Konten dari Pengguna

Scroll, Tap, Trap: Pornografi di Era Digital Bikin Candu?

Ihza Akmal
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Brawijaya
3 Desember 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ihza Akmal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pria mengakses internet dan melihat pornografi di era digital (Picture from iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pria mengakses internet dan melihat pornografi di era digital (Picture from iStock)
ADVERTISEMENT

Internet Bikin Bebas, Tapi Malah Jadi Bahaya?

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah pornografi. Bagaimana tidak, konsumsi konten yang mengandung unsur pornografi masih tersebar luas dan dapat diakses dengan mudah. Sebenarnya, apa itu pornografi? Istilah "pornografi" merujuk pada media yang dirancang untuk membangkitkan gairah seksual dengan menampilkan atau menggambarkan tindakan seksual.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, edukasi seksual masih tergolong minim karena adanya anggapan bahwa topik yang berhubungan dengan seksualitas adalah sesuatu yang tabu. Banyak orang belum memahami perbedaan antara pornografi dan pendidikan seksual sehingga banyak orang tua yang belum memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi penasaran tentang seks.
Seiring dengan kemajuan teknologi, akses terhadap konten pornografi semakin terbuka lebar. Dilansir dari aptika.kominfo.go.id, Menkominfo Budi Arie (2023) menyampaikan bahwa sejak tahun 2018 hingga 17 September 2023 terdapat 3,7 juta konten negatif yang sudah ditangani, di antaranya 1,2 juta merupakan konten pornografi. Padahal, di Indonesia, larangan terhadap konten pornografi telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Pasal 4 Ayat 1, yang melarang segala bentuk produksi, penyebaran, dan penyediaan konten pornografi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, fakta di lapangan tidak sejalan dengan aturan tersebut. Berdasarkan data dari SEMRUSH, dalam periode 1 September hingga 30 November 2023, beberapa situs web yang mempermudah akses ke konten pornografi, seperti Doodstream, Yandex, dan Mediafire, serta situs penyedia konten pornografi, seperti Xnxx, Pornhub, dan Xvideos, tercatat masuk dalam 20 besar situs yang paling sering diakses di Indonesia. Situs-situs tersebut memiliki rata-rata kunjungan bulanan yang mencapai lebih dari 300 juta.
Media sosial, seperti X (Twitter), Reddit, dan Telegram sering dimanfaatkan oleh konten kreator dewasa untuk mempromosikan konten berbayarnya di platform Trakteer atau OnlyFans yang berbau ketelanjangan. Hal ini menarik perhatian anak muda untuk berlangganan atau mencari akses gratis ke konten ini. Selain itu, istilah "akun alter" di X (Twitter) juga semakin populer, di mana pengguna menciptakan identitas lain yang tidak dikenali oleh orang-orang di kehidupan nyata. Akun-akun alter ini sering kali dipenuhi dengan konten vulgar, bahkan mencakup perilaku asusila. Kurangnya pengawasan membuat penyebaran konten pornografi tetap meluas, terutama di kalangan remaja yang mahir menggunakan teknologi. Banyaknya pengguna media sosial juga membuka peluang bagi pihak tak bertanggung jawab untuk membagikan atau memperjualbelikan konten negatif.
ADVERTISEMENT

Bijaklah Memilih Teman

Paparan konten pornografi pada anak tidak hanya disebabkan oleh rasa ingin tahu, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Anak yang berada dalam pergaulan tanpa pengawasan orang tua atau guru lebih rentan terhadap pengaruh negatif, termasuk konten pornografi. Kasus seperti anak yang diundang ke rumah temannya untuk bermain online games, lalu menonton konten pornografi bersama, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Tak jarang, gambar dan tautan pornografi juga dibagikan melalui WhatsApp oleh teman sebaya.
Teman memiliki pengaruh besar pada anak dalam mengambil keputusan. Jika seorang anak bergaul dengan teman yang berperilaku menyimpang, kemungkinan besar ia akan mengikuti perilaku tersebut. Selain itu, lingkungan masyarakat juga berperan dalam membentuk perilaku remaja. Setelah mendapatkan pendidikan dari keluarga, masyarakat menjadi tempat bagi anak untuk belajar secara nonformal (Yuniati, Suyahmo, & Juhadi, 2017, hlm. 5). Paparan hal-hal negatif di lingkungan dapat mendorong anak untuk menirunya dan berperilaku menyimpang.
ADVERTISEMENT

Adiksi dan Fantasi: Ketika Otak Terjebak Pola Kompulsif

Dari sisi biopsikologi, pornografi memiliki efek signifikan pada otak manusia. Konsumsi pornografi memengaruhi sistem reward di otak, yang dikenal sebagai mesocorticolimbic circuit. Ketika seseorang mengonsumsi pornografi, ventral tegmental area (VTA) di otak mengeluarkan dopamin, hormon yang memunculkan rasa senang. Dopamin ini kemudian bergerak ke nucleus accumbens, menghasilkan perasaan puas yang intens.
Namun, paparan yang terus-menerus dapat menyebabkan desensitisasi dopamin, kondisi di mana seseorang membutuhkan stimulus yang lebih ekstrem untuk merasakan kesenangan yang sama. Kondisi ini serupa dengan mekanisme kecanduan pada narkoba. Lebih parahnya lagi, otak memiliki kemampuan plastisitas, yaitu kemampuan untuk berubah sesuai dengan kebiasaan yang sering dilakukan.
Pada kasus kecanduan pornografi, koneksi neuron yang bertanggung jawab untuk regulasi emosi, empati, dan pemikiran kritis melemah, sementara neuron yang terkait dengan perilaku impulsif dan kesenangan instan justru diperkuat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam pola kompulsif, sulit melepaskan diri dari kebiasaan mengonsumsi pornografi.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan ini juga dapat memunculkan fenomena parafilia, yaitu fantasi seksual tidak wajar yang melibatkan objek atau tindakan tertentu. Beberapa jenis parafilia yang sering dikaitkan dengan konsumsi pornografi adalah voyeurisme, ekshibisionisme, dan masokisme. Parafilia sering kali dipicu oleh efek habituasi, di mana individu mencari konten yang lebih ekstrem karena sensitivitas terhadap konten biasa telah menurun.

Membangun Kesadaran: Solusi untuk Generasi Muda

Setelah mengetahui dampak buruk pornografi dari berbagai sisi, langkah selanjutnya adalah membangun kesadaran kolektif untuk melawan ancaman ini. Edukasi seksual yang komprehensif perlu menjadi prioritas di sekolah dan keluarga. Orang tua dan guru harus mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak untuk mendiskusikan topik-topik sensitif tanpa rasa takut atau malu.
Selain itu, regulasi yang lebih tegas terhadap penyebaran konten pornografi di internet perlu dilakukan. Penyedia platform digital harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa konten mereka tidak membahayakan pengguna, terutama anak-anak dan remaja.
ADVERTISEMENT
Pornografi adalah ancaman yang nyata di era digital. Dampaknya tidak hanya merusak individu secara mental dan emosional, tetapi juga berpotensi membentuk pola perilaku negatif dalam jangka panjang. Dengan memahami dampaknya, mari kita bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan melindungi generasi muda dari bahaya yang mengintai.
Setelah mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan oleh pornografi, apakah Anda yakin masih ingin terlibat dengan pornografi?
Referensi:
Costanzo, T. (2024, September 8). Pornography, Violence and Sexual Technology: Psychological, Neurological and Cultural Impacts in Contemporary Society. https://doi.org/10.31234/osf.io/ptw9r
Fauzi, A. R., Bafadal, I., Imron, A., & Hadi, S. (2024). Faktor lingkungan sekitar siswa sekolah dasar dalam paparan pornografi pada siswa sekolah dasar di Kabupaten Bantul. Zaman Elektronik: Komunikasi Doxa, 38(1), 41–59. https://doi.org/10.31921/doxacom.n38a1948
ADVERTISEMENT
Kemp, S. (2024, 21 Februari). DIGITAL 2024: INDONESIA. DATAREPORTAL. https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia?rq=indonesia
Putri, A. R., Mulyadi, A., & Jupri. (2019). The phenomenon of social diversion related to teenagers interest in pornography sites. International Journal Pedagogy of Social Studies, 4(2), 45–52. https://vm36.upi.edu/index.php/pips/article/download/19814/11235
Rahman, R. A. (2023, 20 September). Kominfo Tangani 3,7 Juta Konten Negatif Hingga 17 September 2023. Kominfo. https://aptika.kominfo.go.id/2023/09/kominfo-tangani-37-juta-konten-negatif-hingga-17-september-2023/
Stefanska, E. B., Longpré, N., & Rogerson, H. (2024). Relationship Between Atypical Sexual Fantasies, Behavior, and Pornography Consumption. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, 68(9), 915-935. https://doi.org/10.1177/0306624X221086569