Kepemimpinan Tanpa Empati

Ika Susanti
Pranata Humas Ahli Muda pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Konten dari Pengguna
13 November 2023 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ika Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kepemimpinan, Sumber: www.shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kepemimpinan, Sumber: www.shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap hari kita berinteraksi dengan orang lain di lingkungan kerja. Inti dari interaksi sehari-hari ini adalah membangun hubungan dan terhubung dengan orang lain dalam perannya masing-masing, baik sebagai atasan maupun bawahan. Dalam interaksi diperlukan empati untuk meningkatkan komunikasi, serta menjaga keberlangsungan hubungan profesional maupun pribadi selama kita berada di lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Empati menjadi salah satu soft skill yang sangat penting dalam kepemimpinan. "Leadership is about empathy. It is about having the ability to relate to and connect with people for the purpose of inspiring and empowering their lives". Oprah Winfrey menegaskan bahwa kepemimpinan adalah tentang empati. Ini tentang kemampuan untuk membangun hubungan dan terhubung dengan orang lain, yang bertujuan untuk menginspirasi dan memberdayakan hidup mereka dengan cara sebagaimana mestinya.
Pengertian Empati
Menurut Gunarsa (2000) empati dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain. Goleman (1996) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal. Jadi empati sebenarnya mengajarkan kita untuk memahami dan berbagi, dengan menempatkan diri kita pada posisi orang lain.
ADVERTISEMENT
Sementara Taufik (2012) menyatakan bahwa empati merupakan perpaduan kemampuan pada dimensi kognitif dan afektif. Yaitu kemampuan yang terkait dengan kegiatan mental (otak) dan perilaku, yang mendorong individu untuk mengubah pola pikir kaku menjadi fleksibel dan pola pikir egois menjadi toleran. Sehingga seseorang yang empati digambarkan sebagai individu yang ramah, toleran, tidak kaku, mampu mengendalikan diri dan bersifat humanis.
Praktek-praktek Kepemimpinan Tanpa Empati
Posisi pemimpin sebagai pengambil keputusan seringkali membuatnya lupa membangun hubungan dan terhubung dengan bawahan dalam komunikasi yang baik. Pemimpin cenderung menjadikan bawahan sebagai obyek penerima perintah yang harus selalu patuh, dan bukan sebagai subyek pelaku yang ikut berperan aktif menggerakkan laju organisasi. Meskipun dianggap sebagai soft skill yang sangat penting, namun ternyata masih ada praktek-praktek kepemimpinan tanpa empati di lingkungan kerja, sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Memimpin dengan Sikap Otoriter
Pemimpin yang bersikap otoriter merasa memiliki kekuatan penuh dalam pengambilan keputusan dan kontrol mutlak terhadap bawahannya. Bertindak dengan sewenang-wenang dan siap menyingkirkan orang-orang yang tidak sejalan. Perintahnya harus dipatuhi tanpa syarat. Bersikap egois, tidak suka dengan kritik, saran dan masukan.
Bergaya "one man show", merasa kelebihannya sebagai power untuk menyelesaikan semua masalah. Seringkali mengabaikan atau menyepelekan pendapat orang lain. Merasa paling pintar, paling hebat dan paling benar dalam semua pengambilan keputusan. Tidak peduli walaupun keputusannya itu salah dan menimbulkan kesusahan bagi banyak orang.
2. Mengutamakan Kompetisi daripada Pembinaan
Pemimpin yang mengutamakan kompetisi, pada dasarnya tidak menyukai pembinaan dalam kepemimpinannya karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Mereka ingin percepatan, sehingga lebih memilih kompetisi sebagai cara untuk mendapatkan talenta terbaik dalam waktu singkat. Kualifikasi individu dan target-target capaian organisasi ditentukan dengan standar yang sangat tinggi, agar bisa mewujudkan kompetisi yang (menurut ukuran mereka) lebih berkualitas.
ADVERTISEMENT
Namun target-target itu dibuat tanpa memperhitungkan kemampuan sumber daya dan situasi kondisi pendukungnya. Sehingga kompetisi berlangsung bagaikan "seleksi alam", dimana yang kuat akan bertahan, sedangkan yang lemah akan ditinggalkan bahkan (karirnya) dibinasakan. Dalam penerapannya malah membuat proses menjadi lebih rumit, tidak ada toleransi terhadap kekurangan atau kesalahan, dan lebih fokus pada hukuman daripada penghargaan.
3. Memberdayakan secara Eksklusif
Pemimpin yang memberdayakan secara eksklusif merasa cukup bekerja dengan orang-orang pilihannya saja dan tidak memberikan kesempatan partisipasi pada yang lain. Orang-orang eksklusif ini terpilih karena sejalan sepemikiran, dan bisa diajak berlari untuk mengejar percepatan. Tim-tim kecil seperti ini sebenarnya memang efektif dalam bekerja. Akan tetapi penugasan menjadi tidak merata, begitu pula dengan penghargaan yang menjadi timpang dan jauh dari rasa keadilan.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyebabkan munculnya jurang pemisah yang cukup lebar, antara orang-orang yang terpilih dengan orang-orang yang terpinggirkan karena kurang mendapat kesempatan. Kesenjangan kompetensi akan terjadi karena tidak adanya proses transfer knowledge satu sama lain. Rasa saling percaya dan soliditas sulit dibangun karena tidak ada kolaborasi dalam bekerja. Begitu pula dengan informasi menjadi tidak terbuka, karena akses komunikasi yang terbatas.
4. Maunya Tahu Beres
Pemimpin yang maunya tahu beres, pada umumnya tidak peduli dengan proses. Mereka hanya peduli dengan output dan tidak mau terlalu dipusingkan dengan keterbatasan sumber daya untuk menghasilkan output tersebut. Mereka juga tidak bersedia mendampingi selama proses berjalan, sehingga tidak solutif dengan segala permasalahan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka tidak ada "missions impossible", semua tugas harus bisa dilaksanakan dengan target capaian yang telah mereka tentukan. Prinsip mereka, makin efisien penggunaan sumber daya maka kinerja bawahan makin baik (padahal belum tentu hasilnya efektif). Mereka tidak suka jika bawahan mendiskusikan masalah tersebut, dan lebih suka bila bawahannya menyelesaikan masalah tanpa masalah. Tanpa banyak protes, tanpa banyak bertanya, dan diselesaikan dengan sumber daya seadanya.
5. Membatasi Komunikasi dengan Bawahan
Pemimpin yang membatasi komunikasi dengan bawahan sebenarnya kurang bisa bekerjasama dengan orang lain, dan lebih senang bekerja sendiri (single fighter). Mungkin ada rasa kuatir ide-ide dan pemikirannya akan diambil atau ditiru, sehingga pelit berbagi informasi dan pengetahuan. Merasa takut tersaingi dan menjaga jarak dengan bawahan, tapi justru aktif berkomunikasi dengan atasan.
ADVERTISEMENT
Membatasi komunikasi dengan bawahan bisa juga karena rasa kuatir akan mendapat banyak tuntutan dan feedback negatif. Ketika proses sedang berjalan pemimpin tidak membimbing bawahan, karena dianggapnya semua sudah memahami apa yang seharusnya dikerjakan. Baginya yang terpenting bagaimana performanya di mata atasan, dan tidak terlalu peduli hubungannya dengan bawahan yang kurang baik.
Dampak Kepemimpinan Tanpa Empati
Hasil penelitian organisasi Catalyst pada 889 karyawan di Amerika Serikat yang dilansir Forbes tahun 2021 menemukan bahwa pemimpin yang empati mampu meningkatkan kemampuan karyawan untuk berinovasi, memacu keterlibatan dan kontribusi secara maksimal, mendorong loyalitas dan mendukung partisipasi secara inklusif untuk memberikan kinerja terbaik. Sehingga pemimpin yang empati secara keseluruhan akan dapat mendorong proses pembelajaran dan pertumbuhan organisasi.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada hasil penelitian tersebut maka dampak kepemimpinan tanpa empati akan menyebabkan bawahan kehilangan motivasi untuk berbuat yang terbaik, menjadi apatis, serta kehilangan semangat untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi yang sangat dibutuhkan organisasi untuk terus berkembang. Kontribusi semua anggota sangat dibutuhkan dan seharusnya pemimpin mampu mendorong bawahan tumbuh dan berkembang dalam keberagaman, untuk memperkaya perspektif demi kemajuan dirinya dan organisasi.
Selain itu, kurangnya pemberdayaan dan penghargaan akan menyebabkan hilangnya loyalitas pada organisasi. Kondisi ini memungkinkan organisasi kehilangan talenta-talenta terbaik, yang pada akhirnya akan melemahkan kekuatan organisasi dalam menghadapi tantangan. Pemimpin perlu membangun rasa saling percaya dan soliditas agar organisasi dapat berkembang secara positif berlandaskan kejujuran, konsistensi, kejelasan, keterbukaan, keadilan dan keandalan semua sumber daya. (IkS)
ADVERTISEMENT
Referensi:
Goleman, D. (1996). Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja . Jakarta: BKK Gunung Mulia.
Taufik. (2012). Empati: Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo.