non-probabilitas pada rentang April-Mei 2023 terhadap 225 pengemudi ojek daring di 10 titik simpul transportasi di Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Dari survei tersebut terungkap fakta bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebanyak 68,9 persen pengemudi ojek daring di Jabodetabek mengaku harus bekerja antara 9-16 jam per hari, hal tersebut jauh lebih lama dari jam kerja normal 8 jam per hari.
“Selain jam kerja yang panjang, kami menemukan sebanyak 79,6 persen responden memiliki 6-7 hari kerja, melebihi batas normal 5 hari kerja. Bahkan 42,2 persen responden mengaku setiap hari bekerja tanpa libur dalam sepekan,” kata Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (16/08/2023).
Yusuf menambahkah bahwa dengan menggunakan asumsi 24 hari kerja, lembaganya mendapatkan fakta bahwa rerata pendapatan kotor bulanan ojek daring secara umum berada dibawah upah minimum kota.
Sebagai misal, rerata pendapatan kotor bulanan pengemudi ojek daring di Kota Bekasi adalah Rp 3,9 juta atau hanya sekitar 79 persen dari upah minimum kota yang Rp 5,0 juta.
ADVERTISEMENT
“Bila kita perhitungkan rerata biaya operasional bulanan, yaitu biaya bahan bakar, makan-minum, dan pulsa, maka rerata pendapatan bersih bulanan ojek daring di Kota Bekasi menyusut menjadi hanya Rp 2,6 juta, atau hanya sekitar 53 persen dari upah minimum kota,” ujar Yusuf.
Ketentuan jumlah minimum order yang harus diselesaikan dari order yang diterima, yang dikombinasikan dengan tarif per kilometer yang rendah, rating minimum dari penumpang yang tinggi dan adopsi sistem bonus, telah memaksa pengemudi ojek daring untuk terus bekerja dengan usaha yang semakin keras untuk sekedar mendapat penghasilan yang cukup memadai.
“Sistem penalti atas pembatalan order, mulai dari skorsing (suspend) hingga putus mitra, memaksa mitra ojek daring untuk selalu menerima setiap order yang datang: mereka harus siap setiap saat untuk pergi bekerja. Mitra ojek daring dipaksa untuk tidak pernah menolak order sehingga memiliki tingkat performa yang tinggi,” ungkap Yusuf.
ADVERTISEMENT
Kombinasi waktu kerja yang sangat panjang dan tempat utama kerja adalah jalan raya membuat mitra ojek daring terpapar dan memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Dengan sebagian besar waktu kerja dihabiskan di jalan raya, dikombinasikan dengan kondisi tubuh yang kelelahan akibat jam kerja yang panjang, mengalami kecelakaan menjadi tidak terhindarkan.
“Sebanyak 31,6 persen responden mengaku pernah mengalami kecelakaan selama menjadi mitra ojek daring, dengan 2,7 persen diantaranya mengalami luka berat dan motor rusak berat,” tutur Yusuf.
Ironisnya, dengan sifat dan desain pekerjaan yang membuatnya terpapar risiko tinggi kecelakaan, mitra ojek daring tidak dilindungi dengan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja yang memadai.
“Sebesar 35,1 persen responden mengaku tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan). Hanya 12,9 persen dari responden yang memiliki BPJS Kesehatan karena bantuan atau difasilitasi oleh perusahaan aplikato,” ucap Yusuf.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari popularitas dan kecepatan pertumbuhan usahanya, layanan transportasi sepeda motor online (ojek daring) dengan model bisnis digital berbasis sharing-economy, yang awalnya digadang-gadang sebagai sistem ekonomi baru yang berkeadilan, kini semakin jelas terlihat tak sungkan mempraktikkan relasi kapital-buruh yang eksploitatif.
“Retorika otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja, hingga jumlah pendapatan yang diinginkan, yang populer dikenal dengan istilah gagah gig workers, menjadi jargon kosong untuk menutupi fakta eksploitasi pekerja informal yang dibayar murah tanpa pemberian hak dan perlindungan kerja yang memadai,” tutup Yusuf.[]