Konten dari Pengguna

Perpanjang Masa Jabatan Kepala Desa atau Evaluasi UU Desa?

Dedi Sulaiman Rawi
Seorang lulusan magister sosiologi Universitas Airlangga yang sedang berjuang untuk kembali menjadi mahasiswa.
2 Februari 2023 13:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Sulaiman Rawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa dari Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Massa dari Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Pertengahan Januari lalu, ribuan kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa.
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa telah diatur masa jabatan kepala desa selama enam tahun dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan. Artinya seorang kepala desa dapat memimpin hingga 18 tahun. Namun, Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menilai perlu adanya perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan tiga periode.
Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan lahirnya usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini adalah ketegangan setelah pemilihan kepala desa (pilkades) yang membutuhkan waktu rekonsiliasi cukup lama. Kondisi ini diklaim menyebabkan pemerintahan desa tidak efektif, pembangunan tidak maksimal, dan terhambatnya berbagai program kerja desa.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa ketegangan di tengah masyarakat akibat pembelahan saat pilkades pasti ada mengingat desa merupakan komunitas kecil yang memungkinkan terjadinya gesekan-gesekan antar warga.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah kondisi demikian selalu berdampak buruk terhadap pemerintahan desa? Apakah pihak-pihak atau calon kepala desa yang kalah selalu menghalangi pembangunan di desa?
Yang harus kita pahami bahwa pola interaksi masyarakat pedesaan berbeda dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat pedesaan secara sosiologis memiliki pola interaksi yang mengutamakan kerukunan, kebersamaan, dan gotong royong. Emile Durkheim menyebutnya solidaritas mekanik.
Karenanya tidak mengherankan apabila kepala desa terpilih masih bisa duduk bersama dengan para lawannya saat pilkades, di acara-acara warga seperti pernikahan, kematian, tahlilan, juga di tempat-tempat ibadah.
Perlu juga diingat, dalam pemilihan kepala desa seorang calon tidak diusung oleh partai politik. Karenanya sebagian pihak terutama calon yang kalah sering kali menjadi semacam oposisi, yang mana dalam konteks demokrasi hal itu merupakan suatu kewajaran dan sah-sah saja.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, setiap pemerintahan dari tingkat paling tinggi (presiden) hingga yang terendah (kepala desa) perlu adanya opisisi atau setidaknya pihak yang berseberangan agar pemerintahan tidak absolut dan tetap berimbang.
Blessing in disguise, pihak yang berseberangan ini sering kali memainkan peran sebagai social control atau pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan di desa.
Maka, ketegangan pascapilkades yang dijadikan dasar usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini rasa-rasanya tidak cukup logis, tidak mewakili masyarakat, bahkan terkesan sarat akan kepentingan segelintir orang atau kelompok.
Selain tidak masuk akal, usulan perpanjangan masa jabatan ini juga dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip demokrasi tentang pembatasan kekuasaan. Demokrasi memungkinkan terjadinya sirkulasi elite sesingkat-singkatnya. Konstitusi pun mengatur pembatasan kekuasaan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, melindungi harkat dan martabat manusia, serta untuk kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Belajar dari sejarah, kekuasaan yang terlalu lama kerap kali melahirkan kejumudan, otoriter, bahkan diktator.

Evaluasi terhadap Undang-Undang Desa, Perlukah?

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang Desa, untuk pertama kalinya pada tahun 2015 setiap desa mendapat kucuran dana yang tidak sedikit melalui Dana Desa (DD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut diharapkan agar dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Melalui dana desa ini pemerintah desa diberikan keleluasaan untuk dapat mengatur kewenangannya sendiri. Oleh karena itu, dengan adanya dana desa ini semestinya pemerintah desa dapat memaksimalkan berbagai potensi yang desa itu miliki. Misalnya, dengan mengembangkan pertanian, kerajinan tangan, desa wisata, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Tujuan besar ini tentu bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengatasi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan. Hal ini juga menjadi semacam upaya modernisasi pedesaan di mana pelayanan publik berjalan dengan baik, infrastruktur bagus, pendidikan meningkat, serta kegiatan perekonomiannya tumbuh.
Namun, pada kenyataannya dana yang demikian banyak justru tak jarang disalahgunakan oleh kepala desa dan perangkatnya. Pada tahun 2022 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut sudah ada 686 oknum kepala desa yang terjerat kasus korupsi dana desa. Sebuah ironi, mengingat selain dana desa, desa juga memiliki pendapatan yang lain seperti Alokasi Dana Desa (ADD) yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Undang-undang nomer 6 tahun 2014 tentang Desa ini memiliki cakupan sangat luas. Selain keuangan dan aset desa, Undang-Undang ini juga mengatur banyak hal yang berkaitan dengan desa, mulai dari kedudukan desa itu sendiri, Kepala Desa, Perangkat Desa, hingga organisasi-organisasi yang terbentuk di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih dengan adanya institusi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang secara khusus mengurusi persoalan yang berkenaan dengan desa. Maka sejatinya desa memiliki harapan baru tentang bagaimana desa ke depan.
Lantas, apakah pemerintahan desa sudah berjalan sebagaimana yang kita harapkan bersama? Tentu masih banyak persoalan di desa yang perlu dievaluasi dan dibenahi. Mulai dari pelayanan, infrastruktur, transparansi, hingga Perangkat Desa yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Maka dari itu, dalam konteks kemajuan desa, kalaulah memang diperlukan adanya evaluasi atau bahkan revisi Undang-Undang Desa harusnya berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan pelaksanaan pemerintahan, pelayanan, pengawasan anggaran dan pembangunan, serta tugas dan fungsi perangkat desa. Bukan perpanjangan masa jabatan kepala desa.
ADVERTISEMENT