Konten dari Pengguna

Perempuan Kangean: antara Penghormatan dan Penindasan

Dedi Sulaiman Rawi
Seorang lulusan magister sosiologi Universitas Airlangga yang sedang berjuang untuk kembali menjadi mahasiswa.
2 Juni 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Sulaiman Rawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi patriarki | Sumber gambar: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi patriarki | Sumber gambar: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Topik tentang perempuan memang selalu menarik untuk dibicarakan. Bukan hanya tentang keindahan dan kecantikannya, namun juga tentang bagaimana mereka menjalani hidup serta tantangan-tantangan yang harus mereka hadapi terutama di tengah-tengah masyarakat yang masih memegang erat budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Budaya ini mungkin sudah cukup sering dibahas sebagai kritik atas segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, karena di banyak kelompok masyarakat di belahan dunia ini tak sedikit yang menganut sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas tertinggi. Namun, tulisan ini secara khusus akan membahas tentang budaya patriarki di Pulau Kangean dan berbagai ketidakadilan terhadap perempuan.
Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya tentang relasi antara laki-laki dan perempuan, antara suami dengan istri. Sudah tepatkah relasi laki-laki dan perempuan atau suami dan istri yang saya saksikan sejak kecil? Benarkah seorang suami harus diposisikan tak ubahnya seorang raja? Apakah semua pekerjaan domestik hanya layak dikerjakan oleh perempuan dan tak layak untuk laki-laki?
ADVERTISEMENT
Saya ingin memulainya dengan topik yang mungkin bagi sebagian orang masih dianggap tabu yakni seks. Di Pulau Kangean, berhubungan badan (sanggama) disebut “abini-binian“, asal kata “bini” yang berarti istri. Dalam Bahasa Kangean sehari-hari, penggunaan akhiran -an seringkali ditujukan untuk kata benda (nomina) seperti pengajian, tahlilan, lamaran, dan lain sebagainya. Akhiran -an juga biasanya digunakan untuk menunjukkan permainan seperti, aerrem-erreman (main petak umpet), abal-balan (main bola), aroma-romaan (main rumah-rumahan), aberkat-berkatan (main lari-larian), dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan dalam Bahasa Kangean hampir setiap kata kerja yang mendapat akhiran -an bermakna permainan. Dari sini terlihat jelas bahwa dalam konteks berhubungan badan perempuan diibaratkan sebuah benda atau bahkan permainan semata. Disadari atau tidak penggunaan istilah abini-binian menggambarkan bahwa perempuan hanya dijadikan sebagai objek seksual laki-laki, seolah aktivitas tersebut hanya mementingkan kepuasan laki-laki tanpa memperhitungkan dari sisi perempuan. Istilah abini-binian juga mengidentifikasikan perempuan sebagai makhluk inferior.
ADVERTISEMENT
Cara pandang laki-laki yang cenderung melihat perempuan sebagai objek seksual semata memungkinkan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, seperti intimidasi seksual atau bahkan pemaksaan hubungan badan. Apabila tindakan tersebut dilakukan dalam ikatan pernikahan maka itu termasuk marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan. Karena aktivitas hubungan badan memang sejatinya harus melalui sexual consent atau persetujuan.
Terkait hal ini bahkan telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) juga dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU tersebut menyatakan bahwa dalam konteks berhubungan badan tidak boleh ada unsur paksaan. Namun, saya tidak yakin bahwa setiap suami yang ingin melakukan hubungan badan akan menanyakan kesediaan istrinya terlebih dahulu, yang dilakukan seringkali hanya meminta untuk dilayani sebagai bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang istri.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan terhadap perempuan juga terjadi pada kasus yang melibatkan laki-laki dan perempuan seperti perselingkuhan. Pada setiap kasus perselingkuhan, perempuan seringkali dijadikan sebagai pihak yang paling bersalah, perempuan pula yang mendapatkan sanksi sosial lebih berat. Sedangkan bagi pihak laki-laki ada semacam pemakluman, laki-laki berselingkuh dilihat sebagai sesuatu yang wajar dan biasa.
Saya tidak membenarkan perselingkuhan, saya sepakat bahwa perselingkuhan merusak janji suci pernikahan. Namun, bagaimana bisa pada kasus yang sama muncul perlakuan yang berbeda. Standar ganda semacam ini tentu hanya mungkin terjadi ketika nilai-nilai dari budaya patriarki sudah mengakar kuat di masyarakat.
Pada konteks yang lebih sederhana, ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan itu juga terjadi. Dalam tradisi Masyarakat Kangean, pada setiap hajatan biasanya terdapat dua jenis undangan yakni undangan tertulis dan tidak tertulis. Untuk menyampaikan sebuah undangan yang tak tertulis (lisan) seringkali dilakukan oleh laki-laki. Saya selalu bertanya kenapa harus laki-laki? Apakah jika perempuan yang menyampaikan pesan akan mengubah isi pesan?
ADVERTISEMENT
Jawaban yang saya peroleh selalu sama “ma’ olle parlo” atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berarti “agar undangannya terasa lebih penting”. Jadi ketika undangan disampaikan oleh perempuan maka itu dianggap kurang penting. Tindakan semacam ini dapat dikatakan sebagai bentuk subordinasi terhadap perempuan, di mana perempuan dianggap memiliki peran dan posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini tidak lain merupakan salah satu produk dari budaya patriarki di mana budaya tersebut memang cenderung menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
Mungkin bagi sebagian orang hal itu tidak lebih dari sekadar pembagian peran, bahwa laki-laki dan perempuan memang memiliki peran yang berbeda. Saya percaya bahwa manusia sebagai makhluk sosial memang harus berbagi peran, manusia perlu untuk bekerja sama. Namun, bukankah konsep kerja sama itu sendiri justru menghalangi seseorang untuk merasa lebih penting dibanding yang lain.
ADVERTISEMENT
Tentang pembagian peran ini juga masih terjadi ketidakadilan terhadap perempuan, terutama yang menyangkut pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan anak, seringkali perempuan berada pada posisi yang dirugikan. Perempuan dalam hal ini mendapat double burden atau beban ganda. Seorang istri yang bekerja di sektor publik tetap diharuskan untuk mengurus rumah, menyiapkan sarapan suami, dan mengurus anak. Sementara seorang suami dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Hal ini sudah menjadi standar nilai di masyarakat.
Seorang suami yang sering terlihat mengurus anaknya yang masih bayi atau balita maka akan dilihat sebagai bukti ketidakcakapan seorang istri. Seorang suami yang kedapatan mencuci bajunya sendiri tidak dilihat sebagai bentuk kerja sama, melainkan istri yang tidak berguna. Ketika seorang anak terlihat compang-camping tak terurus yang ditanyakan pertama kali “kemana ibunya?”. Seolah-olah memandikan dan mengurus anak hanya tugas seorang istri. Konsep kerja sama dalam rumah tangga dilupakan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Pada ranah yang lebih eksistensial, ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dengan perempuan bisa dengan mudah dijumpai. Seorang suami bebas berkumpul dengan teman-temannya, suami bisa berada di tempat tongkrongan bahkan hingga larut malam meskipun tidak sedang mengurus pekerjaan. Sementara apabila istri melakukan hal yang sama maka akan dikategorikan sebagai istri yang tidak nurut suami bahkan cenderung dilihat sebagai perempuan nakal.
Tentu ada alasan kenapa seorang suami tidak harus berada di rumah terus menerus. Alasan yang sering saya dengar ialah untuk menghilangkan stres atau untuk membangun relasi. Alasan lain yang muncul ialah seorang suami merasa tidak masalah menghabiskan waktu di tempat tongkrongan asal tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai suami.
Pertanyaannya kemudian apakah stres hanya bisa dirasakan laki-laki? Apakah jika seorang istri sudah menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai istri lantas bisa dengan bebas keluar, berkumpul dengan teman-temannya hingga larut malam? Tentu tidak. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan sebagai manusia memiliki kebutuhan yang sama, kebutuhan yang tidak hanya makan dan minum.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kangean percaya bahwa kehormatan seorang laki-laki terletak pada polah tingkah perempuan atau istri. Atas dasar inilah perempuan tidak diberikan kebebasan sebagaimana laki-laki dengan dalih untuk menjaga kehormatan perempuan.
Namun, bukankah penghormatan terhadap perempuan itu justru dengan tidak memposisikannya di bawah laki-laki. Tidakkah perempuan akan lebih merasa terhormat ketika eksistensinya sebagai manusia dihargai. Bahwa perempuan juga perlu didengar dan diterima sebagai makhluk yang dapat berpikir, tidak sekadar makhluk yang berada di bawah kendali laki-laki atau suami.
Maka, perlu kiranya untuk berpikir ulang benarkah perlakuan kita terhadap perempuan selama ini merupakan bentuk penghormatan atau justru penindasan.