Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Guru Besar, Apakah untuk Akademisi Akal-akalan atau Penuh Dedikasi?
6 November 2023 12:00 WIB
Tulisan dari idhamsyah eka putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia akademis Indonesia akhir-akhir ini kembali ramai dengan kasus pencabutan Guru Besar (GB) Taruna Ikrar. Usut punya usut karena diduga adanya unsur penipuan mengenai latar belakang dan kiprah akademis Taruna Ikrar. Kasus academic fraud (penipuan akademis) yang dilakukan oleh Taruna Ikrar bukanlah hal baru.
ADVERTISEMENT
Setidaknya kiprah akademis Taruna Ikrar ini juga pernah ramai dibicarakan pada tahun 2017 ketika ada yang menanyakan keabsahan dirinya sebagai GB dan dekan di Pacific Health Sciences University. Tidak sekadar itu, keberadaan kampus Pacific Health Sciences University juga patut dipertanyakan.
Pada tahun 2017, diklaim itu adalah kampus baru jadi masih ada pengembangan di website, namun setelah sekian tahun berjalan sampai tahun 2023 ini, setidaknya dari hasil penelusuran saya pun ini masih misteri.
Jadi, ketika mendapat kabar mengenai GB Taruna Ikrar di Universitas Malahayati dicabut oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, (Kemendikbudristek) saya sangat memberikan apresiasi yang tinggi pada Kemendikbudristek. Terima kasih atas apa yang telah dilakukan Mas Menteri Nadiem dan Pak Nizam, PLT DIKTI. Akan tetapi, ada dua hal penting dari kasus ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, dari kabar yang saya dapat, GB Taruna Ikrar didapat dari hasil penyetaraan. Pertanyaan yang langsung muncul adalah, bagaimana caranya GB Taruna Ikrar yang didapat di Pacific Health Sciences University dapat disetarakan sehingga dia bisa tercatat sebagai GB di Universitas Malahayati?
Sementara aturan di Indonesia saat ini, syarat menjadi GB adalah memperoleh dahulu NIDN/NIDK. Lalu setelah itu baru bisa diproses kepangkatan awalnya. Sebagaimana diketahui oleh banyak dosen, hal ini tidak bisa serta merta langsung diangkat GB, karena jabatan pertama untuk lulusan S3 setelah NIDN adalah Lektor.
Sehingga tidak ada aturan main yang tercatat, setidaknya yang saya tahu, untuk penyetaraan GB. Tidak hanya itu, untuk menjadi GB, hal-hal administratif lain yang harus terpenuhi adalah a) punya sertifikasi dosen, b) pengalaman minimal 10 tahun sebagai dosen tetap di Indonesia, c) angka kredit yang terpenuhi. Sebagai catatan, hal ini tentu saja tidak berlaku untuk GB Kehormatan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, wajar jika ada pertanyaan, bagaimana Taruna Ikrar atau Universitas Malahayati bisa melabrak semua ini? Dan bagaimana LLDIKTI, DIKTI, ataupun Kemendikbudristek bisa kecolongan? Suatu hal yang hampir sulit terjadi jika ini dilakukan oleh dosen Indonesia yang mengikuti proses kenaikan jabatan secara normal.
Karena bila melakukan penipuan dokumen, pasti akan tertangkap basah sejak awal. Apalagi, Universitas Malahayati adalah kampus swasta yang biasanya proses kepangkatan dosen akan lebih rumit dibandingkan dengan dosen di perguruan tinggi negeri (PTN), karena harus melalui LLDIKTI dahulu.
Kedua, jika GB Taruna Ikrar bisa dicabut, kenapa GB (atau rektor) yang terkena masalah korupsi dan academic misconduct (misal plagiarisme) tidak dicabut juga GB-nya? Nama-nama ini bisa panjang ditulis tetapi di antaranya misal kasus Djaali mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Karomani mantan Rektor Universitas Lampung (UNILA) yang tersandung kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Atau baru-baru ini kasus plagiarisme yang dilakukan oleh Imam Taufik sehingga diberhentikan sebagai Rektor UIN Semarang. Namun mereka ini, dan mereka yang terkena kasus serupa ataupun academic misconduct lainnya, tidak dicabut kepangkatannya.
Pertanyaannya, jika GB adalah jabatan tertinggi seorang dosen di PT, mengapa mereka tidak dicabut GB-nya? Padahal, dalam dunia pendidikan, hal yang mereka lakukan bisa dikatakan sebagai kejahatan akademis luar biasa.
Kemendikbudristek tentu saja tidak bisa lepas tangan urusan ini seolah-olah masalah bukan muncul dari mereka. Terutama pada poin pertanyaan pertama di atas, saya jadi curiga jangan-jangan sistem PT yang ada saat ini justru melahirkan para penipu, baik yang dilakukan secara implisit maupun eksplisit.
Mengapa demikian? Dari kasus Taruna Ikrar, bisa jadi akan ada dosen lain yang mengambil pelajaran bahwa dengan jalan mengakali dan menipu, mengurus jabatan dosen bisa lebih mudah daripada senantiasa bertindak benar dan mengikuti aturan secara jujur. Sistem yang dirasa rumit oleh banyak dosen ini ternyata sangat mudah diakali, dan banyak cara melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Jika boleh jujur, ketika mendapat kabar mengenai kasus ini (baca: Taruna Ikrar pernah jadi GB tapi kemudian dicabut), emosi yang keluar dari saya adalah emosi marah yang sangat meledak-meledak.
Sebabnya, saya mungkin harus menerima dengan lapang dada bahwa saya, jika tidak ada perubahan sistem PT di Indonesia ke arah yang lebih baik, secara sistem saya tidak akan menjadi GB. Bukan karena masalah latar belakang akademis, bukan juga karena masalah rekam jejak publikasi ilmiah saya. Bukan itu. Perihal ini, saya akan coba terangkan siapa saya dahulu.
Saya, Idhamsyah Eka Putra, adalah social psychologist by training, dimana S3 saya di Johannes Kepler University of Linz (JKU) ditempa dan dilatih oleh Wolfgang Wagner , social psychologist terkemuka di Eropa.
ADVERTISEMENT
Kiprah saya sebagai akademisi dimulai tahun 2007 ketika saya dipercaya menjadi peneliti muda di Lembaga Penelitian Psikologi (LPPsi) UI dan tahun 2008 memulai mengajar sebagai dosen non-homebase di universitas Bina Nusantara. Tahun 2012 saya mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 di JKU, Austria.
Singkatnya, setelah meraih gelar doktor (PhD) dari JKU pada awal tahun 2015 , di mana saya menjadi salah satu lulusan tercepat waktu itu, saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia; bekerja menjadi dosen di Universitas Persada Indonesia. Tentu saja ada alasan-alasan tertentu yang mendorong keputusan ini.
Saya ingin fokus berkarier di dunia akademis, namun sekaligus saya menyadari bahwa sistem dan ekosistem di Indonesia (misalnya dukungan dari komunitas ilmiah) kurang mendukung jika saya bekerja di Indonesia. Ini karena sebagian besar universitas di Indonesia lebih berorientasi pada kegiatan pengajaran.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, banyak juga ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang memutuskan balik ke Indonesia, namun mereka menjadi tidak produktif menghasilkan karya-karya ilmiah. Dari sini, meskipun ada tantangan untuk bekerja di Indonesia, saya ingin membuktikan bahwa bahkan dalam situasi yang sulit, kita tetap bisa produktif.
Terkait dengan hal ini, saya telah membuktikan kemampuan saya yang secara konsisten, sejak 2013, menerbitkan penelitian dan karya ilmiah saya di jurnal-jurnal ilmiah yang memiliki proses review ketat. Atas konsistensi saya ini, beberapa ilmuwan terkemuka dunia telah memberikan gambaran jujur mengenai saya (sebagaimana ditampilkan di bawah).
Saya juga telah berkolaborasi dengan para ilmuwan terkemuka dari Inggris, Eropa, Amerika Serikat, Australia, ASEAN, bahkan dari Timur Tengah. Catatan-catatan kolaborasi ilmiah ini bisa ditelusuri melalui publikasi-publikasi ilmiah saya (dapat ditelusuri melalui Google Scholar , Orcid , atau Scopus ).
ADVERTISEMENT
Jika ingin menulis lebih panjang lagi, di bidang psikologi, mungkin saya orang Indonesia pertama yang bisa menjadi salah satu Editor-in-Chief atau Editor Utama di Journal of Social and Political Psychology , salah satu jurnal psikologi terkemuka dalam hal psikologi politik. Saya yakin bukanlah hal yang simsalabim saya bisa menjadi Editor Utama, tapi dari pencapaian aktivitas ilmiah saya.
Tidak hanya itu, saya juga memiliki honorary position di dua pusat riset berbeda di University of Oxford, yaitu sebagai Research Fellow di Centre for the Resolution of Intractable Conflict (CRIC ) dan Research Affiliate di Centre for the Study of Social Cohesion (CSSC ). Bagi yang mempertanyakan keberadaan saya di University of Oxford, dapat langsung menanyakan pada pusat riset tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan perkembangan ilmu? Pada disiplin psikologi sosial, saya mengembangkan konsep meta-prejudice dan human nature approach . Konsep-konsep ini relatif baru, dan saya adalah orang pertama yang mempopulerkan kedua konsep tersebut, dan sudah ada beberapa publikasi mengenai ini.
Atas konsep-konsep baru ini, Jurnal Psikologi Sosial membuat edisi khusus memperingati 10 tahun konsep meta-prejudice dan 5 tahun konsep pendekatan human nature. Bagi saya, ini adalah apresiasi yang sangat tinggi atas konsep teori yang saya kembangkan.
Akan tetapi, walaupun telah banyak pencapaian dan prestasi, karena hanya menolak ikut proses Serdos, saya dianggap tidak memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan jabatan GB. Menurut saya Serdos itu baik, namun prosesnya perlu dipertimbangkan ulang, terutama pada syarat tes kecakapan akademis/potensi akademis (TPA).
ADVERTISEMENT
TPA mungkin bagus untuk seleksi calon mahasiswa, namun untuk calon dosen, di mana yang dicari bukan lagi potensi namun rekam jejak ilmiah, maka penggunaan TPA sangat tidak relevan. TPA adalah indikator yang keliru dipakai untuk calon dosen. Mengapa? Karena dosen yang sudah memiliki rekam jejak ilmiah dapat menunjukkan bukti-bukti nyata, lantas untuk apa potensinya perlu dievaluasi.
Jikapun tidak lulus TPA, hasil ketidaklulusan itu tidak bisa menganulir bukti-bukti yang sudah ada; karena rekam jejak adalah indikator penilaian yang paling kuat dibandingkan “potensi”. Di Amerika Serikat, TPA (bisa tes Scholastic ataupun GRE) digunakan hanya untuk calon mahasiswa, bukan untuk calon dosen.
Tes ini diterapkan pada mahasiswa karena mereka belum memiliki ataupun minim rekam jejak ilmiah. Karena ada kekeliruan dalam proses Serdos inilah saya memilih untuk menolak untuk terlibat proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, sebagai dosen di perguruan tinggi swasta (PTS), saya menolak menerima tunjangan dosen yang diberikan Dikti. Bagi saya, ini bukan tugas Dikti untuk memberikan tunjangan tersebut. Yang terpenting sebenarnya, dan hal utama yang justru diabaikan adalah pentingnya Dikti membuat standarisasi gaji dosen, dari tingkat lulusan S1, S2, S3, atau Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, sampai GB.
Untuk menjamin dosen bisa hidup sejahtera, penting Dikti untuk memikirkan hal ini, ketimbang menafkahi dosen dengan angka yang nilainya tidak seberapa. Dari alasan dan bukti-bukti yang telah saya jelaskan tersebutlah, saya memilih mengambil posisi berbeda dengan Kemendikbudristek.
Dampak dari pilihan ini dan jika saya tetap memilih menjadi akademisi di Indonesia, saya harus siap menerima bahwa mungkin GB hanya akan ada pada mimpi saya saja. Memang sudah ada yang menjelaskan perwakilan Dikti bahwa NIDN dan Serdos hanya sekedar urusan pengarsipan/administratif dan tidak akan mengganggu proses GB (lihat di sini , pada 2:17:00 pertanyaan saya mengenai problem GB dibacakan oleh moderator.
ADVERTISEMENT
Lalu dijawab pada 2:23:39 oleh pihak Dikti), namun pada kenyataannya hal tersebut masih dipermasalahkan pada saya. Menjadi wajar jika inipun ditanyakan pada kasus Taruna Ikrar, bagaimana dia bisa diangkat jadi GB? Apakah dia sudah punya NIDN / NIDK dan Serdos? Atau keperluan-keperluan tersebut memang tidak diberlakukan pada orang-orang tertentu?
Jika memang ada unsur penipuan baik dalam rekam jejak ilmiah, atau dalam proses pengangkatan GB, Kemendikbudristek perlu menangani kasus ini benar-benar serius dan menyeluruh. Apalagi ternyata Taruna Ikrar diangkat juga sebagai GB di Universitas Pertahanan . Ini artinya, penanganan kasus seperti ini tidak sekedar pencabutan GB, namun perlu ada sanksi keras. Hal ini tidak hanya berlaku pada kasus Taruna Ikrar, tetapi juga kasus-kasus dugaan academic misconducts lainnya.
ADVERTISEMENT
Saya melihat ada lebih banyak akademisi-akademisi Indonesia yang dedikasi dan komitmen jauh lebih besar dari saya. Namun kebanyakan mereka pesimistis dengan sistem dan ekosistem PT di Indonesia. Pesimistik ini muncul diantaranya karena kendala urusan admnistratif (yang tidak masuk akal), yang menjadikan karir akademis mereka terhambat atau sulit melakukan penelitian berkualitas.
Saya bisa memberikan deretan panjang nama-nama di sini, namun hal yang penting dikemukakan adalah apakah Indonesia, dengan sistem PT saat ini, memang bukan tempat untuk akademisi yang benar-benar memiliki dedikasi terhadap perkembangan keilmuan namun untuk akademisi yang lebih memilih jalan pintas, jalan akal-akalan belaka (misalnya mengakali bagaimana agar publikasi yang penting bisa terindeks Scopus), atau politisi yang mengaku akademisi?
ADVERTISEMENT
Akan sangat baik jika Pemerintah (terutama Kemendikbudristek) menjawab pertanyaan tersebut bukan dengan respon-respon retoris tetapi dijawab lewat keseriusan menangani academic misconducts yang ada di Indonesia, dan menerapkan sistem berdasarkan kecakapan (merit-based system) yang tepat, yang jauh dari kesan main-main. Jika hal ini dilakukan, saya yakin akan banyak melihat masa depan PT Indonesia lebih optimis.