Konten dari Pengguna

Menelisik Ajakan Presiden Jokowi, Ancaman Deflasi Mengintai!

I Dewa Gede Sayang Adi Yadnya
Dosen Ekonomi Makro di Universitas Buana Perjuangan Karawang, Penulis Profesional, Pegiat Sosial, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Nasional KITA IHC, Motivator
12 Oktober 2024 20:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Dewa Gede Sayang Adi Yadnya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepinya aktifitas masyarakat saat deflasi, karena sedang mengerem konsumsi akibat menurunnya daya beli. (Sumber Foto: dok. Idewa Adiyadnya)
zoom-in-whitePerbesar
Sepinya aktifitas masyarakat saat deflasi, karena sedang mengerem konsumsi akibat menurunnya daya beli. (Sumber Foto: dok. Idewa Adiyadnya)
ADVERTISEMENT
Merespon deflasi beruntun yang dialami Indonesia dalam lima bulan terakhir, pernyataan Presiden Joko Widodo pada beberapa hari lalu di Ibu Kota Negara (IKN) menggugah banyak pihak. Presiden mengungkapkan pentingnya untuk menjaga keseimbangan harga agar produsen, termasuk petani, agar tidak mengalami kerugian. Namun, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana menjaga keseimbangan harga di tengah melemahnya daya beli masyarakat?
ADVERTISEMENT
Sebagai tambahan informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data deflasi lima bulan berturut-turut. Deflasi sebesar 0,12% tercatat pada September 2024. Ini merupakan kelanjutan dari tren yang terjadi sejak Mei 2024. Para ekonom berpendapat bahwa angka deflasi yang terus turun menunjukkan masalah mendalam. Banyak pihak menuding bahwa turunnya daya beli masyarakat menjadi penyebab utama deflasi ini. Sehingga, hal ini membuat tidak hanya kelompok masyarakat bawah yang terdampak, bahkan kelas menengah yang biasanya menjadi penopang ekonomi, mulai merasakan tekanan besar.

Apa yang Salah dengan Ekonomi Kita?

Laporan deflasi BPS harus menjadi alarm bagi pemerintah. Mengapa daya beli terus melemah padahal pertumbuhan ekonomi positif? Jawaban utama terletak pada stagnasi pendapatan masyarakat. Di tengah kebutuhan ekonomi yang terus meningkat, pendapatan tetap stagnan, bahkan menurun di beberapa sektor.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa kelas menengah kini harus berhati-hati dalam mengatur pengeluaran mereka. Banyak di antara mereka hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok. Ini mencerminkan fenomena "mantab" atau makan tabungan, di mana masyarakat mulai mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Kondisi ini juga dikonfirmasi oleh Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menunjukkan bahwa rata-rata saldo tabungan di bawah Rp100 juta telah menurun drastis.
LPS mencatat jumlah rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta mencapai 98,8% dari total jumlah rekening tabungan masyarakat Indonesia. Namun sedihnya, rata-rata saldo tabungan mereka mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan catatan, saldo rata-rata kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta dari Rp3 juta pada 2019 menjadi Rp1,5 juta pada Juni 2024.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini turut selaras dengan data terbaru dari BPS yang merilis bahwa terdapat 9,48 juta orang kelas menengah yang turun kelas ke kategori aspiring middle class (calon kelas menengah), dalam lima tahun terakhir. Sementara 12,72 juta orang calon kelas menengah, terlempar 'lebih miskin' ke strata lebih bawah yakni di kategori rentan miskin.
Kelas menengah sering dianggap sebagai penopang ekonomi karena mereka yang paling aktif dalam berbelanja dan memutar roda perekonomian. Namun, saat daya beli mereka turun, ekonomi melambat. Ketika permintaan berkurang, produsen terpaksa menurunkan produksinya. Banyak pabrik di sektor manufaktur memilih menahan diri untuk tidak memproduksi secara maksimal. Hal ini terbukti dari penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia selama tiga bulan berturut-turut. Kondisi ini membawa Indonesia masuk ke zona kontraksi, yang artinya tidak mampu mencapai skor minimal 50.
Perusahaan fenomenal Sepatu Bata terpaksa menutup pabriknya di Purwakarta Jawa Barat, menandakan rendahnya daya beli masyarakat di tengah kondisi deflasi di Indonesia. (Sumber Foto: Laporan Tahunan Sepatu Bata)

Merawat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Saat Deflasi

ADVERTISEMENT
Melemahnya daya beli menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi. Jika dibiarkan, deflasi berkelanjutan akan mengancam stabilitas ekonomi nasional. Industri yang tertekan akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam situasi seperti ini, gelombang PHK tidak bisa dihindari. Para pekerja pabrik, terutama di sektor padat karya, akan menjadi korban utama.
Selain itu, melemahnya daya beli juga menggerus kemampuan masyarakat untuk mengakses kebutuhan dasar. Inflasi rendah memang sering dianggap menguntungkan, tetapi deflasi justru menjadi pertanda bahaya. Masyarakat menunda konsumsi, produksi turun, dan pada akhirnya, roda ekonomi berhenti berputar.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah bagaimana kita bisa mengatasi ancaman deflasi ini? Secara ekonomi makro, pemerintah sangat perlu mengambil langkah apa untuk menjaga kestabilan harga sekaligus memperkuat daya beli masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memulihkan daya beli. Kenaikan pajak yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat harus dihindari. Tentu ini penting menjadi pertimbangan bagi Presiden baru untuk dapat menunda penerapan tarif PPN 12%. Kebijakan fiskal yang membebani masyarakat hanya akan semakin menyurutkan konsumsi.
Kedua, pemerintah perlu mempercepat kebijakan insentif bagi dunia usaha. Kebijakan fiskal yang proaktif, seperti pemberian insentif kepada sektor-sektor padat karya, akan mendorong pengusaha untuk berekspansi dan meningkatkan produksi. Langkah ini juga bisa membantu mengurangi risiko PHK di sektor manufaktur. Kolaborasi dengan Bank Indonesia untuk menjaga suku bunga kredit tetap rendah akan mendukung langkah ini.
Ketiga, jika kemampuan keuangan negara masih memungkinkan maka program bantuan sosial dan subsidi harus diperkuat. Hal ini untuk menjaga kestabilan daya beli masyarakat bawah. Perlu memastikan pelaksanaan program-program serupa dengan tepat sasaran agar dapat meringankan beban ekonomi masyarakat yang terdampak langsung oleh penurunan pendapatan.
PHK massal tak dapat dihindarkan saat perusahaan tepaksa harus melakukan efesiensi. (Sumber Foto: Freepik)

Kita Perlu Mendukung Upaya Keras Pemerintah

ADVERTISEMENT
Meski tantangan yang kita hadapi kini besar, kita masih memiliki harapan. Bank Dunia baru-baru ini merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang perkirannya tumbuh sebesar 5% pada 2024 dan 5,1% pada 2025. Ini merupakan proyeksi yang cukup optimis, mengingat tantangan ekonomi global yang ada. Namun, proyeksi ini hanya akan tercapai jika daya beli masyarakat telah pulih.
Dalam kondisi ini, peran kelas menengah sangat penting. Mereka adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena kontribusinya dalam konsumsi domestik. Jika kelas menengah kembali mendapatkan daya beli yang kuat, ekonomi akan kembali bergerak. Oleh karena itu, pemerintah dapat fokus pada kebijakan yang memulihkan daya beli, bukan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum.
Bayangkan ekonomi kita seperti sebuah mobil. Mesin (produksi) bisa saja canggih dan kuat, tetapi jika tidak ada bahan bakar (daya beli masyarakat), mobil tersebut tidak akan bisa berjalan. Dalam situasi ini, bahan bakar utama, yaitu daya beli, semakin menipis. Tanpa pemulihan daya beli, mesin ekonomi akan berhenti, dan kita semua akan terjebak di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Presiden Jokowi tentang menjaga keseimbangan harga menggarisbawahi betapa pentingnya menjaga stabilitas ekonomi di tengah situasi yang penuh tantangan. Namun, menjaga harga tetap stabil bukanlah satu-satunya solusi. Perlu upaya keras untuk memulihkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang menjadi penopang ekonomi. Tantangan ini tidak hanya menuntut kebijakan yang bijaksana, tetapi juga sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan kebijakan yang tepat dan kolaborasi yang kuat, kita bisa menjaga roda ekonomi tetap berputar.