Mengatasi Thanos Syndrome dengan Instrospeksi Diri

Ika Susanti
Pranata Humas Ahli Muda pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Konten dari Pengguna
19 November 2020 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ika Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Paling Benar dan Paling Hebat, Foto: Doc. Pribadi
Film Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019) mempopulerkan tokoh Thanos musuh terkuat Avengers yang sangat fenomenal. Sebenarnya Thanos punya niat yang sangat mulia, ingin menjaga keseimbangan alam semesta. Akan tetapi keinginannya tidak diikuti dengan cara yang baik. Thanos menghancurkan setengah populasi alam semesta yang dianggapnya sudah terlalu padat dan rusak. Thanos juga menaklukkan planet-planet untuk mendapatkan Infinity Stone agar bisa mendapatkan kekuatan yang luar biasa, dengan mengendalikan kenyataan, jiwa, waktu, kekuatan, ruang dan pikiran.
ADVERTISEMENT
Thanos yang begitu kuat dan tak terkalahkan membuatnya selalu merasa paling benar dan paling hebat, sehingga muncullah fenomena baru yang disebut Thanos Syndrome. Sindrom terkait dengan perasaan paling benar dan paling hebat, yang tanpa disadari akan merugikan dan menyusahkan orang lain. Merasa paling benar menyebabkan seseorang sulit menerima pendapat, masukan/saran dan kritik orang lain. Menganggap keputusannya adalah yang terbaik dan memaksakan semua orang menerima dan mengikuti keputusannya. Bersikap egois, keras kepala dan sulit merubah keputusan, walaupun menyadari keputusannya salah. Hidup dalam dunia dan pemikirannya sendiri dengan ukuran kebenaran pada dirinya.
Sedangkan merasa paling hebat menyebabkan sikap meremehkan orang lain. Sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan dan tidak pernah mau disalahkan. Merasa kelebihannya sebagai power untuk menyelesaikan semua masalah. Fokus pada kelebihan diri sendiri, merasa paling unggul, paling pintar, paling tahu dan paling kuat. Kekuasaan akan membuatnya berbuat sewenang-wenang. Kekuatan akan membuatnya menyingkirkan orang-orang yang tidak sejalan. Tidak ada yang boleh menandingi kehebatannya apalagi mengalahkannya. Bersikap "one man show", intoleransi dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, berupaya melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya.
ADVERTISEMENT
Karakter tersebut akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang-orang di sekitarnya. Apabila muncul dalam suatu tim kerja, dapat menyebabkan konflik dan perpecahan. Teman-teman atau orang-orang terdekat akan menjaga jarak atau malah menjauh. Situasi ini akan dimanfaatkan oleh orang-orang untuk kepentingan pribadi, yang sebenarnya belum tentu loyal, sejalan dan sepemikiran. Perpecahan akan terjadi pada tim, yang terbagi dalam kelompok pro dan kontra. Situasi yang sangat tidak sehat dalam dalam suatu tim kerja, yang bila tidak diatasi akan berkembang dalam lingkup organisasi.
Thanos Syndrome akan dapat diatasi dengan kesadaran untuk melakukan introspeksi diri. Dikutip dari howieandbelle.com introspeksi diri yaitu proses bercermin untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan pribadi. Dengan tujuan untuk bisa mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dan mencegah kekeliruan agar tidak terlanjur semakin jauh. Introspeksi diri dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Menyadari kekurangan dan kelemahan diri. Cobalah menulis daftar kekurangan dan kelemahan diri sendiri. Untuk si paling benar dan paling hebat hal ini bukanlah suatu hal yang mudah. Maka mintalah bantuan orang terdekat yang bisa menilai secara obyektif. Jangan marah dan merasa tersinggung dengan kritik yang diberikan, karena itulah fakta diri kita di mata mereka.
2. Belajar mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Tidak ada yang sempurna di dunia ini termasuk diri kita. Mengalahkan egoisme dengan memberikan kesempatan orang lain menyatakan pendapatnya. Bisa jadi yang disampaikannya lebih benar atau lebih tepat. Apalagi bila didukung data dan fakta yang kuat, dengan pertimbangan yang cermat. Bila ternyata pendapat itu lebih baik daripada pendapat kita, maka kita harus berbesar hati menerimanya.
ADVERTISEMENT
3. Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Mengakui kesalahan bukanlah suatu hal yang mudah. Rasa gengsi seringkali membuat kita sulit meminta maaf walaupun menyadari kita salah. Niat dan tujuan yang baik tidak selalu diikuti cara yang tepat, maka berbesar hatilah untuk meminta maaf. Seseorang yang berjiwa besar akan mau mengakui kesalahannya dan menunjukkan kesungguhan untuk memperbaikinya.
4. Kembangkan rasa empati. Empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2004). Bertindaklah dengan logika yang diimbangi dengan rasa empati. Lihatlah dampak dari keputusan kita bagi orang-orang di sekitar dan lingkungan. Cobalah menempatkan diri di posisi mereka yang terdampak keputusan tersebut, apakah menyebabkan kesusahan atau kerugian. Tidak ada untungnya juga bagi kita hidup di atas penderitaan orang lain.
ADVERTISEMENT
5. Stress release dengan kegiatan positif. Terlalu fokus pada tujuan akan membuat kita stress dan lelah. Dalam kondisi seperti itu, seringkali kita mengambil keputusan yang salah. Alihkan strees pada kegiatan positif yang kita sukai, misalnya berkebun, olah raga, memasak, menulis, membaca, ataupun sekedar santai bersama keluarga. Berikan waktu istirahat pada diri sendiri untuk dapat berpikir lebih jernih.
6. Kembangkan sikap religius. Sebagai makhluk Tuhan tentunya kita punya keyakinan atas kuasa-Nya. Kebenaran dan kehebatan itu hanyalah milik-Nya. Diatas langit masih ada langit, apa yang kita miliki sekedar titipan dan amanah yang harus kita jaga, suatu hari harus kita pertanggungjawabkan. Maka hiduplah dengan cinta kasih, tebarkan kebaikan dimanapun kita berada. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan. (IkS).
ADVERTISEMENT