Konten dari Pengguna

Wajah Pendidikan Kita

Dedi Sulaiman Rawi
Seorang lulusan magister sosiologi Universitas Airlangga yang sedang berjuang untuk kembali menjadi mahasiswa.
1 Oktober 2024 18:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Sulaiman Rawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak Sekolah Dasar | pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Anak Sekolah Dasar | pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendidikan tidak sekadar proses belajar mengajar di dalam kelas, tetapi mencakup segala aspek peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan karakter. Pendidikan menjadi sarana dalam membentuk manusia menjadi individu yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantara yang kita kenal sebagai bapak pendidikan mengartikan pendidikan sebagai suatu upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak.
Pendidikan sebagai salah satu amanat konstitusi tidak hanya penting, tetapi menjadi suatu keharusan. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal. Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk dapat menyelenggarakan pendidikan mulai dari pendidikan tinggi hingga pendidikan dasar, dari pusat-pusat kota hingga pelosok negeri.
Namun, apakah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah baik? Untuk menjawab pertanyaan ini rasanya tidak perlu mengulik data dan fakta terlalu jauh. Wajah pendidikan Indonesia sangat mudah kita saksikan dan rasakan.
Anggapan bahwa kualitas pendidikan di daerah-daerah terpencil seringkali lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan merupakan fakta yang tak terelakkan. Adanya perbedaan infrastruktur pendidikan dan kualitas tenaga pendidik menjadi penyebab terjadinya kesenjangan antara sekolah perkotaan dengan pedesaan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang tidak merata memang masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Betapa banyak sekolah di berbagai daerah yang menggunakan bangunan tidak layak, fasilitas belajar mengajar yang kurang memadai, jarak sekolah yang terlampau jauh, dan jumlah perpustakaan dan ruang-ruang baca yang masih sangat kurang. Maka metafora seperti "buku adalah jendela dunia" justru terasa menyakitkan bagi anak-anak di luar sana yang aksesnya terhadap ilmu pengetahuan serba terbatas.
Berbeda dengan sekolah di perkotaan, secara infrastruktur dan fasilitas mungkin lebih baik. Namun dalam konteks pelaksanaan pendidikan juga tidak bisa dikatakan sudah baik. Menjamurnya lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel) dan sekolah-sekolah alternatif menjadi bukti ketidakmampuan sekolah formal dalam memberikan pendidikan yang maksimal.
Apabila sistem pendidikan di sekolah formal telah memberikan pembelajaran yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan pengetahuan siswa rasanya orang tua tak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memasukkan anaknya pada lembaga bimbel. Karena pada dasarnya lembaga bimbel dipilih sebagai upaya orang tua agar anak-anak mereka memperoleh kesempatan belajar yang lebih baik.
Ilustrasi layanan pendidikan. Foto: Kemenkeu RI
Disadari atau tidak sistem pendidikan di sekolah formal seringkali kurang efektif. Sebagai contoh, pelajaran bahasa inggris diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Maka secara logis harusnya pusat-pusat kursus bahasa inggris seperti Kampung Inggris yang ada di Pare Kediri tidak laku dan sepi peminat. Akan tetapi kenyataannya pusat-pusat kursus bahasa inggris di Indonesia justru semakin banyak dan tetap ramai peminat. Belajar bahasa inggris di sekolah formal selama 12 tahun mulai dari SD-SMA terasa sia-sia apabila kita bandingkan dengan hasil pembelajaran yang diperoleh dari pusat-pusat kursus bahasa inggris yang durasinya relatif singkat hanya beberapa bulan bahkan minggu.
ADVERTISEMENT
Sistem pendidikan Indonesia secara tidak langsung merupakan warisan dari pendidikan kolonial. Masyarakat Indonesia juga mewarisi sistem sosial pada zaman kerajaan salah satunya yakni sistem patron-klien atau kita kenal dengan feodalisme. Oleh sebab itu feodalisme telah menjadi kultur yang mengakar kuat di masyarakat tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Feodalisme menjadi semacam penyakit yang tak kunjung sembuh dalam dunia pendidikan kita.
Meskipun metode pembelajaran sudah mengalami banyak perbaikan, namun praktik-praktik feodal masih sering kita temui di lingkungan sekolah. Tak sedikit yang masih memposisikan guru sebagai pusat ilmu pengetahuan, sementara siswa dianggap objek pasif yang bertugas mendengarkan, mencatat, dan menghafal teks-teks pelajaran. Seorang siswa yang kritis seringkali dianggap sebagai pembangkangan dan tidak menghormati guru. Praktik semacam ini hanya akan melahirkan pelajar yang tak mampu menyampaikan gagasan dan pikirannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kalimat "adab lebih tinggi dari ilmu" tertulis di lorong-lorong sekolah, di sudut-sudut kelas, bahkan di pintu gerbang sekolah. Kalimat ini dimaksudkan sebagai pengingat bahwa selain berakal siswa juga harus bermoral. Namun seringkali kalimat ini justru menjadi jurang pemisah yang cukup dalam antara siswa dan guru. Akibatnya tak sedikit siswa yang merasa dengan memberikan hormat dan tabik pada guru menandakan mereka pasti berilmu.
Padahal penghormatan pada guru tidak bisa didefinisikan hanya dengan perilaku baik dan sopan santun seperti mencium tangan guru. Akan tetapi siswa yang dapat berpestasi, berani menyampaikan gagasan, memilki keunggulan berpikir, dan dapat menerima pelajaran dengan baik juga merupakan penghormatan tersendiri bagi guru.
Jika kita mengacu pada konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Paulo Freire, menempatkan siswa sebagai objek pasif dan tidak otonom merupakan salah satu bentuk penindasan. Kita semestinya bisa beranjak dari model pendidikan yang membelenggu menuju pendidikan yang membebaskan. Siswa harus diposisikan sebagai subjek, sehingga kita dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya pada setiap siswa dalam menyampaikan gagasan dan isi pikirannya.
ADVERTISEMENT
Persoalan pendidikan di Indonesia memang cukup kompleks, ditambah lagi sistem pendidikan dan kurikulum yang kerap kali berubah-ubah. Padahal perubahan kurikulum yang terlalu cepat akan menimbulkan masalah baru seperti menurunnya prestasi, karena siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan kurikulum yang baru. Perubahan kurikulum ini seringkali dipengaruhi oleh faktor politik hingga muncul ungkapan "ganti menteri ganti kurikulum".
Berbagai persoalan pendidikan di atas semakin parah apabila dikaitkan dengan persoalan kemiskinan, stunting, kesehatan, dan persoalan sosial lainnya. Anak-anak Indonesia tidak tumbuh dengan asupan nutrisi dan protein yang cukup, hal ini berdampak pada IQ nasional kita. Berdasarkan Word Population Review rata-rata tingkat kecerdasan orang Indonesia memiliki skor IQ 78 dan menempati urutan ke-130 dari sekitar 199 negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Demikian wajah pendidikan Indonesia, setidaknya yang dapat kita saksikan dari dulu hingga hari-hari ini. Perbaikan tentu perlu terus diupayakan, karena kemajuan suatu bangsa dapat tercermin dari kualitas pendidikannya.