Konten dari Pengguna

Bagaimanakah Konsep Keadilan dalam Hubungan Industrial?

Ika Sea Puspita
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya.
4 April 2025 16:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ika Sea Puspita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi justice. Sumber: (https://pixabay.com/id/photos/keadilan-tepat-hukum-pengacara-2755765/).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi justice. Sumber: (https://pixabay.com/id/photos/keadilan-tepat-hukum-pengacara-2755765/).
ADVERTISEMENT
Dapat kita ketahui bersama bahwasannya hubungan industrial dalam perspektif Islam di Indonesia saat ini dapat dilihat dari bagaimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam dunia kerja, khususnya dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi, memberikan pedoman yang komprehensif mengenai hubungan kerja yang adil, harmonis, dan manusiawi. Secara historis, hubungan industrial dalam Islam telah diatur melalui prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu prinsip utama yang menjadi landasan hubungan industrial dalam Islam adalah konsep keadilan (al-'adl). Dalam QS. An-Nahl ayat 90, Allah memerintahkan umat manusia untuk berlaku adil dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam transaksi ekonomi. Konsep keadilan dalam hubungan industrial berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja. Dalam konteks hubungan industrial modern di Indonesia, prinsip keadilan ini sering kali diwujudkan melalui perjanjian kerja yang transparan, penetapan upah minimum yang layak, dan jaminan kesejahteraan tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum dengan konsep rechtstaat yang mengadopsi sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law. Dalam konsep negara hukum ini, hukum positif atau peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum utama dalam penyelenggaraan bernegara. Hal ini tentunya mempengaruhi tata kelola pemerintahan di Indonesia, di mana segala bentuk penyelenggaraan negara harus didasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Namun, dengan banyaknya peraturan yang ada, seringkali terjadi tumpang tindih atau disharmonisasi antar peraturan yang satu dengan yang lainnya. Disharmonisasi ini bisa mencakup peraturan yang saling bertentangan, yang pada akhirnya menimbulkan masalah serius yakni berupa ketidakpastian hukum.
Di sisi lain, dalam perspektif syariah, hubungan kerja bukan hanya dilihat dari sisi materialistik, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Prinsip adl (keadilan) dan maslahah (kemaslahatan) menjadi dasar utama dalam hubungan kerja yang diatur oleh syariah, di mana pekerja harus mendapatkan upah yang sesuai dengan pekerjaannya dan hak-haknya harus dilindungi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam kenyataannya, penerapan prinsip-prinsip ini di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Masih ada kasus-kasus eksploitasi tenaga kerja, pemberian upah di bawah standar minimum, dan kondisi kerja yang tidak layak. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan industrial yang seharusnya berlandaskan prinsip keadilan dan ihsan. Selain itu, masih terdapat perusahaan yang cenderung memandang pekerja sebagai alat produksi semata, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka.
Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menghasilkan peraturan yang dapat diterapkan dengan baik, di mana dalam proses pembentukannya perlu mempertimbangkan efektivitas peraturan tersebut dalam masyarakat. Adapun tiga landasan dalam penentuan pertimbangan diantaranya:
Pertama, landasan filosofis. Di mana dalam hal ini merupakan suatu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat harus mencerminkan pandangan hidup, cita hukum, serta kesadaran berbangsa dan bernegara, yang mencakup nilai-nilai batiniah, filosofi hidup, dan ideologi bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini pokok permasalahan dari peraturan perundang-undangan harus dipikirkan secara mendalam untuk mendapat pembenaran atau suatu alasan yang dapat dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, landasan sosiologis. Di mana dalam hal ini merupakan suatu pertimbangan yang menunjukkan bahwa peraturan yang dibuat harus mencerminkan dan selaras dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan pengaturan, serta harapan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini berkaitan dengan fakta empiris yang mencerminkan keyakinan dan kesadaran hukum masyarakat sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan berbangsa serta bernegara, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut menjadi penting dalam memenuhi kebutuhan bangsa.
Landasan yuridis adalah pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan memperhatikan peraturan yang telah ada, yang kemudian akan diubah atau dicabut, demi memastikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Dalam hal ini berhubungan dengan masalah hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur, sehingga diperlukan pembentukan peraturan perundang-undangan baru. Landasan yuridis juga mencakup legalitas atau dasar hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta aspek formal yang menyangkut pihak yang memiliki kewenangan untuk membentuknya, serta aspek material yang terkait dengan masalah hukum yang tentunya juga perlu diatur.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, ketiga landasan tersebut tidak serta-merta dapat menjamin bahwasannya suatu peraturan perundang-undangan akan menjadi baik. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak hanya perumusan naskah akademik yang melibatkan ketiga landasan tersebut, tetapi juga ada teknik perancangan yang digunakan untuk mengubah suatu gagasan dan ide yang telah dituangkan dalam naskah akademik menjadi rancangan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Bagir Manan, yang menyatakan bahwasannya proses pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi penyusunan naskah akademik dan tahapan perancangan, di mana terdapat asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Lalu apa dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023?
Dalam hal konteks ini, UU Cipta Kerja memang dapat mempermudah dan mempercepat proses administrasi ketenagakerjaan, tetapi juga perlu adanya pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa prinsip keadilan dan kesejahteraan pekerja tetap terjaga. Syariat Islam mengajarkan bahwa hak pekerja harus dilindungi, termasuk dalam hal pengupahan yang adil. Tentunya dalam hal ini, setiap pekerja berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan pekerjaannya, tanpa adanya ketimpangan yang merugikan salah satu pihak. Namun, dengan adanya fleksibilitas dalam pengaturan upah dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang diberikan oleh UU CK, potensi terjadinya eksploitasi pekerja juga semakin besar. Hal ini menjadi tantangan besar bagi industri syariah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan pengusaha dalam mengelola usaha dan perlindungan hak-hak pekerja.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh yang perlu kita cermati adalah terkait dengan peraturan tentang PHK dalam UU Cipta Kerja. Dalam syariah, PHK tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan harus memenuhi syarat-syarat yang adil. Pemutusan hubungan kerja seharusnya menjadi langkah terakhir setelah adanya upaya penyelesaian yang adil, baik melalui negosiasi atau musyawarah. Hal ini tentunya berbeda dengan ketentuan UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK dengan prosedur yang lebih singkat dan lebih sedikit melibatkan pihak ketiga. Meskipun fleksibilitas ini dapat memudahkan pengusaha dalam menghadapi tantangan ekonomi, dalam perspektif syariah, hal tersebut bisa dianggap sebagai ketidakadilan jika tidak disertai dengan perlindungan yang memadai bagi pekerja yang terkena PHK.
Kemudian apa peluang dari peraturan tersebut?
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Cipta Kerja juga memberikan peluang besar bagi industri syariah untuk berkembang, dengan adanya kemudahan dalam membuka usaha dan mengurangi birokrasi yang menghambat. Pengusaha syariah dapat lebih leluasa mengembangkan bisnis mereka, asal tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengintegrasikan sistem jaminan sosial dan kesejahteraan pekerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Misalnya, pengusaha dapat menawarkan program asuransi kesehatan atau pensiun yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga memberikan manfaat yang nyata bagi pekerja, sehingga sesuai dengan prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam Islam.
Perlu kita ketahui, penting bahwasannya hubungan industrial dalam konteks syariah harus tetap menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dengan perlindungan sosial. UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan kebutuhan zaman, tetapi dalam sektor industri syariah, hal ini harus diimbangi dengan pengawasan yang memastikan bahwa hak-hak pekerja tidak terabaikan. Sesuai hadis riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya”. Dengan demikian, meskipun UU Cipta Kerja membawa dampak yang substansial, pengusaha dan pemerintah harus memastikan bahwa prinsip-prinsip syariah dapat terintegrasi dengan baik dalam praktik hubungan industrial, demi mencapai tujuan yang lebih besar yaitu keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan bagi para pihak yang terlibat.
ADVERTISEMENT