Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Tak Kenal Lelah Perjuangkan HAM
6 April 2018 11:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Ika Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah aktivis dan mahasiswa tengah melakukan aksi diam dan berdiri menghadap Istana Merdeka dalam aksi Kamisan yang ke-533, Kamis (5/4). (Foto: Ika Puspitasari)
ADVERTISEMENT
Di bawah payung hitam, sekitar 50 orang yang juga mengenakan kaus hitam berdiri menghadap Istana Merdeka. Mereka melakukan aksi diam yang dimulai pada pukul 16.00-17.00 pada Kamis (5/4). Aksi Kamisan ini merupakan aksi ke-533 yang bertujuan untuk menuntut keadilan terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, salah satunya kasus Semanggi 1 yang mengakibatkan beberapa mahasiswa meninggal dunia lantaran ditembak oleh aparat ketika melakukan aksi.
Sumarsih adalah ibu dari Wawan, salah satu mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi 1, masih rutin mengikuti aksi kamisan sejak 18 Januari 2007 silam. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk cintanya kepada sang anak. “Cinta ini bertransformasi pada perjuangan untuk menegakkan supermasi hukum dan HAM,” katanya, Kamis (5/4).
ADVERTISEMENT
Sumarsih mengatakan, hal ini sudah menjadi tugas seorang ibu untuk melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawannya. “Setidaknya kami dapat mewujudkan agenda reformasi yang ketiga yaitu menegakkan reformasi hukum. Yang sudah meninggal ya sudah, akan tetapi ke depannya ada jaminan bahwa tidak ada pelanggaran serupa,” ujarnya.
Setiap Kamis, Sumarsih selalu mengikuti rangkaian aksi diam di Depan Istana Merdeka. Tuntutan mereka pun berbeda setiap minggunya. Pada Kamis yang ke-533 ini mereka mengusung tema “17 Tahun Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua”. Peserta aksi pun berasal dari berbagai kalangan, dari aktivis kemanusiaan hingga mahasiswa.
Menolak lupa peristiwa Wasior dan Wamena
Berawal dari sengketa antara masyarakat adat yang menuntut hak mereka terhadap perusaan kayu yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat, terjadi peristiwa Wasior berdarah pada Juni 2001 silam. Aparat keamanan serta korporasi yang bersangkutan melakukan kekerasan yang menyebabkan meninggalnya 4 orang masyarakat sipil, 39 orang yang disiksa, 1 perempuan sebagai korban pemerkosaaan, dan 5 orang lainnya dihilangkan secara paksa.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada 4 April 2003 terjadi kekerasan yang dilakukan oleh aparat di Wamena yang menyebabkan 9 orang meninggal dunia dan 38 orang mengalami luka berat. Tak hanya itu, terjadi juga perusakan fasilitas umum seperti geraja, sekolah, dan klinik yang menyebabkan pengungsian secara paksa.
Salah satu mahasiswa Bina Sarana Informatika (BSI) Dewi Sartika, Pujo Warsito mengatakan pada dasarnya Komisi Nasioal (Komnas) HAM telah selesai melakukan penyidikan dua tragedi tersebut. Sayangnya, kata Pujo, berkas itu hanya menambah daftar panjang berkas Komnas HAM yang menggantung di Kejaksaan Agung.
Pujo menilai, sebagai negara hukum, cara mengulur waktu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanya menciderai penegakan supermasi hukum yang telah dituntut oleh para pejuang reformasi dan demokrasi 20 tahun yang lalu. “Di penghujung pemerintahan 2014/2019, kami berharap Presiden menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan mengacu pada UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM sebagai jaminan tidak akan terulangnya kasus pelanggaran HAM berat,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sambung Pujo, berharap agar presiden menugasi Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyiikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan atas kasus Wasior dan Wamena. Terakhir, ia berharap agar menggelar pengadilan HAM Wasior dan Wamena, Papua.