Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Masalah Dasar Pendidikan Tinggi di Indonesia: Perlunya Membuka Cara Pandang
2 Mei 2023 6:16 WIB
Tulisan dari Idhamsyah Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aturan birokrasi yang sedemikian kompleks dan besarnya tugas administrasi Dosen adalah suatu hal umum yang banyak orang ketahui. Seringkali, waktu Dosen habis untuk mengurusi hal-hal administratif daripada memenuhi tanggung jawab utamanya dalam mendidik, meneliti, maupun mengembangkan serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya aturan administratif yang membebani, aturan mengenai jabatan dosen di Indonesia juga tidak bisa tersinkronisasi dengan jabatan pada kampus-kampus di luar negeri.
Seorang Guru Besar atau Profesor dari kampus di luar negeri, tidak serta-merta dapat membawa jabatan profesornya jika ingin pindah ke Indonesia dan bekerja di pendidikan tinggi.
Di Indonesia, untuk menjadi profesor, akademisi harus memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan jabatan Lektor (dua tingkat di bawah Profesor) sebagai pilihan tertinggi. De jure, inilah yang berlaku di Indonesia.
Namun sayangnya, oleh pembuat regulasi, dalam hal ini Dikti Ristek dan Kemendikbud, aturan untuk Dosen diterapkan secara tidak konsisten. Contoh saja, di Indonesia usia pensiun Dosen dengan jabatan Guru Besar adalah 70 tahun, sementara usia pensiun Dosen non-Guru Besar maksimal adalah 65 tahun.
ADVERTISEMENT
Aturan tertulis jelas sekali menerangkan hal tersebut, namun fakta lapangan menunjukkan orang dengan usia lebih dari 70 tahun dapat diangkat sebagai Guru Besar. Ini sekadar salah satu contoh di antara contoh-contoh lainnya di mana beban administratif sepertinya tidak berlaku pada orang-orang tertentu.
Seringkali Dosen mengeluh ketika harus terbelenggu dengan urusan administrasi. Kekecewaan Dosen akhirnya sudah tidak terbendung ketika Dikti Ristek salah menafsirkan aturan baru Kemenpan RB nomor 1 tahun 2023, di mana Dosen harus memasukkan kembali rekam/bukti kinerja mereka selama ini ke dalam aplikasi baru.
Keputusan ini pun akhirnya dikoreksi bahwa hal tersebut hanya berlaku untuk Dosen ASN, sementara Dosen non-ASN tetap pada aplikasi yang sudah ada. Apa yang diyakini oleh Menpan RB dan Dikti Ristek, bahwa apa yang mereka lakukan saat ini adalah upaya untuk memudahkan Dosen dalam segi administrasi. Apakah benar demikian?
ADVERTISEMENT
Cara Pandang Keliru
Hal utama yang perlu dipertegas terlebih dahulu adalah bahwa adanya cara pandang keliru dari Dikti Ristek kepada penyelenggara pendidikan tinggi dan dosen.
Pada konferensi Pers KIKA tanggal 19 April menanggapi kekeliruan Dikti Ristek dalam memahami Kemenpan RB nomor 1 tahun 2023, kekeliruan cara pandang Dikti Ristek dalam persolan isu pendidikan tinggi pun turut diangkat.
Di antara kekeliruan cara pandang yang diangkat adalah: 1) Dikti Ristek yang tidak ubahnya memposisikan layaknya seperti Rektor dan/atau Direktur SDM bagi universitas seluruh Indonesia, dan 2) Dosen diperlakukan seperti bawahan langsung sehingga segala kinerja Dosen wajib dilaporkan kepada Dikti Ristek.
Sebagai mitra, penyelenggara pendidikan tinggi bukan sub unit dari Dikti Ristek. Penyelenggara pendidikan tinggi adalah mereka yang bekerja berdasarkan mekanisme yang telah dibangun, jadi mereka bukan bekerja berdasarkan tugas atau “perintah” dari Dikti Ristek.
Dosen pun demikian. Dosen adalah akademisi atau ilmuwan yang bekerja pada institusi pendidikan tinggi. Aturan atau kontrak kerja dibangun antara Dosen dan Pendidikan Tinggi, bukan antara Dosen dan Dikti Ristek.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, karena pun tidak ada hubungan kerja yang dibuat secara tertulis antara Dosen dan Dikti Ristek, tidak tepat jika Dikti Ristek memberikan “perintah” langsung ke Dosen.
Hal ini sangat jelas disampaikan dan dituliskan dalam konferensi pers KIKA. Namun Dikti Ristek merasa tidak memiliki kekeliruan, bahkan dalam respons-nya yang dipetik oleh Tempo , Dirjen Dikti Ristek Nizam meminta Dosen untuk tenang dalam menyikapi, dan menurutnya sesuatu yang sedang dilakukan Pemerintah bertujuan memberikan kemudahan kepada Dosen.
Ahli pada Satu Bidang Bukan Berarti Ahli pada Bidang Lain
Melihat respons petinggi-petinggi Dikti Ristek mengenai keluhan Dosen dan kritik terhadap regulasi yang dibuat mengenai Pendidikan Tinggi, saya menjadi ragu apakah petinggi-petinggi Dikti Ristek adalah orang-orang yang ahli dalam urusan manajemen pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar orang-orang Dikti Ristek mungkin adalah akademisi, namun apakah mereka ahli pada bidang manajemen pendidikan tinggi adalah hal yang perlu dipertanyakan.
Riset mengenai masalah-masalah di pendidikan tinggi, termasuk manajemen pendidikan tinggi adalah kajian tersendiri. Di luar negeri, isu mengenai pendidikan tinggi dijadikan isu khusus yang bahkan dapat menjadi jurusan tersendiri pada program S3.
Dalam publikasi ilmiah, bahkan ada jurnal-jurnal khusus yang dibuat untuk mengakomodir isu-isu mengenai pendidikan tinggi. Tengok saja jurnal Studies in Higher Education , Higher Education , atau Research in Higher Education .
Ini adalah jurnal-jurnal bergengsi yang fokus pada isu pendidikan tinggi. Namun sayangnya, jika kita mencari dengan kata kunci Indonesia saja, publikasi yang mengangkat isu pendidikan tinggi di Indonesia masih minim sekali jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Belajar Menerima Kritik dan Membuka Diri
Telah begitu banyak kritik yang ditujukan pada Dikti Ristek, namun sepertinya kritik-kritik ini dianggap angin lalu saja. Jika ini terus terjadi, akan sulit berharap adanya perubahan yang lebih baik pada sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Ada baiknya apabila Dikti Ristek berupaya membuka diri guna memahami lebih dalam apakah sistem yang ada saat ini telah tepat. Baik dimulai dari penggalian ide dan saran langsung dari para Dosen maupun dengan melakukan perbandingan sistem dengan negara lain.
Jika didapati sistem pendidikan tinggi di Indonesia berbeda sendiri, sudah selayaknya kita bertanya-tanya apakah sistem yang dibangun berdasarkan paradigma yang tepat. Perlu dicatat bahwa reaksi yang defensif atas masukan dan kritik malah akan mempersulit cara kita menyelesaikan masalah pendidikan tinggi di Indonesia.
Hal yang perlu dimiliki juga adalah rasa empati, di mana Dikti Ristek mencoba memposisikan dirinya sebagai Dosen atau akademisi. Segala kritik yang ditujukan Dikti Ristek tujuannya adalah untuk mencapai pendidikan tinggi lebih baik. Jika tim Dikti Ristek memiliki pandangan yang seperti ini, saya yakin mereka akan jadi lebih terbuka dengan kritik.
ADVERTISEMENT
Jika Dikti Ristek mau membuka diri, memiliki rasa ingin tahu, terbuka terhadap kritik, memiliki rasa empati, saya yakin ini lebih memberikan dampak yang positif terhadap kemajuan pendidikan tinggi. Dan mungkin tidak perlu muncul kejadian seperti Galileo di Indonesia.
Galileo berhasil mengubah paham Geosentris–bumi sebagai pusat alam semesta–, menjadi Heliosentris –matahari sebagai pusat di mana bumi juga memutari matahari.
Untuk bisa mengubah paradigma tersebut, Galileo menerima banyak pertentangan, termasuk dari pihak Gereja yang saat itu sangat berkuasa. Dengan membuka cara pandang Dikti Ristek, saya yakin kejadian seperti Galileo tidak perlu terulang di Indonesia.