Konten dari Pengguna

Gadis Yang Malang

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
18 Februari 2017 10:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sela, Namanya. Seorang gadis remaja yang tumbuh dari keluarga yang tidak harmonis. Sela berasal dari Pulau terpencil. Di usinya yang beranjak 15 tahun, ia telah memiliki pacar. Tentangganya berpendapat bahwa, sifat ibunya turun kepada Sela. Sebagai mana cerita orang-orang yang mengatakan bahwa ibunya dulu di usia yang lebih muda dari sela, telah berpacaran, dan sering gota-ganti pacar.
ADVERTISEMENT
Sela sebenarnya tidak diijinkan berpacaran. Alasan orang tuanya karena Sela masih kecil. Di usia 15 tahun itu belum saatnya berpacaran. Lebih baik bantu ibunya jualan bakso, bersih-bersih di rumah, dan ikut menanam rumput laut ke laut agar dapat uang. Suatu ketika, Sela merencanakan pertemuan d
engan pacaranya, Toge, di rumah temannya. Karena, bila pertemuannya di tempat terbuka, sangat mungkin orang tuanya melihat, atau ada orang yang melihat kemudian mengadu kepada orang tuanya. Akhirnya dipilihlah rumah temannya, untuk kencan, dan melepas rindu di antara mereka. Pertemuan itu diketuahi oleh salah satu warga yang melihat Sela, dan Toge masuk ke rumah temanya sela. Kemudian orang itu memberitahu bapaknya.
Sela mengira bahwa pertemuan itu, lepas dari pantauan orang tuanya. Tiba di rumah, tangan bapak sela langsung mendarat ke wajahnya. Kedua pipinya memerah. Tangisnya pun pecah di ruang tamu rumah itu. “Sudah berkali-kali ku bilang jangan pacaran, apalagi sampai berduaan di rumah orang”. bentak bapak sela. Ibunya yang ada di rumah pada saat itu, juga ikut mengomeli sela. “Sudah, mulai besok jangan lagi berhubungan dengan anak itu. Dia tidak cocok buat kamu, masa depannya tidak jelas, pemabuk, dan sering buat keributan di pulau ini”
ADVERTISEMENT
Setelah kejadian itu, Sela tidak jera. Ia sebagaimana anak gadis yang tumbuh di usianya, nekat, menghiraukan kemarahan bapaknya. Omelan dan ultimatum dari ibuknya. Secara sembunyi-sembunyi, Sela tetap bertemu dengan Toge. Ketika ada hajatan nikah di pulau tersebut yang dimeriahkan oleh Orkes Dangdut setempat, momem itu Sela manfaatkan untuk berjumpa dengan pujaan hatinya.
Orang tuanya pusing bukan kepalang memikirkan kelakuan nakal anaknya itu. Bapaknya yang gampang emosi, ingin rasanya mendaratkan tangannya ke wajah sela seperti sebelumnya. Namun, sang ibu selalu memohon agar si bapak jangan pakai kekerasan. Karena perlakukan fisik terhadap anak itu kurang baik, dan tidak mendidik. Seperti yang diingatkan oleh tetangga kepada ibunya.
Suatu ketika, orang tuanya memanggil sela. Malam itu, malam rabu, mereka mengadakan rapat keluarga. Pertemuan itu berlangsung di ruang tamu. Sela mengira, ia akan dimarahi, mungkin juga akan dipukuli lagi. Sela duduk di kursi kayu sebalah kiri. Sedang ibuk, dan bapaknya duduk bersebalahan di samping kiri sela. Di sebelah kanan Sela terdapat lemari kayu. Sela melirik ke lemari itu, terdapat fotonya saat bayi yang digendong oleh ibunya. Lama sela melirik foto itu, mungkin ia membayangkan betapa enaknya hidup pada saat itu daripada hidup saat ini. Diperhatikan, disayang, dijagain, dan perlakukan dengan sangat hati-hati, sampai berlebihan. Tidak seperti sekarang ini, jarang mendapatkan perhatian, dimarahiin, diomelin, bahkan diperlakukan dengan kasar.
ADVERTISEMENT
“Sela” Bapaknya memulai. Suara itu membuat sela mengalihkan pandangannya kepada sumber suara itu.
“Iya, Pak”
“Saya sudah berunding dengan ibukmu.” Kemudian bapaknya berhenti sejenak, sembari melirik ibu sela di sebelahnya. Sela berpikir mungkin ada sesuat yang penting yang disampaikan. Bukan untuk dimarahi atau dipukul.
“Kami telah sepakat, bahwa kamu akan kami sekolahkan. Tepatnya di pondokkan di kota, tempat Elisa, sepupu mu yang bulan lalu lulus di sana. Bulan depan saya akan antar kamu ke kota”
“Tapi, Pak” sela berusaha menyanggah
“Tidak usah tapi tapi. Kami sudah mempertimbangkan semuanya. Meski bapak ini hanya nelayan, dan ibukmu mengandalkan jualan baksonya, tidak usah khawatir terkait kebutuhanmu di sana. Kami siap membiayai kamu”
ADVERTISEMENT
“Iya, Pak” Jawab Sela singkat. Ibuknya tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Sela berpikir kalau ia jadi mondok aliyah di kota , maka ia tidak akan bisa bertemu lagi dengan si Toge. Sebenarnya kalau sela mengerti, niat orang tuanya memondokkan itu tidak lain agar Sela tidak pacaran, dan bertemu lagi dengan si Toge selain alasan agar Sela menjadi anak yang terdidik.
***
Sela meninggalkan tempat kelahirannya. Ini pertama kalinya sela berada di suatu tempat yang jauh dari orang tua, teman-temanya, laut, pantai, mungkin juga rumput laut yang ia sering tanam. Segala kenangan itu, selalu sela ingat menjelang tidur. Bagi sela, berada di tempat baru, membuatnya agak lebih tenang, daripada di rumahnya mendengar pertengkaran orang tuanya. Sela sebenarnya tidak suka sama kelakukan bapaknya, yang ingin menikah lagi. Kabar terkait bapaknya ingin nikah lagi, jauh sebelum Sela mondok, sudah sampai pada Sela berdasarkan sumber dari omongan orang-orang di pulau itu. Hanya saja Sela tidak pernah mengklarifikasi langsung ke bapaknya, maupun ibuknya. Sela yakin berita itu sudah benar, karena bapaknya memang memiliki kebiasaan buruk suka main perempuan meski ia sudah punya istri dan tiga anak. Di waktu tertentu Sela merindukan si Toge. Rindu itulah yang membuat Sela ingin pulang. “Tapi itu tidak mungkin” gumam Sela. “Saya tidak mungkin pulang, hanya karena rindu pada Toge. Meski rindu ini tidak tertahankan. Mulai sekarang saya harus muali belajar bahwa rindu itu tidak harus bertemu. Yang terpenting adalah saling menjaga hati” Pikir sela.
ADVERTISEMENT
Satu tahun sudah berjalan, tersisa dua tahun lagi untuk menyelesaikan sekolahnya di pondok itu. Suatu hari, sela mendapat kabar dari pulau. Bahwa si Toge menikahi temannya yang dulu waktu di pulau adalah teman dekatya. Kemudian berita tentang bapaknya, yang sudah bersama perempuan lain, melakukan kawin lari ke pulau Bali. Betapa terpukul hati Sela mendengar dua kabar itu sekaligus. Hatinya tergoncang, seharian menangis dan menyendiri. Sedih tinggal si Toge, yang telah menghianati ketulusan cintanya. Dan, sedih kepikiran nasib ibuknya yang ditinggal oleh seorang laki-laki yang tidak punya tanggung jawab.
***
Didera persoalan cinta yang kandas di tengah jalan, dan soal bapaknya yang kawin lari dengan wanita lain, telah mengajarkannya untuk menerima kenyataan hidup yang pahit. Mungkin saja persoalan itu mengganggu konsentrasi sekolahnya. Namun, ia tetap harus menyelesaikan sekolahnya. Sela mulai jarang mendapat kiriman dari orang tuanya. Suatu ketika ia menelpon ibuknya, untuk dikirimi uang. “Saya belum punya uang, Nak. Sela pinjem dulu ke temannya di sana ya” Jawab ibuknya. Terdengar isak tangis ibuknya diujung telpon sana.
ADVERTISEMENT
Sela kemudian sakit. Panasnya sudah dua minggu tidak turun-turun. Mengalami nyeri sendi, gatal-gatal, dan kencingnya berwarna lebih gelap. Mata sela menguning . Teman-teman di pondoknya kasihan melihat kondisi sela. Ia tidak berani memberitahu ibunya di pulau. Jika ibunya diberi tahu, ibu akan khawatir, menangis, dan menambah derita ibunya. Sela enggan periksa ke Rumah Sakit. Teman-temannya membujuk sela untuk pergi periksa. Atas bujukan teman-temannya itu, sela akhirnya mau dibawa ke Rumah Sakit. Diagnosis dokter menyebutkan bahwa sela menderita penyakit kuning. Sela menjual anting-anting yang dulu diberikan oleh ibuknya, untuk membiayai pengobatannya. Ditambah dengan iuran teman-temannya, dan bantuan ustadz di pondok itu. Mungkin anting-anting itu adalah satu-satunya pemberian yang paling berharga yang pernah diberikan oleh ibuknya. Dengan keterpaksaan ia harus menjualnya.
ADVERTISEMENT
***
Sela tumbuh menjadi gadis yang kuat, dan mandiri. Setelah lulus di pondok itu, ia pindah ke kota lain. Ia enggan kembali ke pulau, bukan karena tidak rindu, dan melupakan ibunya. Dia berpikir jika pulang, apa yang akan dia kerjakan disana, malah akan mempersusah ibunya. Sementara ia harus mandiri, dan bekerja agar mendapatkan uang. Pengalaman hidup yang pahit itulah, telah membawanya pada prinsip bahwa ia harus hidup mandiri, tidak akan menerima pemberian dari orang tua, dan belas kasih orang lain selama ia masih bisa berusaha sendiri.
Tiba di kota lain itu, ia mulai mencari pekerjaan. Bermodal ijazah setingkat SMA, ia memasukkan lamaran pekerjaan. Mulai dari warung makan, Toko Baju, Mini Market, sampai melamar menjadi buruh perusahaan rokok.
ADVERTISEMENT
Dua minggu setelah menaruk lamaran itu, belum juga ada yang menelponnya. Tidak ada uang sepeserpun yang ia pegang. Sela pun tidak punya siapa-siapa di kota itu. Kalaupun ia mati karena kelaparan di kosnya, mungkin juga tidak ada tahu. Siapakah yang akan peduli dengannya, di tengah kehidupan kota yang mementingkan kepentingan pribadinya. Berbeda dengan kehidupan di pulau, sesusah apapun di sana mendapatkan uang, namun, soal makan bisa numpang ke rumah tetangga. Karena hidup di pulau, kekeluargaan itulah yang lebih utama.
Ia sesekali berpikiran untuk pulang saja ke pulau, daripada hidup di kota itu tidak jelas, hampir satu bulan belum juga ada panggilan kerja. Pada suatu pagi, di teras depan kosnya, sela merenung tentang nasibnya, bertahan atau pulang. Sela juga teringat kepada masa lalu cintanya, padahal sudah dua tahun lebih ia telah melupakan pengalaman pahit itu. Bagi sela, cinta itu menyakitkan, dan penuh kepalsuan. Ia tida lagi percaya pada cinta senjati. Itu hanya ilusi, dimana pun laki-laki itu sama. Mereka tidak pernah melihat bagaimana pengorbanan, dan ketulusan cinta perempuan. Mereka hanya suka memuaskan hasrat mereka, begitu puas, mereka akan meninggalkan perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, Hp sela berdering. Sela mengangkatnya dengan penuh harap, semoga yang telepon itu salah satu dari tempat yang ia masukkan lamaran kerja. “Mbak, besok ada bisa datang ke perusahan. Anda besok interview sekaligus langsung masuk kerja” suara laki-laki di seberang telepon.
***
Sudah tiga bulan sela bekerja di perusahan rokok itu. Sebagai buruh , tidak lantas membuat keperluan hidupnya di kota itu tercukupi. Ia bekerja di perusahan itu dengan gaji perhari. Sesuai dengan berapa banyak batang rokok yang sela buat perhari. Suatu ketika, penyakit sela kambuh. Pada hari itu, sela ingin ijin tidak masuk kerja. Namun, sela tetap masuk kerja. Ia dimerahi atasannya karena datang telat. Atasannya tidak mau mendengar alasan apapun, walaupun sakit. Sela protes terhadap sikap atasannya yang tidak peduli pada bawahannya. Selain tidak menerima alasan, perusahaan itu tidak menjamin kesehatan buruh seperti Sela. Akhirnya membuat dipecat. Sementara penyakitnya mulai kambuh, ia butuh uang untuk berobat. Sedang ia sudah tidak bekerja lagi. Ia hanya berdiam diri di dalam kostnya. Malang nasib Sela, tubuhnya mulai panas, badannya nyeri, dan matanya mulai menguning. Tidak ada satupun orang yang tahu tentang keadaan. Sela pasrah, jika Tuhan masih cinta, dan menakdirkannya masih hidup. Ia akan sembuh dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Bersambung...........