Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Dampak Kerusakan Akibat Publikasi di Jurnal Ilmiah "Predator"—Berkualitas Rendah
9 Januari 2025 13:24 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Idhamsyah Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak studi dan laporan yang mengungkapkan bahwa publikasi ilmiah di Indonesia sering kali terjebak pada jurnal predator, atau yang dapat disebut sebagai jurnal "akal-akalan." Jurnal-jurnal semacam ini umumnya memanfaatkan model publikasi open-access dengan menagih biaya tinggi kepada penulis demi keuntungan pribadi. Praktik yang dilakukan sering kali mengabaikan etika dalam publikasi ilmiah dan hampir sepenuhnya menghilangkan proses peer-review yang benar dan berkualitas.
Studi yang dilakukan oleh Macháček dan Srholec (2022 ) yang fokus pada publikasi di jurnal predator terindeks Scopus menempati Indonesia di posisi kedua terbanyak setelah Kazahktan. Data yang dipakai oleh Macháček dan Srholec data publikasi di Scopus sampai 2017. Hal yang paling mencengangkan adalah temuan dari Aini dan kawan-kawan (2024 ) yang menunjukkan bahwa 8 dari 10 Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia memiliki artikel yang terbit di jurnal predator. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Guru Besar di Indonesia merupakan hasil dari publikasi di jurnal-jurnal predator, yang kualitasnya patut dipertanyakan. Laporan dari Aini dan rekan-rekan ini baru sebatas temuan di perguruan tinggi negeri (PTN). Menurut saya, jika di PTN saja fenomena ini sudah sedemikian masif, maka kemungkinan besar situasinya lebih parah di perguruan tinggi swasta (PTS).
Dampak Kerusakan pada Pengembangan Keilmuan dan Ekosistem Akademis
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, jika problem publikasi predator “akal-akalan” ini tidak diselesaikan secara serius, ada kerusakan yang lebih besar akan terjadi, terutama dari segi pengembangan keilmuan dan kualitas lulusan. Kenapa demikian?
Hal pertama yang mesti dipahami bahwa jurnal predator atau jurnal “akal-akalan” tidak peduli dengan isi dari karya ilmiah yang dipublikasikannya sehingga peneggunaan kerangka teoretis dan metode risetnya bisa dipertanyakan. Dan saya menemukan hal ini. Dari segi metodologi, contoh saja misalnya publikasi Putranto dkk (2016 ) dan Pratama dkk (2024 ). Penelitian mereka berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda, di mana Putranto dkk melakukan penelitian di bidang medis, sedangkan Pratama dkk di bidang olahraga. Namun, keduanya sama-sama menggunakan desain eksperimen pre-post dengan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan pemahaman saya, model eksperimen tersebut idealnya dianalisis menggunakan mixed-design ANOVA, atau yang sering disebut sebagai split-plot ANOVA. Analisis ini biasanya digunakan untuk mengolah data, dalam sekali jalan, yang melibatkan kombinasi pengukuran berulang (pre–post) dan perbandingan antar kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol). Sayangnya analisis yang mereka lakukan lakukan hanya menggunakan t-test sehingga tidak ada hasil persilangan komparasi antar kelompok x pre-post. Artinya peneliti menggunakan analisis yang kurang tepat dalam studinya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dalam studi yang dilakukan oleh Putranto dkk, disebutkan bahwa penelitian mereka menggunakan metode Randomized Controlled Clinical Trial (RCT), yang umumnya melibatkan pembagian peserta ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Namun, studi Putranto dkk justru hanya menggunakan desain pre-post single group. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait klaim randomisasi yang dilakukan: apa yang sebenarnya dipilih secara acak? Saya cukup memahami model eksperimen tersebut karena ada beberapa peneltian kami yang menggunakan pre-post eksperimen (contoh misalnya Putra dkk, 2018 dan 2021 ).
Saya tidak tahu ada berapa banyak yang melakukan kesalahan seperti ini, salah dalam melakukan analisis statistic yang berakibat hasil temuan yang perlu dipertanyakan. Namun, jika mereka adalah akademisi yang mengajar di perguruan tinggi dan membimbing mahasiswa, hal ini berarti banyak mahasiswa berpotensi mendapatkan pemahaman metodologis yang keliru. Dalam hal ini setidaknya, dari pengamatan saya pribadi, telah banyak tugas-tugas seperti skripsi, tesis, disertasi ataupun artikel yang keliru dalam menggunakan metodologi atau analisis ilmiahnya.
ADVERTISEMENT
Pada kasus lain juga dapat ditemui mengenai pengunaan klaim penyebutan yang tidak memiliki dasar kuat. Misalnya studi yang dilakukan oleh Istiaji dkk (2022 ) yang menyebut homoseksual sebagai uncivilized behavior. Saya pribadi kurang memahami apa yang dimaksud dengan uncivilized behavior dan bagaimana istilah tersebut sebaiknya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Apakah yang dimaksud adalah perilaku tidak berbudaya atau perilaku yang dianggap tidak dapat diterima (oleh masyarakat Indonesia)? Terus terang, saya baru pertama kali menemukan penggunaan istilah uncivilized behavior yang dikaitkan dengan homoseksual dalam studi yang dilakukan oleh Istiaji dkk.
Beberapa hal yang mesti dipahami adalah riset ilmiah itu terkait erat dengan studi-studi sebelumnya yang sudah ada, termasuk penyebutan atau istilah yang digunakan. Riset apapun itu, jika basisnya aja kajian akademis, maka penggunaan istilah harus merujuk pada penggunaan yang biasa atau umum digunakan. Jika pun ada istilah baru, maka peneliti harus bisa menjelaskan alasannya, dan kenapa penggunaan kata yang sudah ada atau biasa digunakan tidak bisa digunakan pada riset yang peneliti lakukan. Memang benar bahwa terdapat pelabelan negatif terhadap homoseksual yang menyebabkan mereka menjadi kelompok terstigma, tetapi bukan dengan istilah uncivilized behavior. Penggunaan istilah baru tentu boleh saja, tetapi istilah tersebut harus terlebih dahulu terverifikasi dengan baik dan diperjuangkan melalui publikasi di jurnal ilmiah yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Dalam publikasi Istiaji dkk mengenai uncivilized behavior pada homoseksual, selain kualitas penelitian yang perlu dipertanyakan, kredibilitas jurnal yang menerbitkannya juga patut dicurigai—mengapa artikel dengan kualitas seperti itu dapat diterbitkan. Jika istilah tersebut dianggap layak oleh para penulis dan kemudian diperkenalkan kepada orang lain, termasuk mahasiswa, akademisi, atau masyarakat umum, maka hal ini dapat menciptakan preseden buruk. Mengapa demikian? Karena dunia akademis atau keilmuan tidak berjalan secara individual, melainkan melibatkan komunitas atau masyarakat ilmiah yang saling menjaga dan memvalidasi penelitian yang dilakukan oleh sesama akademisi. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip kolegial.
Perlu diketahui juga bahwa jurnal-jurnal predator / akal-akalan ini dibuat untuk profit semata dengan tidak memperdulikan kualitas isi juga kecocokan fokus jurnal dengan karya ilmiah yang dipublikasikan. Misalnya saja publikasi dari Ahmar dkk (2018 ) dan Elfindri dkk (2015 ). Dua riset ini mengenai dosen di Indonesia terkait pemahaman mereka akan indeksasi database (Ahmar dkk, 2018) dan performa akademis (Elfindri dkk, 2015) dari sisi pengajaran dan riset. Keduanya dipublikasikan di jurnal yang katanya internasional dengan Bahasa inggris. Di luar dari cara menulis yang masih seperti Indonesia English, beberapa bagian masih ditemukan penggunaan Bahasa Indonesia, hal yang menurut saya tidak mungkin terjadi jika riset tersebut dipublikasikan di jurnal-jurnal yang kredibel, yang ketat dalam menseleksi dan mengecek artikel-ertikel yang masuk. Di samping itu, Ahmar dkk mempublikaskan risetnya mengenai Dosen di Indonesia pada Journal of Physics, dimana fokusnya pasti jauh berbeda sekali. Sesuai dengan subjeknya, seharusnya journal of physics hanya menerima riset-riset atau kajian-kajian yang berkenaan dengan fisika atau yang beririsan dengan isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketidaksesuaian antara fokus atau cakupan jurnal dengan isu riset yang dipublikasikan sering kali ditemukan pada jurnal-jurnal “akal-akalan.” Dalam beberapa kasus, bahkan terdapat publikasi yang sama sekali tidak relevan dengan fokus jurnal tersebut. Sebagai contoh, penelitian Tusan dkk. (2023 ) tentang ujaran kebencian dan berita palsu yang diterbitkan di Journal of Survey in Fisheries Sciences, atau penelitian Lahadalia dkk. (2024 ) membahas mengenai proses hilirisasi nikel di Indonesia dengan fokus pada aspek keberlanjutan (sustainability) dan keadilan (equity) yang dipublikasikan di Migration Letters. Jurnal-jurnal dengan fokus khusus umumnya memiliki batasan terhadap isu-isu yang dapat diterima untuk dipublikasikan. Sebagai contoh, dalam Journal of Social and Political Psychology , karena fokus utamanya adalah pada penelitian yang menggunakan perspektif sosial dan psikologi politik, riset yang lebih menitikberatkan pada psikologi individu atau kepribadian (personality) biasanya akan ditolak karena tidak sesuai dengan cakupan kajian jurnal tersebut.
ADVERTISEMENT
Artinya, dalam memilih jurnal, sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan indeksasinya—apakah terindeks Scopus atau tidak—tetapi juga memastikan kesesuaian topik riset dengan cakupan kajian jurnal tersebut. Masalahnya, mereka yang kualitas tulisannya diragukan namun sudah mendapatkan "penerimaan" dan merasa telah mempublikasikan risetnya di jurnal "bergengsi" sering kali merasa memiliki kompetensi yang memadai. Hal ini kemudian diikuti oleh banyak pihak, baik mahasiswa maupun akademisi lainnya, yang meniru praktik serupa. Konsekuensinya, jadi wajar banyak yang mempertanyakan kualitas akademisi Indonesia bahkan mencurigakan praktek-praktek akal-akalan yang mereka lakukan (lihat misalnya Orfila, 2023 ).
Waktunya Sadar dan Berbenah
Dari paparan di atas dan contoh-contoh kasus yang diberikan, menjadi jelas bahwa masifnya publikasi di jurnal-jurnal yang terindikasi predator—yang karakteristiknya menyerupai jurnal "akal-akalan"—memiliki dampak yang berpotensi merusak perkembangan ilmu pengetahuan bahkan ekosistem ilmiah di Indonesia. Ditemukannya metode atau analisis ilmiah yang kurang tepat, penggunaan klaim atau istilah tanpa dasar yang kuat, serta penulisan ilmiah yang tidak cermat dengan kualitas keterbacaan rendah, jika dibiarkan dan dinormalisasi, hanya tinggal menunggu waktu sebelum dunia akademis Indonesia benar-benar kehilangan kredibilitas dan kepercayaannya di mata komunitas ilmiah internasional. Masalah-masalah ini seharusnya menjadi panggilan untuk kita semua agar mulai berbenah dan mengakui bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam dunia akademis kita. Saya pikir, penting juga bagi kita untuk belajar dari negara lain mengenai cara mereka mengelola perguruan tinggi dan membangun komunitas ilmiah yang baik. Atau bahkan mendengar langsung dari dosen-dosen Indonesia mengenai dunia akademis di Indonesia, apa yang mereka alami dan seperti apa menurut mereka dunia akademis yang sehat.
ADVERTISEMENT