Virus Berubah, Manusia Tidak Berubah

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
Konten dari Pengguna
31 Desember 2021 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: nationalgeographic.grid,id
zoom-in-whitePerbesar
Foto: nationalgeographic.grid,id
ADVERTISEMENT
Ketika virus corona bermutasi menjadi Omicron, hal ini menunjukkan bahwa kegagalan umat manusia untuk bertarung melawan virus ini. Virus, sebagaimana Richard Dawkins pernah sampaikan tidak mengenal etika moral—virus sangat cerdik dan licik—sehingga tidak ada beban moral apapun bagi virus untuk melukai atau menginfeksi umat manusia.
ADVERTISEMENT
Negara maju seperti Inggris adalah contoh ketidakberdayaan negara dalam menghalau laju varian baru ini. Kasus harian di semua wilayah Inggris semakin menggila tembus angka dua ribu lebih. Begitu juga yang terjadi di wilayah Amerika yang kasus hariannya tembus lebih dari lima ratus ribu.
Riset memang menyebutkan bahwa potensi penyebaran Omicron 70 kali lebih cepat dari varian sebelumnya. Sedangkan efek varian Omicron ini diyakini tidak terlalu berbahaya. Meski demikian jika jumlah kasus penularan meningkat, maka itu akan sangat berdampak pada kapasitas rumah sakit. Karena banyaknya orang yang membutuhkan perawatan.
Ingat! Kita pernah tak berdaya saat berperang melawan varian Delta. Anda barangkali masih ingat betapa banyaknya pasien Covid-19 yang antri di depan UGD untuk mendapat perawatan karena rumah sakit mengalami over kapaitas. Warga kelimpungan mencari oksigen tetapi kehabisan, dan berita betapa banyaknya orang yang meninggal saat menjalani Isolasi mandiri di rumah.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini World Health organization (WHO) mencatat ada 10 varian virus Corona sebut saja varian Alfa, Beta, Gamma, Delta, Lambda, Kappa, Eta, Mu, dan Omicron. Dan, tidak menutup kemungkinan varian-varian baru muncul. Virus sifatnya akan terus melakukan mutasi agar mereka dapat bertahan hidup. Dan, kita manusia adalah tempat di mana virus akan bermutasi.
Dengan logika tersebut di atas, kunci agar mampu mengendalikan birus bermutasi adalah ada pada manusia. Dengan kata lain ketika virus punya potensi untuk selalu bermutasi, harusnya manusia juga bermutasi. Manusia hanya perlu cara bagaimana virus tidak bermutasi dengan mencegah virus untuk tidak menyebar antar manusia.
Selama ini kita sudah punya senjata paling ampuh untuk mengendalikan mutasi, namun senjata itu terbukti belum dilaksanakan secara ampuh. Menerapkan 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Manusia termasuk makhluk bandel untuk patuh melaksanakan aturan tersebut. Kita sering terjebak pada upaya-upaya singkat misalnya melakukan booster vaksin. Tetapi mengabaikan upaya-upaya kecil yang berdampak secara eksponensial. Bahwa booster tersebut bekerja untuk menaikkan imun, namun cara itu tidak bisa menghentikan pandemi.
ADVERTISEMENT
Dari awal pandemi yang kita harapkan memang tindakan-tindakan kecil dengan disiplin prokes. Bukan tindakan-tindakan heroik tetapi dampaknya hanya jangan pendek. Jika skala antar manusia tidak mampu melakukan mutasi maka pemerintah perlu tampil dan bermutasi. Betapa berpengaruh kebijakan untuk melarang orang untuk berkumpul-kumpul saat perayaan tahun baru, misalnya.
Upaya-upaya pencegahan harus lebih banyak diupayakan daripada upaya penyembuhan. Bukan sebaliknya. Terbukti kita pernah kelimpungan saat merawat pasien Covid-19 di rumah sakit. Saat ini memang angka kasus Covid-19 turun tetapi hal itu juga karena jumlah tes nya menurun.
Di ujung pergantian akhir tahun ini agaknya kita tidak perlu melakukan resolusi hal-hal besar. Momentum tahun baru ini penting untuk refleksi. Resolusi yang tepat menurut saya adalah bagaimana kita harus berubah (baca; mutasi) agar tetap bisa bertahan hidup di tengah kekhawatiran kita menanti kedatangan varian baru Omicron menggempur kita.
ADVERTISEMENT