Konten dari Pengguna

Decluttering, Melatih Diri untuk Berani Mengambil Keputusan

Ika Lewono
Personal Storyteller Self-healing enthusiasts Urban Gardener Zero Waste Learner
21 September 2021 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ika Lewono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bawa barang lagi Bu?"
“Iya Pak. Hari ini ada laci kabinet, dandang, panci, sama kompor rusak. Sisanya ada buku, kertas, majalah, sama barang-barang plastik juga, Pak.”
ADVERTISEMENT
"Ok Bu, seperti biasa, ditimbang dulu ya."
Begitulah sepenggal percakapan saya dengan salah seorang pekerja di tempat pengelolaan barang-barang bekas. Di tempat ini barang-barang bekas akan dipilah lagi dan kemudian akan didaur ulang sesuai dengan klasifikasinya masing-masing.
Kedatangan saya yang sekarang adalah yang ketiga kalinya dalam dua bulan terakhir ini. Setiap kalinya, saya selalu membawa barang-barang bekas hingga satu mobil penuh. Barang-barang ini merupakan hasil dari memilah dan menyortir seluruh isi rumah yang saya tinggali sekarang ini.
sumber foto : freepik.com
Memang, sejak ketentuan PPKM dimulai, saya jadi punya banyak sekali waktu luang di rumah. Nah, daripada membaca atau mendengarkan berita-berita yang isinya bisa menimbulkan keresahan, lebih baik saya melakukan kegiatan bersih-bersih di rumah. Mulai dari kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, dapur, gudang, hingga halaman belakang. Pelan-pelan saya mulai merapikan dan menyortir seluruh isi rumah yang sudah mulai penuh sesak dengan barang-barang.
ADVERTISEMENT
Saya menemukan banyak sekali barang-barang yang sudah lama disimpan. Ada yang sudah rusak, ada yang sudah berjamur atau berkarat, tapi ada juga yang masih baru, belum terpakai sama sekali, dan bahkan ada juga yang masih tersegel rapi dalam bungkusnya. Semua barang tersebut tidak pernah dilihat, dicek, apalagi digunakan entah sejak kapan. Rasanya, seandainya saja barang-barang ini bisa bicara, mungkin mereka akan memprotes dengan sedih, mempertanyakan mengapa mereka dibiarkan teronggok diam begitu lama hingga lapuk tak berguna.
***
Menurut artikel yang pernah saya baca, kegiatan bersih-bersih yang sedang saya lakukan ini bisa disebut dengan istilah decluttering. Saya juga baru saja tahu istilah ini beberapa bulan belakangan. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, menurut translate google, decluttering artinya merapikan. Definisi istilah decluttering sendiri mengacu pada suatu kegiatan atau proses menyingkirkan barang-barang menumpuk yang sebenarnya tidak dibutuhkan, tidak lagi memiliki fungsi atau yang sudah tidak digunakan lagi.
ADVERTISEMENT
Decluttering bukan sekadar kegiatan beres-beres biasa. Bukan hanya menyapu, mengepel, merapikan, atau menyimpan barang-barang kembali pada tempatnya lalu selesai. Dalam decluttering diperlukan kemampuan untuk menyortir barang-barang yang kita miliki. Lalu tentukan barang mana saja yang tidak diperlukan dan kemudian menyingkirkannya untuk dibuang jika memang sudah tidak berfungsi lagi, atau bisa juga didonasikan jika barang-barang tersebut masih layak pakai.
***
Dalam keseharian, adakalanya kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Entah karena barang tersebut model terbaru dan sedang menjadi trend atau bisa juga karena istilah ‘lapar mata’, melihat barang bagus, lucu, keren, lalu dibeli. Tapi yang paling sering terjadi pada saya adalah ketika saya mendengarkan dan menuruti pikiran saya yang mengatakan “Beli deh, suatu saat pasti butuh,” Atau “Mumpung lagi diskon nih, beli aah!"
ADVERTISEMENT
Dan karena terlalu sering memanjakan keinginan saya dengan alasan "nanti juga kepake, beli aja dulu, simpen dulu", maka semakin bertambah lah tumpukan barang di rumah. Tumpukan barang-barang yang pada dasarnya tidak benar-benar saya butuhkan, dan yang bahkan mungkin tidak akan pernah saya gunakan juga.
Belakangan, setelah banyak membaca artikel tentang kesehatan mental dan melakukan proses refleksi diri, saya mulai menyadari bahwa timbulnya keinginan saya untuk terus membeli barang-barang ini didasari pada rasa takut akan kekurangan. Saya merasa apa yang sudah ada pada saya tidak pernah cukup, selalu saja saya merasa ada yang kurang. Kurang bagus, kurang canggih, kurang keren, kurang banyak.
Demikian juga dengan keinginan untuk terus menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak bisa digunakan lagi alias rusak atau tidak lagi layak pakai untuk jenis pakaian. Ada rasa takut akan kehilangan dan juga rasa enggan melepaskan karena tertanam suatu pemikiran ‘sayang untuk dibuang’ di benak saya. Dan semuanya itu kembali didasari pada satu hal yang sama, yaitu rasa tidak pernah cukup dalam diri saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Karenanya, ketika melakukan proses decluttering, saya menyadari bahwa ternyata saya juga sedang melatih diri saya sendiri untuk belajar mengambil keputusan. Keputusan untuk berani mengakui rasa takut kekurangan dan belajar menerima rasa kehilangan. Saya menghadapinya dengan mulai memilah dan menyortir barang-barang sudah tidak berguna lagi atau yang saya pikir saya butuhkan tapi sebenarnya tidak dan kemudian menyingkirkannya. Memberikannya kepada yang lebih membutuhkan atau menjual barang-barang tersebut ke tempat pengelolaan barang bekas seperti yang sudah saya lakukan saat ini.
Melalui proses decluttering, saya belajar untuk bisa menjalani keseharian saya dengan lebih baik. Namun yang paling berarti adalah, dengan melakukan proses ini saya juga belajar untuk berani mengambil keputusan penting. Keputusan untuk mulai mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saat ini saya sudah merasa ‘cukup’. Tidak ada yang kurang untuk apa pun yang sudah ada pada saya sekarang. Dalam hal sandang, pangan, papan, saya sudah dicukupkan. Semuanya pas, segalanya cukup.
ADVERTISEMENT
Dan yang terpenting adalah ketika saya memutuskan untuk lebih menyayangi diri saya sendiri dengan mengatakan tidak ada kurang dan tidak ada yang salah pada diri saya sendiri. I am good enough and I myself is more than enough.