Konten dari Pengguna

FGM atau “Sunat Perempuan” yang Masih Berkembang di Masyarakat Pedalaman

ikah lianasari
Mahasiswi Universitas Pamulang
1 Oktober 2024 7:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ikah lianasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ini adalah anak-anak perempuan yang diambil di Kp. Cigaclung, Desa Sobang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Banten.
zoom-in-whitePerbesar
Foto ini adalah anak-anak perempuan yang diambil di Kp. Cigaclung, Desa Sobang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Banten.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
FGM (Female Genital Mutilation) atau istilah umumnya dikenal “sunat perempuan” adalah pemotongan atau pencabutan alat kelamin eksternal perempuan yang dilakukan secara sengaja. Praktik tersebut masih berkembang, terutama di masyarakat pedalaman. Kurangnya pendidikan ataupun penyuluhan, masyarakat menganggap tradisi sunat perempuan ialah hal yang harus dijalankan oleh perempuan, terutama pada bayi-bayi. Salah satu contoh di Kampung C, sunat perempuan dilakukan oleh paraji (dukun bayi dalam bahasa Sunda) saat bayi tersebut berusia 40 hari.
ADVERTISEMENT
Mengutip dalam jurnalperempuan.org sunat merupakan istilah bahasa Arab, yaitu khitan. Secara etimologi berarti memotong. Berbagai buku klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit yang menutupi hasyafah atau ujung kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh berasal dari kata khafdh artinya memotong ujung klitoris pada vagina.
Dianalisir dalam Instagram BincangMuslimah.Com secara historis menurut keterangan Wahbah Zuhaili di al Fiqh al Islami Wa Adilatuhu sunat perempuan sudah ada jauh sebelum kehadiran agama Islam sejak Zaman Mesir kuno yang diyakini sebagai bagian dari ritual penyucian jiwa.
Di Indonesia sendiri, lebih dari setengah populasi perempuan pernah mengalami sunat perempuan pada 2015, merujuk data The Women Stats Project. Pencegahan dan penghapusan praktik sunat perempuan menghadapi banyak hambatan dalam perjalanannya. Dari sisi agama, ada yang menyebut praktik sunat perempuan dipercaya dapat memuliakan perempuan (makrumah), walaupun secara medis jelas tidak ada manfaatnya.
ADVERTISEMENT
Nyai Nur Rofiah (Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an ‘PTIQ’) dalam Kajian Gender Islam (KGI) menekankan secara Al-Qur’an dan hadis tidak pernah secara tegas atau jelas yang menyatakan hukum sunat bagi perempuan. Hal ini justru melahirkan pandangan dan tafsir berbeda-beda yang bias gender dan pada akhirnya merugikan, menyakiti, bahkan membahayakan perempuan.
Oleh karena itu, tradisi sunat perempuan yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman harus kita cegah. Baiknya kita adakan penyuluhan kepada masyarakat ataupun puskesmas mengenai bahaya sunat perempuan. Mungkin akan sulit, karena tradisi tersebut sudah melekat di masyarakat. Setidaknya ketika kita memberikan penyuluhan ataupun sekolah perempuan, maka masyarakat akan sedikit terbuka pemikirannya mengenai bahayanya sunat perempuan. ‘Pelan tapi Pasti’.