Pemimpin Otoriter, Masihkah Diperlukan?

Ika Susanti
Pranata Humas Ahli Muda pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Konten dari Pengguna
12 April 2021 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ika Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemimpin Otoriter, Sumber: Doc. www.duniakaryawan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemimpin Otoriter, Sumber: Doc. www.duniakaryawan.com
ADVERTISEMENT
Pemimpin otoriter bagi sebagian besar masyarakat rasanya sudah tidak diperlukan lagi saat ini. Di zaman perubahan yang serba cepat, di mana demokrasi dan keterbukaan informasi menjadi tuntutan publik. Walaupun kenyataannya pemimpin otoriter masih banyak ditemui di berbagai negara dan organisasi, dalam skala besar maupun kecil.
ADVERTISEMENT
Faktanya mereka terpilih sebagai pemimpin melalui proses yang demokratis. Mereka hadir membawa perubahan signifikan bahkan cenderung frontal, yang berdampak positif maupun negatif bagi negara ataupun organisasi.
Kita mengenal pemimpin-pemimpin dunia yang berperilaku otoriter, tapi justru terpilih secara demokratis oleh rakyatnya. Seperti Benito Mussolini PM Italia yang terpilih tahun 1924, Adolf Hitler kanselir Jerman yang terpilih tahun 1932, Donald Trump presiden AS yang terpilih tahun 2016, Rodrigo Duterte presiden Filipina yang terpilih tahun 2016 dan Jair Bolsonaro presiden Brasil yang terpilih tahun 2018.
Mereka berhasil memenangkan pemilu di negaranya masing-masing, bahkan beberapa di antaranya menang secara mutlak. Mereka dikenal sebagai pemimpin yang idealis, kontroversial, tegas, kuat, dominan dan pemberani.
Mengapa para pemimpin otoriter tersebut dapat dilegitimasi oleh rakyatnya? Yang jelas para pemimpin otoriter ini punya konsep perubahan yang kuat sejak awal. Mereka menawarkan sesuatu yang berbeda, menjanjikan pembaharuan dan perbaikan.
Presiden AS Donald Trump berbicara saat akan berangkat dari Joint Base Andrews, Maryland, AS, Rabu (20/1). Foto: Carlos Barria/REUTERS
Mereka pandai memanfaatkan situasi politik dan kelemahan konsep rival-rivalnya. Perilaku otoriter seperti menjunjung tinggi kepatuhan dan ketertiban, melindungi norma-norma sosial, budaya, kebangsaan atau ras tertentu serta patriotisme, dianggap sebagai pilihan yang tepat dalam kondisi yang serba tidak pasti. Konsep out of the box yang tidak umum cenderung disukai, karena masyarakat mudah bosan dengan segala sesuatu yang bersifat prestis dan populis.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan skala yang lebih kecil dalam organisasi? Para pemimpin otoriter ini dapat terpilih melalui uji kompetensi, lelang jabatan atau evaluasi kinerja. Konsep efisiensi, efektivitas dan peningkatan profit menjadi isu yang paling ditunggu.
Kebijakan-kebijakan yang bersifat "konvensional", bukan konsep yang tepat dalam kompetisi kepemimpinan. Berani tampil beda rasanya menjadi keniscayaan yang saat ini sangat dicari. Konsep-konsep yang kuat terhadap perubahan, menjadi harapan baru dalam upaya pencapaian tujuan organisasi.
Pemimpin otoriter biasanya melakukan perubahan dengan cara paksaan. Untuk mempercepat proses pengambilan keputusan, komunikasi dilakukan searah dengan dominasi perintah atau instruksi. Pemimpin otoriter juga sangat menyukai metode sentralisasi untuk mengendalikan semua sumber daya.
Dalam menegaskan kebijakannya, pemimpin otoriter seringkali menggunakan intimidasi, tekanan atau ancaman. Keputusannya berlaku mutlak dan merupakan undang-undang yang harus dipatuhi tanpa debat. Biasanya pemimpin otoriter menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi-posisi vital, untuk memudahkan proses pengendalian dan pengawasan. Kepada orang-orang kepercayaan inilah pemimpin mendelegasikan kewenangan secara penuh ataupun terbatas.
ADVERTISEMENT
Model kepemimpinan seperti ini tidak akan bisa berlangsung dalam jangka panjang, dan biasanya berakhir dengan tragis dan sad ending. Seperti Mussolini yang berakhir di hadapan regu tembak, atau Hitler yang berakhir bunuh diri dengan kapsul sianida akibat kekalahannya pada Perang Dunia II, walaupun ada juga yang menyatakan kematiannya karena serangan artileri Uni Soviet.
Dan baru-baru ini bagaimana Trump dengan kekalahannya yang memalukan, meninggalkan Gedung Putih tanpa penghormatan yang pantas dari rakyatnya. Sedangkan Duterte dan Bolsonaro masih terus menjabat hingga saat ini, dengan kebijakan-kebijakannya yang kontroversial.
Bila terus berada di bawah intimidasi, tekanan atau ancaman, akan ditemukan titik jenuh dari orang-orang yang dipimpinnya. Titik jenuh itu akan berdampak kontradiktif seperti penolakan, resistensi dan sikap apatis. Ketidakmampuan untuk menyalurkan ide-ide dan kreativitas, kurangnya pemberdayaan, kurangnya fasilitas dan penghargaan, krisis kepercayaan dan hambatan komunikasi akan menyebabkan turunnya motivasi dan produktivitas.
ADVERTISEMENT
Bila terus berlangsung, hal ini tentunya akan berbahaya bagi negara atau organisasi. Pencapaian tujuan akan sulit diwujudkan, karena pada dasarnya pemimpin tidak dapat berjalan sendiri tanpa orang-orang yang dipimpinnya.
Hal itulah yang seharusnya disadari oleh pemimpin otoriter. Model otoriter sebaiknya tidak dijadikan pilihan, terlebih untuk digunakan dalam jangka panjang. Kecuali dalam teori kepemimpinan situasional (contingency), model otoriter hanya dapat digunakan dalam situasi tertentu yang bersifat darurat bagi negara atau organisasi.
Di mana dalam situasi darurat tersebut memang dibutuhkan keputusan atau perubahan yang cepat. Artinya bila tidak dilakukan, akan berdampak kerugian yang lebih besar bagi negara atau organisasi. Model otoriter juga dapat diterapkan dalam organisasi militer, untuk membentuk soliditas, kepatuhan dan jiwa korsa, yang diperlukan untuk keselamatan negara dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Selain untuk alasan-alasan krusial tersebut, model otoriter sangat tidak efektif untuk digunakan di zaman ini. Leadership is based on inspiration not domination, on cooperation not intimidation, William Arthur. Otoritas yang dijalankan dengan dominasi dan intimidasi tidak akan berlangsung lama.
Cepat atau lambat pemimpin akan kehilangan dukungan dan sumber daya terbaik yang dimilikinya. Pemimpin tidak akan bisa mengharapkan loyalitas orang-orang yang dipimpinnya dalam jangka panjang. Negara atau organisasi juga akan kehilangan citra positif di mata publik dan para stakeholder.
Dan menjadi pilihan bagi para pemimpin, apakah berakhir dengan indah dalam penghormatan yang layak, atau berakhir dalam kesedihan dan tragedi. (IkS).