Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Revisi Sejarah: Politik Wacana, Kuasa, atau Narasi Alternatif?
7 Mei 2025 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Idris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Revisi sejarah Indonesia kembali mengemuka sebagai agenda negara. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dalam sejumlah pernyataannya menyatakan bahwa sejarah nasional Indonesia “terlalu lama didominasi satu versi, terutama sejak Orde Baru,” dan bahwa "pemerintah akan mengembalikan sejarah yang lebih objektif, dengan banyak versi, bukan satu versi saja.” Pernyataan ini, pada tataran wacana, tampak sebagai angin segar: mengakui dominasi narasi tunggal dan membuka kemungkinan narasi alternatif.
ADVERTISEMENT
Namun, revisi sejarah tidak pernah lepas dari politik representasi dan kuasa. Ketika negara mengambil peran sentral dalam “meluruskan sejarah,” maka pertanyaan fundamental yang perlu diajukan adalah: siapa yang berhak menentukan versi mana yang objektif? Dan apakah objektivitas yang dimaksud merujuk pada prinsip-prinsip historis atau kepentingan ideologis kekuasaan?
Dalam tulisan ini, saya menguraikan tiga kekhawatiran publik terkait rencana revisi sejarah ini alih-alih memuat periodesasi masa pra-sejarah, era kolonial hingga reformasi, namun ada potensi kekhawatiran diantaranya berkaitan dengan risiko pemutihan kekerasan negara, indikasi politisasi narasi sejarah demi kepentingan kekuasaan, serta dampaknya terhadap dunia pendidikan yang berisiko direduksi menjadi aparatus ideologis.
Revisi atau Pemutihan?
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam kesempatan berbeda menyebut bahwa “banyak tokoh berjasa, yang tidak diberi tempat dalam sejarah nasional. Kita ingin mengoreksi itu.” Secara implisit, pernyataan ini membuka ruang untuk mengangkat tokoh-tokoh yang selama ini termarjinalkan. Akan tetapi, dalam konteks politik saat ini, upaya semacam ini juga dapat dibaca sebagai bentuk rehabilitasi simbolik terhadap kekuatan sosial-politik tertentu yang memiliki kedekatan dengan pemerintahan saat ini.
ADVERTISEMENT
Risikonya terletak pada pemutihan sejarah yakni penghapusan atau pengaburan kekerasan negara yang terdokumentasi, seperti pembantaian massal 1965, operasi militer di Timor Timur dan Papua, maupun kasus penghilangan paksa 1997–1998. Dalam upaya “meluruskan” sejarah, justru berpotensi terjadi deformasi: bagian yang dianggap “mengganggu harmoni” dihapus atau direduksi, sementara figur-figur kontroversial ditampilkan sebagai “pahlawan alternatif”.
Dalam kerangka Michel Foucault, sejarah tidak berdiri di luar kekuasaan. Seperti yang ia kemukakan dalam Power/Knowledge (1980), yang disebut “pengetahuan” adalah hasil dari relasi kuasa. Narasi sejarah, dengan demikian, adalah arena konstruksi “rezim kebenaran” (regime of truth) yakni struktur naratif yang dilegitimasi oleh institusi dominan dan dijadikan rujukan tunggal atas apa yang sah untuk diingat.
Politik Narasi dan Rehabilitasi Kuasa
ADVERTISEMENT
Revisi sejarah ini juga menunjukkan potensi politisasi narasi historis demi membangun legitimasi aktor politik masa kini. Ketika negara melalui kementerian kebudayaan berusaha menata ulang ingatan kolektif, maka ada kecenderungan bahwa masa lalu akan direkonstruksi bukan berdasarkan kajian kritis, melainkan berdasarkan preferensi politik kontemporer.
Narasi sejarah yang dimaksud bisa menjadi “teknologi kekuasaan” (Foucault, Discipline and Punish, 1977), yakni mekanisme untuk mengarahkan subjektivitas rakyat: siapa yang layak dikenang, siapa yang layak disingkirkan dari ingatan publik. Dalam hal ini, sejarah menjadi alat simbolik untuk membentuk loyalitas politik dan membungkam kritik terhadap masa lalu yang problematik.
Jika yang dimaksud adalah penyesuaian metodologis, tentu sangat bisa dibenarkan. Namun jika konteks kekinian merujuk pada koalisi politik dan agenda ideologis tertentu, maka yang terjadi adalah political reengineering of memory.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sebagai Arena Produksi Subjek
Perubahan narasi sejarah tentu akan merembes ke kurikulum pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional, buku pelajaran sejarah memiliki peran strategis dalam membentuk struktur pemahaman generasi muda terhadap bangsa dan negara.
Foucault menyebut pendidikan sebagai bagian dari sistem kelembagaan dan diskursif yang berfungsi membentuk tubuh dan pikiran warga negara. Jika sejarah diajarkan sebagai dogma, bukan sebagai ruang dialektika, maka yang terbentuk adalah subjek yang patuh, bukan warga yang kritis.
Dalam konteks Indonesia, sejarah Orde Baru telah menunjukkan bagaimana kurikulum bisa digunakan untuk mengabsolutkan kebenaran negara. Pencantuman “versi resmi” G30S/PKI, penghapusan suara korban, dan pelabelan ideologi tertentu sebagai musuh negara telah membentuk generasi yang mewarisi trauma sekaligus kebisuan sejarah.
ADVERTISEMENT
Revisi yang dikontrol oleh kekuasaan berisiko mengulangi pola ini. Alih-alih membebaskan, pendidikan justru bisa kembali menjadi medium dominasi. Oleh karena itu, proses revisi sejarah harus melibatkan aktor-aktor independen: sejarawan lintas institusi, komunitas korban, arsiparis, dan publik sipil.
Revisi yang Emansipatoris
Revisi sejarah hanya akan berdampak positif jika ia diarahkan untuk membuka ruang keberagaman narasi, bukan mengganti narasi dominan lama dengan narasi dominan baru. Dalam pengertian ini, sejarah perlu dijalankan dalam kerangka hermeneutik kritis yakni menyadari bahwa setiap versi sejarah adalah hasil konstruksi yang perlu dibuka, diuji, dan dipertanyakan.
Mengutip Paul Ricoeur, sejarah bukan sekadar peristiwa yang terjadi, tetapi bagaimana kita memaknai dan mengingat peristiwa itu dalam narasi bersama. Proses ini tidak mungkin dimonopoli oleh negara, sebab ingatan kolektif adalah milik publik.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Menteri Fadli Zon membuka diskursus penting soal dominasi narasi sejarah di Indonesia. Namun, sebagai warga yang sadar sejarah, kita perlu memastikan bahwa revisi ini bukan menjadi jalan menuju rekonstruksi kekuasaan yang otoriter. Sejarah tidak untuk diluruskan, tapi untuk dibuka.
Sejarah yang sehat bukan yang steril dari konflik, tapi yang memberi ruang bagi konflik itu dibaca dan dimaknai ulang secara terbuka. Di tengah ancaman politik simbolik dan normalisasi kekuasaan, tanggung jawab utama kita sebagai akademisi dan warga negara adalah menjaga sejarah tetap sebagai arena etik dan politik yang kritis bukan sekadar catatan masa lalu yang nyaman bagi yang sedang berkuasa.