Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Disisihkan Ketika Memiliki Anak Perempuan Lebih Dari Tiga
18 Desember 2024 18:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ni Putu Ika Sami Antariasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![foto diambil oleh Ni Putu Ika Sami Antariasih (saya sendiri)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jfcs7x0nc56f99xbgyxp6qqt.jpg)
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi, dengan setiap daerah memiliki keunikan yang menjadi kebanggan masing-masing daerah. Salah satunya adalah pulau Bali yang dikenal sebagai “ Pulau Dewata “ tempat dimana tradisi luhur masih terjaga dengan baik. Di Bali terdapat Desa Kecil yang Bernama Desa pinggan yang terletak di kecamatan kintamani, kabupaten bangli, yang terkenal dengan julukan “desa diatas awan.” karena kabut tebal yang sering meyelimuti Desa Pinggan di pagi hari dengan pemandangan Gunung Batur yang menjulang tinggi dan keindahan desa songan yang berada di bawah desa pinggan menciptakan pemandangan yang sangat indah untuk dinikmati. selain keindahan alamnya yang memukau, Desa Pinggan juga dikenal memiliki sejarah dan budaya yang unik, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, nasional ataupun internasional.
ADVERTISEMENT
Awal mula berdirinya Desa Pinggan dapat ditemukan dalam Kekawitan (geguritan) Barong Landung yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta (dalam tesis juta Ningrat, 2010). Kisah ini menceritakan seorang raja yang tersohor, bijaksana, dan banyak menulis prasasti-prasasti yang memuat tentang pelaksanaan upacara keagamaan, beliau bernama Sri Haji Jayapangus yang memerintah di Kerajaan bukit Panarajon. Pada masa pemerintahannya, Sri Haji Jayapangus ingin menikahi anak dari pedagang cina yang bernama Kang Cing Wie yang diangkat menjadi pelayan mpu lim, keinginan tersebut tidak disetujui oleh salah satu bhagawanta raja yakni Mpu Siwa Gandu, dikarenakan perbedaan budaya dan keyakinan, dimana Kang Cing Wie menganut agama budha dan Sri Haji Jayapangus menganut agama hindu siwa. Meskipun sudah diberikan saran oleh Mpu Siwa Gandu, sang raja tetap bersikukuh untuk menikah dengan Kang Cing Wie. Mendengar hal itu Mpu Siwa Gandu marah karena sarannya tidak didengarkan, beliau melakukan tapa brata yang menciptakan bencana sehingga menyebabkan Kerajaan Jayapangus hancur. Karena kehancuran Kerajaan jayapangus, maka pindahlah Sri Haji Jayapangus ke Jong les atau dalem balingkang yang berada di Sebelah barat gunung Batur dan mendirikan Kerajaan baru di sebuah desa yang Bernama desa ping An, karena lidah orang bali sulit melapalkan kata ping An, maka sekarang desa tersebut disebut desa pinggan.
ADVERTISEMENT
Dari sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Desa Pinggan berkembang dengan nilai-nilai multikultural dimana terdapat dua perbedaan budaya yang membangun Desa Pinggan yaitu kebudayaan Cina dan Bali.
Dibalik keindahan alam dan sejarahnya yang luar biasa ada sebuah tradisi kuno yang menarik menurut saya, yaitu tradisi kuno “kesisi atau penyisihan keluarga yang memiliki anak Perempuan lebih dari tiga.” Tradisi ini menunjukkan bagaimana tingginya sistem patriarki dalam Masyarakat Bali di masa lalu dimana anak laki-laki memiliki posisi yang jauh lebih tinggi di banding dengan anak perempuan.
Dalam tradisi ini, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dan memiliki lebih dari tiga anak Perempuan akan kesisi atau disisihkan dari pekarangan desa karena dianggap tidak memenuhi harapan sosial masyarakat Desa Pinggan, yang mengutamakan keberadaan anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan dan penjaga adat. Warga desa akan membangun rumah untuk keluarga tersebut yang dibangun diluar pekarangan desa, dan hak serta kebajibannya di Desa Pinggan akan dicabut dalam artian tidak lagi menjadi warga Desa pinggan. Satu-satunya cara agar keluarga yang telah disisihkan bisa diterima Kembali adalah ketika keluarga tersebut sudah memiliki anak laki-laki baik anak kandung maupun anak angkat, anak angkat ini biasanya diambil dari keluarga terdekat yang mempunyai anak laki-laki lebih dari satu.
ADVERTISEMENT
Tradisi kesisi mencerminkan deskriminasi gender yang kuat dalam tradisi Masyarakat Desa Pinggan dimasa lalu. Dimana anak laki-laki dipandang lebih penting dalam sistem sosial dan budaya, sedangkan anak-anak Perempuan dianggap kurang berarti dalam keberlangsungan garis keturunan keluarga. Hal ini mencerminkan terdapat patriarki yang mendalam dalam tradisi di Desa Pinggan, Kinramani, Bangli.
Untungnya, tradisi ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1988. Kemudian, Masyarakat Desa Pinggan mulai meninggalkan tradisi ini karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, hak asasi manusia dan ajaran agama hindu yang menekankan pentingnya nilai kesetaraan sehingga Masyarakat di desa pinggan memilih meninggalkan tradisi ini untuk menghormati nilai-nilai kemanusian.
Keputusan Masyarakat pinggan dalam meninggalkan tradisi kesisi (disisihkan), menyisihkan keluarga yang memiliki anak Perempuan lebih dari tiga merupakan Keputusan yang bijaksana yang patut diapresiasi. Karena baik anak laki-laki atau Perempuan mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama dari keluarga atau Masyarakat. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan lebih penting dibanding mempertahankan tradisi kuno yang diskriminatif yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusian.
ADVERTISEMENT
Dengan meninggalkan tradisi kesisi menunjukkan komitmen Masyarakat desa pinggan untuk menciptakan lingkungan sosial yang adil dan setara. Mereka mulai memahami bahwa anak laki-laki ataupun anak Perempuan memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diterima dalam keluarga maupun Masyarakat. Keputusan ini juga menjadi bukti bagaimana sikap terbuka Masyarakat Pinggan dalam mengahadapi perubahan zaman dan kemajuan sosial. Masyarakat Pinggan lebih memilih menghargai hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan, yang sejalan dengan agama hindu.
Ni Putu Ika Sami Antariasih, Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha