Konten dari Pengguna

Normalisasi Kebahagiaan di Kelas (Virtual)

IHIK3
Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) mengelola perpustakaan humor pertama di Indonesia yang terletak di lantai 2 Menara DDTC, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
10 Agustus 2020 15:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari IHIK3 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelajar (sumber: pxhere.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelajar (sumber: pxhere.com)
ADVERTISEMENT
“Saat saya berumur 5 tahun, ibu saya selalu bilang bahwa kebahagiaan adalah kunci dari kehidupan. Lalu di sekolah, saya ditanya apa yang saya inginkan kalau sudah besar kelak. Saya menjawab: bahagia.
ADVERTISEMENT
Mereka bilang saya tidak memahami pertanyaan tersebut dan saya bilang ke mereka kalau mereka tidak memahami kehidupan.”
Kutipan itu konon diwariskan oleh musisi kenamaan John Lennon kepada kita, yang (untuk sementara) masih bertumpu pada sistem dan metode pendidikan yang belum sepenuhnya berorientasi kepada kebahagiaan peserta didik. Patut disayangkan sebenarnya, karena di situasi pandemi ini, kebutuhan dari siswa untuk tetap “waras” dan bahagia makin mendesak.
Ya, tantangan yang harus dihadapi anak, adik, atau saudara kita yang berada di usia sekolah kini jauh lebih kompleks. Sudah mau tidak mau harus beradaptasi dengan pembelajaran daring yang begitu intens menjurus melelahkan, mereka juga terisolasi karena fase bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya dan kesempatan mencari social support hilang.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, ternyata tidak semua pengajar menyadari bahwa kondisi yang sudah rawan memicu stres ini tidak perlu lagi diperkeruh. Contohnya, dengan menegur secara berlebihan ketika ada peserta didik yang mengalami kendala selama proses belajar-mengajar daring.
Seakan-akan di masa seperti ini, ada yang ingin terlihat lebih ganas daripada virus covid-19.
Menekankan relasi kuasa di kelas, masih perlu?
Ada adagium paling populer di kalangan pelajar (juga mantan pelajar). Bunyinya seperti ini: “Yang bikin kangen sama sekolah adalah teman-teman dan seru-seruan bareng mereka, bukan kegiatan belajar-mengajarnya.”
Ya, mungkin ada di antara kita yang rasa kangennya ke masa sekolah justru sebaliknya. Namun di kelompok ini, seberapa dominan sih yang kangen bersekolah karena bapak-ibu gurunya mampu menghadirkan kebahagiaan saat proses pembelajaran?
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, adalah sebuah kewajaran kalau banyak peserta didik merasa berjarak dengan pengajarnya. Sebab keduanya “alamiahnya” terhubung dalam sebuah relasi kuasa. Sebagai superordinat, guru punya kekuatan untuk mendominasi murid-murid alias para subordinatnya, baik dalam prinsip umum maupun individu.
Taruhlah kita sedang sependapat kalau subordinasi guru terhadap murid dalam prinsip umum di institusi pendidikan memang layak untuk dipelihara karena punya nilai manfaat yang lebih banyak ketimbang mudaratnya. Mari tak usah dipermasalahkan dulu mengapa murid perlu menghormati gurunya sebagai insan yang lebih berilmu dan berpengalaman.
Yang perlu kita angkat sebagai diskursus adalah masih adanya tenaga pendidik yang ngotot mempertahankan relasi kuasa individunya atas peserta ajarnya, terlebih dalam masa pandemi ini.
Terkungkungnya kita ke ruang-ruang kecil maya membuat kita terasa sangat berjarak satu sama lain. Misalnya, fenomena menegur berlebihan di ruang kelas virtual yang bisa makin mengerdilkan posisi si murid yang memang sudah kecil di hadapan gurunya. Pengalaman ditekan oleh pihak yang lebih berdaya darinya berpotensi membuat peserta didik ketakutan bahkan trauma.
ADVERTISEMENT
Kalau begini terus, kapan adagium yang menunjukkan betapa tidak menyenangkannya proses belajar-mengajar di sekolah bisa berubah, tatkala guru enggan menekan ego individunya untuk menjadi dominan di depan murid-muridnya?
Humor dan kebahagiaan
Menjawab tantangan ini, humor sejatinya bisa hadir sebagai penawar. Dengan mulai mengadaptasi humor pada proses pembelajaran, guru dapat memperpendek jurang pemisah dengan para muridnya.
Menurut Jeder (2015), humor kala digunakan dengan bijak serta sesuai dengan etika dan porsinya, bisa membuat hubungan antara guru-murid lebih positif. Rasa-rasanya, kebutuhan mengharmoniskan kelas virtual lebih krusial ketimbang kebutuhan guru untuk memvalidasi posisinya yang memang sudah di atas para muridnya.
Lebih lanjut, humor tidak hanya bisa menghumanisasi hierarki, tetapi juga mengurangi stres yang diderita anak didik. Booth-Butterfield, Booth-Butterfield, dan Wanzer (2007) menjelaskan, penggunaan humor di ruang kelas bisa menjadi pengalih tekanan internal yang dialami para pelajar itu sendiri. Pasalnya, tidak hanya kita, para orang dewasa, yang tertekan di masa pandemi ini; anak-anak pun sebenarnya merasakan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Terakhir, jangan jadikan kelas sebagai ruang kedap humor. Kalau belum mampu menjadi produsen humor, seperti membuat materi ajar yang menghibur atau berkelakar saat mengajar di depan kelas, jadilah individu yang doyan mengonsumsi humor dulu, termasuk humor yang diinisiasi oleh peserta ajar.
Kalau ada peserta ajar yang atas ketidaktahuan mereka menjawab soal dengan konyol, tertawalah. Kalau punya badut kelas, “peliharalah” dia untuk menjaga mood teman-temannya tetap bagus dalam belajar.
Para guru pastinya sudah bermandikan peluh dalam menyiapkan materi ajar, mengurus administrasi, mengikuti macam-macam lokakarya dan seminar daring, serta lain sebagainya. Belum lagi mengurusi kehidupan pribadi yang seringkali lebih rumit daripada rumus-rumus yang diajarkan di kelas.
Dengan tekanan yang sedemikian tingginya, lantas mengapa tidak sekalian saja para pendidik berhumor bersama peserta didiknya di kelas? Siapa tahu dengan berhumor dan berbahagia bersama, kita jadi sama-sama bisa lebih memahami kehidupan.
ADVERTISEMENT
Sebab, M. Dale Baughman (1974), pemikir dan pakar di bidang pendidikan, pernah bilang, “Resep terpenting supaya bisa berbahagia di hidup ini adalah punya keinginan untuk dihibur.”
Ulwan Fakhri – Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)
Daftar referensi:
Baugman, M. D. (1974). Baughman's Handbook of Humor in Education. New York: Parker Publishing Company Inc.
Booth-Butterfield, M., Booth-Butterfield, S., & Wanzer, M. (2007). Funny Students Cope Better: Patterns of Humor Enactment and Coping Effectiveness. Communication Quarterly, 55(3). 299-315.
Jeder, D. (2015). Implications of Using Humor in the Classroom. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 180, 828-833.