Masih Perlukah Buku Dirayakan?

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
Konten dari Pengguna
17 Mei 2017 11:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masih Perlukah Buku Dirayakan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sore itu, saya membawa sebuah buku ke warung kopi itu. Pikirku membaca buku di warung kopi itu akan membuat suasana membaca lebih santai apalagi ditemani alunan musik. Ya, begitulah kebiasaan saya dalam membaca buku. Tidak hanya dengan cara menyendiri di kamar di malam hari, namun juga suatu waktu perlu membaca buku di tempat terbuka salah satunya warung kopi.
ADVERTISEMENT
Sore itu, buku yang saya bawa adalah buku Pramoediya Ananta Toer berjudul 'Bumi Manusia'. Sambil menyeruput kopi hitam panas, saya perlahan membaca dan memaknai kata demi kata dalam buku tersebut.
“Harus adil sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya,” seru Jean Marais kepada Minke. Saya merenungkan maksud kalimat itu sembari mengerutkan dahi dan menunduk. “Kira-kira, apa maksud dari kalimat itu?” Begitu dalam hati saya. Selang beberapa menit belum juga saya temukan maknanya, ada teman yang menghampiri saya kemudian duduk di samping kanan saya. Tak disangka, dia menyodorkan sebuah kritikan pedas. “He, Kamu ya kalau ke kantin tidak usah bawa buku. Baca buku itu ada waktunya. Masak ke warung kopi aja bawa buku. Mau pamer?”
ADVERTISEMENT
Dalam hal membaca buku, saya termasuk pemula yang menggemari baca buku. Awal masuk kuliah, barulah saya dekat dengan sebuah buku. Di awal-awal itu, saya mulai menyisihkan uang kiriman dari orang tua untuk beli buku. Dalam satu tahun pertama buku mulai berjejeran di atas lemari dan menumpuk. Kalau dibiarkan seperti itu, lemari yang terbuat dari triplek bisa roboh. Akhirnya, saya membuatkan rak sendiri untuk buku-buku saya. Karena saya bukan pustakawan, jadi saya tidak tahu persis berapa jumlah buku saya sekarang. Yang jelas masih sedikit di bandingkan dengan jumlah buku di perpustakan kampus saya.
Awal-awal gemar membaca buku, saya bisa sampai larut malam menyendiri di kamar untuk membaca buku-buku yang sudah saya beli. Sampai kemudian saya tidak tahu tempat –membaca buku filsafat di toilet sembari menghisap rokok. Anda bisa bayangkan. Dan, saya meniru gaya patung berpikir karya Auguste Rodin, pemahat asal Yunani yang sering dijadikan sampul buku filsafat. Kalian juga pernah merasakan seperti saya, kan? Hayo, ngaku!
ADVERTISEMENT
Kembali kepada kritik teman saya lima tahun yang lalu di atas, saya waktu itu mengabaikannya saja. Tidak dimasukin hati. Sampai hari ini pun, kalau ada orang yang berpikiran sama, saya tidak pernah ngerespon. Toh, mencari pembenaran tidak akan menyelesaikan masalah, malahan sebaliknya. Tapi, kalau dipikir-pikir apa yang disampaikan Jean Marais kepada Minke bisa dijadikan jawaban atas kritikan pedas teman saya waktu itu. Bahwa ia telah berlaku tidak adil sejak dalam pikirannya sehingga ia beraninya menghakimi orang yang membaca buku. Padahal ia belum tentu tau tujuan dari baca buku itu apa.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, masing-masing orang memilik cara yang berbeda untuk membaca buku. Sekarang pun di beberapa tempat, seperti warung kopi, kantin, atau kafe mulai berubah suasananya –dengan menyediakan buku untuk para pembeli. Bahkan, baru-baru ini teman saya di Malang membuat terobosan baru dengan membuat perpustakaan mini di dalam mobil angkutan kota (angkot). Semuanya bertujuan untuk menggerakan budaya literasi dan menjadikan buku sebagai teman dalam kehidupan.
Sosok seperti teman saya di atas, sampai hari ini pun (masih) banyak kita temui di beberapa tempat. Bahkan di kalangan yang katanya “kaum terdidik” juga ada yang berpikir demikian. Alih-alih mengkampanyekan budaya baca buku di manapun kalian berada, malah menjadi penghambat.
Di lain waktu ada lagi seorang teman bertanya kepada saya seperti ini.
ADVERTISEMENT
“Buat apa sih membaca buku itu? Kamu kan tetap aja kayak gitu. Tidak berubah-berubah. Buang-buang waktu saja. Hidupmu juga tetap sulit seperti ini," tanya seorang teman.
“Banyak orang yang tidak menyadari bahwa betapa kehidupan manusia bisa diubah dengan sebuah buku,” jawab saya yang mengutip Malcolm X.
“Ah, Masak. Coba jelaskan detailnya seperti apa. Buku apa coba yang bisa mengubah kehidupan manusia?”
“Okay, sederhananya begini. Membaca buku tujuan dasarnya adalah menambah wawasan, menggugah kesadaran, memperluas cara pandang dan berpikir secara utuh. Kalau tujuan dasarnya seperti itu, saya jamin dalam kehidupan seharian kita dalam memahami fenomena sosial maka cara berpikir kita akan luas, utuh, dalam dan tidak reaksioner. Setidaknya, membaca buku akan membuatmu gelisah dan akhirnya ada keinginan untuk mengubah keadaan yang menurutmu perlu diubah.
ADVERTISEMENT
Dan, buku-buku yang telah berhasil mengubah kehidupan manusia, menurut saya misalnya buku Das Capital karya Karl Marx yang membedah biang keladi dari kemiskinan manusia di dunia, yaitu kapitalisme. Buku tersebut menginspirasi banyak orang untuk mengubah tatanan sosial yang kapitalistik menjadi sosialistik. Kalau di Indonesia, ada buku-buku Pramoedya Ananta Toer terutama buku tetralogi pulau buru yang menurut Max Lane di dalam bukunya 'Unfinished Nation' menginspirasi para aktivis di akhir tahun 80-an. Dan sampai sekarang pun karya kedua tokoh yang saya sebutkan, Marx dan Pram, masih dibaca oleh banyak orang. Dan masih banyak lagi buku yang berpengaruh”
“Oh, begitu ya. Saya belum pernah baca buku yang kamu sebutkan”
“Makanya mas, baca. Biar waktumu tidak sia-sia dan terbuang hanya karena sibuk caci maki orang baca buku. Jangan-jangan sampean ini termasuk kelompok–yang dikit-dikit melarang dan sweeping buku-buku bacaan”
ADVERTISEMENT
Membaca buku bukan suatu jaminan untuk menjadikan diri kita kaya secara materi. Sekalipun yang kita baca adalah buku Bapak Mario teguh, Tung Desum Waringin atau Anthony Robbin. Buku-buku cara untuk menjadi kaya, menjadi triliuner atau buku sejenis motivasi. Kalau ada jaminan, saya akan membaca buku tersebut. Atau saya akan kuliah lagi di jurusan ekonomi supaya hidup saya lebih mudah dan kemudia menjadi kaya. Tetapi benarkah, demikian ? Bukankah kebanyakan yang membaca buku motivasi, selepas membaca tetap begitu-begitu saja, dan jurusan ekonomi setelah lulus, banyak yang tidak kaya. Orang kaya hanya 1 % jumlahnya dari total populasi manusia di dunia. Hidup tidak semudah itu, dik. Dan, membaca buku tidak harus jadi kaya.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak dipungkiri bahwa dari membaca buku bisa saja membuat kita kaya yaitu dengan cara setelah banyak membaca buku mulailah menulis buku dengan target bukunya terjual laris (best seller). Dan, orang yang memiliki motif ke arah situ pastilah ada. Dan itu sah-sah saja, kan?
ADVERTISEMENT
Di hari peringatan buku nasional, 17 Mei 2017 ini, masih perlukah buku dirayakan?