Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Di Kuil Akal: Bahaya Memasuki Gerbang Wahyu dengan Sepatu Filsafat
22 Januari 2025 10:07 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Idzki Arrusman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Filsafat dan ilmu kalam ibarat dua sungai besar yang mengalir dari puncak gunung akal manusia. Keduanya tampak jernih, memikat jiwa-jiwa yang haus akan kebenaran. Namun, di bawah permukaan airnya sering tersembunyi pusaran yang dapat menenggelamkan mereka yang kurang waspada.
ADVERTISEMENT
menafsirkan ayat Allah dengan filsafat dan ilmu kalam,, mengurai pertanyaan mendalam tentang hakikat hidup dan Tuhan dengan jaring logika. Ia membawa perenungnya menyusuri kelokan yang sering melampaui batas, menyentuh wilayah yang hanya bisa dijangkau wahyu, hingga mengguncang akar iman.
Ilmu kalam, meskipun sempit, memiliki arus deras yang menggali dasar akidah dengan pendekatan rasional. Namun, derasnya sering membawa jiwa ke dalam perdebatan yang rumit, lebih banyak menimbulkan keraguan daripada ketenangan jika tidak berpijak pada wahyu.
Islam memberikan tempat bagi akal sebagai pendayung, tetapi wahyu adalah peta yang menunjukkan arah. Tanpa bimbingan wahyu, filsafat dapat menyeret jiwa ke labirin tanpa ujung, dan ilmu kalam dapat menjadi badai yang mengguncang iman.
Hanya wahyu yang dapat menuntun perjalanan menuju hakikat kebenaran. Ia adalah lentera yang menerangi jalan, memastikan akal berada pada jalur yang benar, menjadikannya pelayan, bukan penguasa atas keyakinan. Dengan wahyu, setiap langkah menuju kebenaran akan berakhir di pantai hakiki, bukan di pusaran kebingungan.
ADVERTISEMENT
A. Filsafat dan Ilmu Kalam: Apa dan Mengapa Bermasalah?
Filsafat adalah ilmu yang berakar pada logika dan daya pikir manusia, berusaha mengurai hakikat segala sesuatu melalui pijakan akal. Sementara ilmu kalam adalah cabang pemikiran yang sering kali menjelajahi lorong-lorong akidah dengan penerangan rasionalitas.
Keduanya, ibarat dua garis yang saling bersinggungan, keduanya menelusuri kebenaran dengan menjadikan akal sebagai pemandu utama. Namun, dalam pencariannya, sering kali mereka menyimpang dari jalan yang telah digariskan wahyu, mengganti arah dengan pertimbangan rasional yang terbatas, sehingga kebenaran yang seharusnya ditemukan malah terkaburkan oleh bayangan-bayangan logika yang tidak berdasarkan pada petunjuk Ilahi.
Bahaya yang lahir dari pendekatan ini dalam menafsirkan Al-Qur'an tidaklah ringan, melainkan seperti angin gurun yang mengaburkan pandangan seorang musafir.
ADVERTISEMENT
Bahaya pendekatan filsafat dan ilmu kalam dalam menafsirkan Al-Qur'an sangatlah besar, antara lain sebagai berikut:
1. Kerancuan dalam Akidah
Filsafat dan ilmu kalam sering menyelam terlalu dalam ke samudra perkara yang tak terjangkau oleh akal manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah dan misteri qadha serta qadar. Dalam upaya memahami ayat-ayat Allah melalui lensa filsafat, makna zahir yang telah Allah tetapkan justru sering terabaikan. Ia diganti dengan tafsir yang terlalu simbolis atau sekadar spekulasi metaforis yang tak berakar pada landasan syariat. Ibarat mengganti pelita wahyu dengan lentera buatan manusia, sinarnya memudar, meninggalkan seseorang dalam kebimbangan.
Pendekatan ini, meski terkesan ilmiah, kerap menjerat hati dalam simpul keraguan. Tauhid yang semestinya tegak lurus bak pohon yang berakar kuat, malah bisa terdistorsi, seperti dahan yang dipatahkan oleh angin logika liar. Bukannya memantapkan iman, justru ia membuka pintu bagi ilusi yang mengaburkan hakikat keesaan Allah.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tegas. Beliau berkata:
"Jika kau mendengar seseorang berkata: 'Nama adalah zat' atau 'Nama bukanlah zat,' maka saksikanlah bahwa dia adalah ahli kalam dan tidak memiliki agama."
Beliau juga menambahkan:
"Jika manusia mengetahui apa yang terkandung dalam ilmu kalam berupa hawa nafsu, mereka akan lari darinya seperti mereka lari dari singa."
Pernyataan ini tercatat dalam kitab "Rawa'ih min Aqwal Ar-Rasul" karya Abdulrahman Hasan Habnaka Al-Midani, Damaskus, Dar Al-Qalam, edisi kelima, 1412 H / 1991 M, hal. 335.
Bahkan, Imam Asy-Syafi’i tegas mencela ilmu kalam. Beliau berkata kepada muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah:
"Janganlah engkau menyibukkan diri dengan ilmu kalam, karena aku telah mengamati ahlul kalam, dan mereka cenderung melakukan ta’thil (menolak sifat-sifat Allah)."
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini termaktub dalam Siyar A’lamin Nubala, 10/28.
Lebih jauh, Ibnul Jauzi rahimahullah juga mengingatkan dalam kitabnya Shaidul Khathir, hlm. 226:
"Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka pun sibuk mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah."
2. Menimbulkan Keraguan terhadap Wahyu
Pendekatan filsafat, ibarat pisau bermata dua, kerap menorehkan luka pada hati yang seharusnya dilingkupi oleh cahaya iman. Ia tidak hanya mempertanyakan apa yang telah Allah tetapkan, tetapi juga mengguncang dasar keyakinan yang seharusnya kokoh. Dalam perjalanan ini, banyak jiwa yang tersesat, seperti pengembara yang kehilangan arah di tengah padang pasir, diliputi fatamorgana keraguan dan kebimbangan.
ADVERTISEMENT
Wahyu yang diturunkan sebagai lentera penerang, sering kali justru dipandang melalui kaca buram logika yang terbatas. Alih-alih menerima dengan keimanan yang tulus, mereka mempersoalkannya, seperti burung yang mencoba memahami kedalaman laut. Mereka lupa bahwa wahyu adalah pancaran ilahi yang melampaui daya jangkau akal, bukan sekadar teka-teki yang harus dipecahkan.
Ibarat perahu kecil yang berlayar di tengah badai, hati mereka terombang-ambing oleh gelombang filsafat yang meragukan. Sungguh, wahyu bukanlah bahan perdebatan, melainkan janji dan petunjuk dari Allah, yang memerlukan kepasrahan dan keyakinan tanpa syarat. Tanpa iman, mereka hanya akan menjadi mangsa keraguan, kehilangan arah menuju kebenaran.
3. Mengabaikan Sumber Penafsiran yang Shahih
Tafsir Al-Qur'an dalam Islam, bak sungai yang jernih, mengalir dari mata air wahyu. Ia harus dirujuk pada Al-Qur'an itu sendiri, hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan pemahaman para sahabat serta ulama yang berjalan di atas manhaj salaf. Sumber-sumber ini adalah pelita yang memandu hati menuju makna yang hakiki.
ADVERTISEMENT
Namun, pendekatan filsafat dan ilmu kalam sering kali menyimpang dari aliran jernih ini. Seperti mengganti air tawar dengan air yang keruh, mereka mengabaikan panduan yang shahih dan menggantikannya dengan teori-teori buatan manusia. Penafsiran mereka tak lagi bersandar pada cahaya wahyu, melainkan pada logika terbatas yang terikat oleh hawa nafsu dan prasangka.
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalamullah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam” (hal. 176, tahqiq Ahmad Syakir rahimahullah).
Akibatnya, makna-makna ilahi yang semestinya menentramkan hati menjadi kabur, seperti bayangan yang tak jelas dalam cahaya senja. Tafsir yang seharusnya membawa hidayah justru menjauhkan manusia dari kebenaran, menggiring mereka pada tafsir yang tak berdasar.
ADVERTISEMENT
B. Contoh Penyimpangan Akibat Pendekatan Filsafat dan Ilmu Kalam
Sejarah Islam menjadi saksi tumbuhnya aliran-aliran yang terjerumus dalam bayang-bayang filsafat dan ilmu kalam, seperti Mu’tazilah dan Jahmiyah. Mereka mendekati ayat-ayat tentang sifat Allah dengan pedoman akal semata, mengaburkan makna literalnya yang telah ditetapkan syariat. Dalam tafsir mereka, sifat-sifat Allah, seperti mendengar dan melihat, diputarbalikkan hingga meniadakan maknanya atau menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, seperti benteng kokoh yang menjaga kemurnian akidah, berdiri tegas melawan gelombang pemikiran ini. Dalam perjuangannya melawan keyakinan Mu’tazilah, beliau mengingatkan dengan nasihat penuh kehati-hatian: “Jangan engkau duduk bersama ahli kalam walaupun untuk membantah mereka. Sesungguhnya aku tidak merasa aman dari mereka, meskipun orang yang membantah mereka akan terpengaruh oleh kebatilan mereka.”
ADVERTISEMENT
Kata-kata beliau adalah peringatan tajam, menggambarkan bahaya mendekati jurang pemikiran yang menyimpang. Akal manusia yang terbatas tidaklah pantas mengubah hakikat wahyu yang suci. Seperti api yang membakar, kebatilan dari pemikiran tersebut dapat menjalar, bahkan kepada mereka yang awalnya berusaha memadamkannya.
C. Penutup
Menafsirkan ayat-ayat Allah melalui kaca mata filsafat dan ilmu kalam adalah langkah yang ibarat meniti tali rapuh di atas jurang, penuh risiko dan menyesatkan. Pendekatan ini membuka pintu keraguan, menjerumuskan manusia ke dalam pemikiran yang menjauhkan mereka dari jalan yang lurus. Cahaya kebenaran menjadi redup, tergantikan oleh bayangan logika yang sering kali keliru.
Seorang Muslim yang ingin memahami Al-Qur'an harus kembali kepada sumber-sumber yang shahih dengan berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat yang telah dijamin keutuhannya oleh wahyu. Hanya dengan berjalan di atas pijakan yang kokoh inilah hati akan dilingkupi ketenangan, dan iman akan mengakar kuat, tak tergoyahkan oleh badai pemikiran yang menyimpang.
ADVERTISEMENT
Sungguh, dalam hening renungan, tidakkah kita menyadari bahwa akal manusia hanyalah pelita kecil di malam yang pekat? Tanpa bimbingan wahyu yang terang, ia tak mampu menyingkap hakikat yang tersembunyi dalam firman-Nya. Maka, berhati-hatilah, wahai pencari kebenaran, jangan biarkan akidahmu terseret arus penafsiran yang menjauh dari cahaya Al-Qur'an dan Sunnah.
Maka, wahai pencari hakikat, teguhkanlah hatimu. Jangan biarkan debu filsafat menutupi cahayamu. Wahyu diturunkan untuk diterima dengan lapang dada, sebagai hidayah dari Rabb yang Maha Mengetahui, bukan untuk diperdebatkan oleh akal yang terbatas.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (QS. Al-Isra: 9)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan berkata:
“Al-Qur'an memberikan petunjuk kepada segala hal yang membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat, mencakup akidah yang benar, ibadah yang lurus, dan akhlak yang mulia. Ia merupakan petunjuk paling sempurna yang menyelamatkan manusia dari kebingungan dan menyampaikan kepada kebahagiaan sejati. Dalam masalah akidah, keyakinan yang bersumber dari Al-Qur'an akan memberikan manfaat yang besar, menyempurnakan hati, serta menjadikannya penuh dengan kecintaan, pengagungan, dan penyembahan kepada Allah Azza wa Jalla.”
ADVERTISEMENT
(Al-Qawaidul Hisan Al-Mutaalliqah bi Tafsir Al-Qur'an, hlm. 122)
Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, seorang Muslim akan menemukan jalan yang lurus dan pasti menuju ridha Allah, serta terbebas dari jerat pemikiran yang menyimpang dan keraguan yang menggelisahkan hati.