Konten dari Pengguna

Membenahi Paradigma Keliru Pendidikan Tinggi di Indonesia

Idhamsyah Eka Putra
Idhamsyah Eka Putra adalah dosen di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia dan Co Editor-in-Chief di Journal of Social and Political Psychology. Area riset yang didalami mengenai Psychology of good and Evil dan hubungan antarkelompok.
16 Mei 2023 17:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Idhamsyah Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika berdiskusi mengenai Pendidikan Tinggi (PT) di Indonesia, maka dengan mudah kita akan menemukan banyak paradoks. Di antara paradoks tersebut adalah isu mengenai kekurangan Guru Besar di Indonesia; salah satu pemicunya karena masih minimnya jumlah dosen yang bergelar Doktor. Anehnya, di samping berita mengenai kekurangan Guru Besar, belakangan ini juga marak pemberian (baca: obral) Guru Besar kepada mereka yang rekam jejak keilmuannya mungkin bisa dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Problem lain adalah mengenai keruwetan birokrasi Dosen yang mempersulit proses kenaikan jabatan Dosen. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa menjadi Dosen di Indonesia artinya melakukan segala sesuatu dari A sampai Z yang menuntut Dosen harus multitasking mengerjakan banyak hal dalam sekali waktu.
Namun di tengah-tengah keruwetan birokrasi tersebut, ada saja kabar orang-orang tertentu seperti mendapat kemudahan atau privilege dalam pengurusan jenjang karier dosen menuju Guru Besar. Dari dua gambaran yang diberikan, wajar jika banyak dosen bertanya-tanya sebenarnya aturan yang dibuat untuk keuntungan siapa.

Kekeliruan paradigma

Saya yakin banyak yang memandang bahwa memang ada masalah dengan sistem PT kita. Namun hal yang mendasar yang saya lihat, sepertinya kita berangkat dan mengembangkan sistem atau aturan PT dan dosen dari paradigma yang belum tepat.
ADVERTISEMENT
Dalam tata cara pengangkatan Guru Besar (GB) saja, alih-alih memfokuskan penilaian pada rekam jejak dan pengalaman, syarat dasar Dosen bisa diangkat menjadi Guru Besar adalah memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atau Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) dan Sertifikasi Dosen. Syarat dasar NIDN dan Sertifikasi Dosen ini yang menjadikan mekanisme perekrutan Guru Besar di Indonesia menjadi unik sendiri sehingga Dosen (yang telah menjabat GB) yang bekerja di PT di Luar Negeri, secara sistem tidak mungkin diangkat dan langsung disetarakan jabatannya. Jadi sistem mengenai GB di Indonesia tidak tersinkronisasi dengan sistem GB di negara-negara lain.
Tentu saja ini berbeda dengan mekanisme pada PT di negara-negara lain. Suatu PT di negara lain, jika kekurangan GB, dengan mudah mereka akan buka lowongan adanya posisi jabatan GB yang perlu diisi. Informasi lowongan posisi GB pun tinggal diiklankan saja pada bursa lowongan kerja, misal ke academicpositions.com. Pada aturan yang sekarang, PT di Indonesia hampir tidak mungkin melakukan hal tersebut, apalagi mekanisme pengangkatan GB masih dipegang wewenangnya oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Lalu mengenai relasi Dikti Ristek dan PT di Indonesia, pun juga patut dipertanyakan. Sebenarnya hubungan PT dan DIKTI Ristek seperti apa, sebagai mitra atau sekadar perpanjangan tangannya Dikti Ristek? Idealnya tentu saja mitra yang sejajar posisinya dengan Dikti Ristek. Tetapi pada praktiknya, PT di Indonesia itu tidak ubahnya seperti sub unit kerja Dikti Ristek. Ini tergambar jelas pada pengembangan program PT.
Sebagai contoh, program Kampus Merdeka. Apa dan bagaimana program Kampus Merdeka ditentukan oleh Pemerintah untuk diterapkan pada PT di Indonesia. Dalam membangun program tersebut, seolah-olah pemerintah lah yang memiliki kampus seluruh Indonesia.
Seharusnya dan idealnya ide pemerintah ditempatkan sebagai saran dan kampus memiliki otonomi dalam mengembangkan dan menjalankan program, sesuai dengan visi dan misi masing-masing PT. Hal yang harus diingat adalah kampus bukanlah milik Menteri, Dikti Ristek, ataupun Presiden, sehingga Menteri juga Presiden tidak bisa memaksakan sesuatu yang mereka kembangkan untuk dijalankan oleh Kampus, kecuali kampus yang mereka miliki sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya belum bisa memahami apa yang dipikiran Dikti Ristek ketika kewajiban publikasi ilmiah, terutama di level internasional, diberlakukan untuk semua kampus. Dosen dan mahasiswa pascasarjana, entah dari kampus yang memiliki peringkat nasional tertinggi maupun terendah, dituntut memiliki publikasi ilmiah. Tuntutan ini tentu saja sangat keliru. Karena seharusnya kampus itu sendirilah yang menentukan target atau orientasinya seperti apa, mengingat mereka sendirilah yang lebih mengenal kapasitas sumber daya yang ada di dalam kampus.
Menjadi wajar jika suatu kampus ingin fokus berkompetisi di tingkat lokal atau nasional saja. Atau ingin berkonsentrasi lebih besar pada pengajaran saja atas pertimbangan SDM yang belum menunjang jika ingin difokuskan menjadi kampus riset. Pilihan orientasi seperti itu umum juga ditemui di negara-negara yang sistem pendidikannya sudah maju.
ADVERTISEMENT
Namun di Indonesia, aturan mengenai publikasi ilmiah dipukul rata, berlaku untuk semua kampus dan Dosen. Mengingat kualitas dan kapasitas kampus berbeda-beda, termasuk juga kualitas Dosen, menjadi wajar jika muncul tren penggunaan jasa orang lain untuk menyelesaikan karya ilmiah, yang kita kenal sekarang sebagai Joki. Kompas sendiri telah mengangkat isu per-Jokian ini beberapa kali.
Praktik menggunakan joki ini dikenal juga dengan sebutan “contract cheating” yaitu mereka yang menggunakan jasa “pihak ketiga” di mana pihak ketiga ini mungkin diupah untuk menyelesaikan suatu karya ilmiah (Heiyati dkk., 2023). Karena sebutannya saja sudah contract cheating, jadi praktik-praktik yang menggunakan joki ini masuk dalam kategori academic misconduct.
Karena tugas administrasi yang sedemikian besar dan ditambah tuntutan publikasi ilmiah, banyak akademisi yang membenarkan penggunaan jasa Joki sebagai salah satu solusi logis. Di antara mereka yang menggunakan jasa Joki ada yang mempertanyakan sisi etisnya, namun kebanyakan mereka merasa dirinya lebih sebagai korban dan lebih menyalahkan Dikti Ristek atas aturan yang mereka buat (Hanami dkk., 2023).
ADVERTISEMENT
Publikasi ilmiah internasional Indonesia memang meningkat, namun sebagian besar publikasinya ada di jurnal-jurnal yang dipertanyakan reputasinya, dengan kualitas artikel yang masuk dalam kategori rendah. Atas fenomena ini, alih-alih reputasi Indonesia dalam hal publikasi ilmiah meningkat, namun justru hal ini dapat merugikan bangsa. Indonesia akan dikenal sebagai negara yang produktif menghasilkan karya-karya ilmiah dengan kualitas rendah.

Membangun sistem dari paradigma yang tepat

Saya percaya bahwa problem dasar PT di Indonesia akan selalu muncul jika paradigma yang keliru tidak diubah. Mengubah paradigma atau cara pandang memang tidak mudah, tapi saya yakin hal ini dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana.
Pertama, tempatkan kampus sebagai mitra yang sejajar dengan Dikti Ristek. Buka kesempatan kampus untuk menentukan sendiri orientasi pengembangan dan keilmuannya. Berikan kampus wewenang atau otonomi dalam menentukan arah kampus yang ingin dibangun: apakah memang lebih menitikberatkan pada penelitian, pengajaran, atau hal yang lebih aplikatif. Target dan tujuan pun menjadi kewenangan kampus, apakah ingin berkonsentrasi pada tingkat global atau lokal saja.
ADVERTISEMENT
Lalu mengenai dosen. Perlakukan mereka seperti akademisi, bukan sebagai petugas administratif. Limpahkan tugas-tugas administratif yang sifatnya teknis kepada staf penunjang.
Menerjemahkan Tridharma Perguruan Tinggi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian apakah harus berlaku untuk semua dosen? Haruskah proporsional dilimpahkan pada satu dosen? Karena sebutannya saja “Tridharma Perguruan Tinggi”, masuk akal jika kampus memiliki tafsir sendiri bagaimana mereka ingin melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi. Misalnya dengan menugaskan dosen khusus untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran atau penelitian.
Perubahan yang lebih baik menjadi mungkin bila Dikti Ristek mau membuka diri dan mulai bertanya-tanya mengenai dasar cara pandang. Jika hal ini tertutup bagi Dikti Ristek, maka tidak perlu kita bermimpi PT Indonesia akan berkembang dan diakui kualitasnya.
ADVERTISEMENT