Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Ikan Sidat: Belut Bertelinga yang Harus Melakukan Ruaya Dalam Hidupnya
31 Maret 2024 11:20 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Haryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hampir setiap tahun ada satu kata yang sangat populer di kalangan masyarakat kita terutama ketika sudah memasuki pertengahan bulan Ramadhan yaitu kata “Mudik”. Mengutip dari laman KBBI-online, yang dimaksud dengan mudik adalah pulang ke kampung halaman yang paling banyak dilakukan dalam waktu seminggu menjelang lebaran. Mudik ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan salah, aktivitas mudik juga dilakukan oleh jenis ikan tertentu. Istilah mudik pada ikan dikenal pula dengan sebutan "Ruaya atau migrasi". Merujuk pada Nikolsky (1963), yang dimaksud dengan ruaya adalah perpindahan sekelompok ikan dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk memperoleh kondisi lingkungan yang menguntungkan dalam rangka eksistensi dan proses reproduksi spesies. Berdasarkan kebiasaan melakukan mudik atau ruaya, maka ikan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok ikan peruaya dan non peruaya. Pada ikan peruaya, ketika stadia atau fase tertentu dalam hidupnya harus melakukan ruaya agar terjamin proses regenerasi dari populasi ikan tersebut tetap berlangsung.
Salah satu jenis ikan yang paling terkenal aktivitas ruayanya adalah salmon. Atraksi salmon dalam melakukan ruaya selain berenang yang kuat adalah meloncat-loncat menuju ke bagian hulu sungai yang berarus deras. Habitat ikan salmon dari stadia anakan sampai dewasa adalah di laut, namun ketika akan memijah stadia dewasanya (indukan) harus melakukan perjalanan jauh menuju hulu sungai sebagai tempat pemijahan/reproduksi.
ADVERTISEMENT
Perairan sungai yang dituju merupakan tempat dimana indukan tersebut dulunya dilahirkan atau menetas. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ruaya pada ikan dikatakan juga dengan “mudik” karena terdapat kesamaan prinsip yaitu sama-sama menuju tempat dimana dilahirkan (Kampung Halaman). Hanya saja pada ikan untuk kembali ke tempat dimana mereka ditetaskan dilakukan dengan cara mengenali bau kimiawi spesifik perairannya.
Kemampuan alamiah untuk membau tersebut dikenal pula dengan istilah “Home Instinct atau Reproductive Homing”. Kemampuan ini tentunya akan terganggu bila kondisi perairan sungai yang menjadi tempat kelahiran ikan salmon tersebut terganggu atau tercemar sehingga proses pemijahan/reproduksinya menjadi terkendala.
Sebaran habitat ikan salmon umumnya di kawasan sub tropis, bagaimana dengan di Indonesia apakah ada jenis ikan yang termasuk ke dalam kelompok ikan peruaya atau pemudik? Nah, salah satu ikan peruaya yang ada di Indonesia dan menarik untuk dikaji adalah sidat (Anguilla spp.). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara detail di bawah ini.
ADVERTISEMENT
1. Apa Itu Ikan Sidat?
Sidat merupakan ikan yang jika dilihat dari bentuk tubuhnya sekilas mirip dengan belut, akan tetapi mempunyai sirip dada (pectoral fin) yang terletak tepat di belakang tutup insang dan menyerupai daun telinga. Oleh karenanya dikenal pula dengan sebutan “Belut Bertelinga”. Tubuh sidat ditutupi oleh sisik-sisik kecil yang halus berbentuk oval yang tertanam di kulitnya. Pada permukaan tubuhnya mempunyai lendir yang sangat licin seperti halnya pada belut.
Sidat merupakan ikan konsumsi bernilai ekonomis tinggi dengan kandungan gizi yang sangat bermanfaat untuk membantu kecerdasan maupun kesehatan manusia. Daging sidat mengandung protein 16,64%, vitamin A sebesar 4700 IU, Omega-3 10,9 gr/100gr, DHA 1337 mg/ 100 gr, kandungan zat besi 9 mg dan kalsium mencapai 150 mg (Pratiwi, 1998). Bahkan Froese & Pauly (2024) mencatat kandungan protein sidat mencapai 18,8%.
ADVERTISEMENT
Sidat merupakan komoditas ekspor yang penting terutama ke negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea dan China. Makanan khas Jepang yang terkenal dari daging sidat adalah "Unagi". Harga sidat ukuran konsumsi mencapai ratusan ribu rupiah per kilogramnya dengan ukuran ideal yaitu 3-4 ekor dalam satu kilogramnya.
Ikan sidat mempunyai banyak nama lokal, antara lain dundung, dendung, ilih dan usi di Sumatera; lubang dan moa di Jawa Barat; pelus, gateng, lumbon dan uling di Jawa Tengah; baduan dan belu dami di Madura; langeo dan maapi di Kalimantan; sogili di Sulawesi; dan masapi di Maluku. Jika melihat dari banyaknya nama lokal yang sudah dihimpun oleh Schuster dan Djajdiredja tahun 1952 maka tergambarkan bahwa ikan sidat hampir ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sidat juga hampir ditemukan di semua benua sehingga ada beberapa nama sidat yang melekat dengan wilayah yang menjadi habitatnya. Sebagai contoh, sidat Eropa (Anguilla Anguilla), sidat Amerika (Anguilla rostrata), sidat Australia (Anguilla australis), sidat Jepang (Anguilla japonica), dan untuk Indonesia termasuk ke dalam sidat tropis dengan jumlah spesies yang cukup banyak.
2. Kerabat Ikan Sidat di Indonesia
Keragaman spesies ikan sidat di Indonesia termasuk tinggi, setidaknya terdapat 9 dari 19 spesies yang ada di dunia. Bahkan Indonesia dianggap sebagai pusat sebaran ikan sidat di dunia. Spesies sidat yang terdapat di perairan Indonesia adalah Anguilla bicolor bicolor, A. bicolor pacifica, A. marmorata, A. celebesensis, A. borneensis, A nebulosa, A. reinhardti, A. obscura, dan A. bengalensis. Diantara spesies tersebut terdapat satu sidat endemik yang hanya ditemukan di Kalimantan yaitu A. borneensis yang dinamai langeo oleh masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Adapun jenis sidat yang sudah dibudidayakan di Indonesia baru dua spesies yaitu Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata. Untuk membedakan kedua spesies tersebut cukup mudah berdasarkan awal sirip punggung dan warna tubuhnya. Awal sirip punggung pada A. bicolor hampir sejajar dengan awal sirip dubur, sedangkan pada A. marmorata awal sirip punggung terletak jauh di depan awal sirip dubur. Pola warna A. bicolor memiliki dua warna dasar yaitu pada bagian atas kehitaman dan keperakan di bagian bawahnya; sedangkan pada A. marmorata semua sisi tubuhnya berwarna kekuningan dengan corak hitam seperti marmer.
3. Siklus Hidup dan Budidaya Sidat
Sidat termasuk ikan katadromus, pada stadia anakan (benih) yang lebih dikenal dengan istilah glass eel sampai stadia dewasa hidup di perairan tawar akan tetapi ketika akan bereproduksi stadia dewasanya harus beruaya menuju ke laut yang dalam (sekitar 400 m) sebagai tempat pemijahannya. Siklus hidup sidat sangat kompleks dengan beberapa fase, yaitu fase Leptocephalus, benih (glass eel), elver, yellow eel dan silver eel. Pola ruaya sidat berkebalikan dengan salmon yang merupakan kelompok ikan anadomus. Salmon hidup dan tumbuh besar di laut namun ketika akan memijah beruaya menuju ke perairan tawar.
Pada setiap fase selain mengalami perubahan bentuk juga akan menempati perairan yang berbeda. Umur sidat mulai bertelur tergantung spesiesnya dan untuk sidat tropis termasuk yang di Indonesia antara 3-10 tahun. Sebagian besar spesies sidat bertelur di perairan laut kawasan tropis termasuk Indonesia. Jumlah telur setiap indukan (fekunditas) sangat besar antara 7 juta sampai 13 juta butir dengan diameter kurang lebih 1 mm. Dalam waktu 4 sampai 5 hari telur-telur tersebut akan menetas dan menjadi leptocephali. Larva sidat (glass eel) akan terbawa arus mendekati muara-muara sungai, dan masuk ke mulut sungai dengan bantuan pasang surut air laut. Proses ruaya sidat terjadi pada waktu malam hari saat bulan gelap terutama pada musim penghujan.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, budidaya sidat baru dapat dilakukan untuk tahap pembesaran yaitu menangkap benih atau glass eel dari alam lalu dibesarkan sampai ukuran konsumsi dengan bobot ideal 250-300 gram per ekornya. Pertumbuhan sidat termasuk lambat jika dibandingkan dengan komoditas ikan budidaya lainnya seperti ikan mas, nila, dan lele dumbo. Untuk mencapai ukuran konsumsi ideal tersebut jika dipelihara dari stadia glass eel diperlukan waktu 12-18 bulan dengan menggunakan pakan berprotein tinggi yaitu di atas 30%. Hal ini dikarenakan sidat termasuk kelompok ikan karnivora atau pemakan daging.
Lokasi penangkapan benih sidat terutama di muara sungai yang merupakan jalur mudik bagi benih sidat di sepanjang pantai barat Sumatera dan Selatan Jawa. Salah satu lokasi penangkapan benih sidat yang paling populer adalah muara Sungai Cimandiri di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Namun demikian masih banyak lokasi lain yang merupakan jalur mudik benih sidat.
ADVERTISEMENT
Harga benih sidat sangat fluktuatif tergantung dari perkembangan kegiatan budidayanya. Ketika kegiatan budidaya berkembang dengan baik maka harga benihnya sangat menjanjikan yang berkisar antara 2-3 juta rupiah per kilogramnya. Dalam satu kilogram benih berisi sekitar 5000 ekor. Sayangnya, tingkat kelangsungan hidup (Survival rate) dari benih yang dibesarkan/dibudidaya masih rendah. Hal ini berdampak terhadap kebutuhan glass eel menjadi tinggi atau dapat dikatakan terjadi 'Pemborosan benih'. Padahal sidat belum dapat dibenihkan secara buatan dan masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam untuk pasokan kegiatan budidayanya.
4. Aktivitas Ruaya Pada Ikan Sidat
Secara umum ikan melakukan ruaya dengan tujuan mencari tempat yang sesuai untuk mencari makan (Feeding ground), mencari tempat pemijahan (Spawning ground), dan pemeliharaan anakannya (Nursery ground). Seperti halnya ikan peruaya lain, sidat beruaya dengan tujuan utama melakukan pemijahan pada stadia dewasanya. Jalur ruaya yang dilewati oleh ikan sidat dapat berasal dari danau atau hulu sungai lalu menuju muara sungai dengan cara pasif yaitu mengikuti arus (denatant). Setelah sampai muara sungai dan untuk menuju tempat pemijahan (spawning ground) aktivitas ruaya dilakukan secara aktif (constratant).
ADVERTISEMENT
Satu hal yang menarik terkait jalur ruaya sidat dalam rangka melakukan pemijahan adalah jaraknya yang sangat bervariasi tergantung spesiesnya. Jika merujuk Arai (2018), spesies A. borneensis dan A. celebesensis jarak menuju tempat pemijahan kurang dari 100 km dari habitat tempat dibesarkannya. Lokasi pemijahan untuk spesies yang pertama di sekitar Laut Sulawesi sedangkan spesies yang kedua di sekitar Teluk Tomini. Selanjutnya, pada A. marmorata berjarak antara 1000-3000 km dengan lokasi pemijahan di kawasan Samudera Pasifik. Bagaimana dengan sidat spesies A. bicolor yang tempat tumbuh besarnya di kawasan pantai selatan Jawa, tentu akan mencapai ribuan kilometer karena ditengarai tempat pemijahan spesies tersebut di Samudera Indonesia sekitar Kepulauan Mentawai Bengkulu. Setelah melakukan pemijahan, indukan tersebut diduga mengalami kematian akibat kehabisan energi/kelelahan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena jarak tempat pemijahan yang juah maka waktu kembali (mudik) anakan dengan stadia glass eel yang dihasilkan sampai ke muara sungai asal indukan dibesarkan berkisar antara 4-6 bulan (Arai et al. 2001). Adapun untuk sidat dari spesies yang sama dengan habitat tumbuh besarnya di pantai barat Sumatera maka jarak dan waktu mudik tentu akan lebih pendek.
5. Rintangan dan Ancaman Perjalanan Ruaya Ikan Sidat
Proses perjalanan ruaya sidat bukanlah tanpa hambatan layaknya jalan tol terkadang terjadi juga kemacetan. Faktor yang paling krusial selain adanya penangkapan oleh nelayan adalah fragmentasi habitat. Pemenggalan jalur ruaya salah satunya adalah akibat bangunan waduk/bendungan yang tidak dilengkapi dengan ‘Fishway atau jalan ikan’. Keberadaan bendungan menjadi salah satu penghambat bagi ikan peruaya apalagi bila tidak dilengkapi dengan fasilitas fishway. Sampai saat ini masih banyak bendungan di Indonesia yang belum dilengkapi dengan fishway sehingga sangat berdampak negatif terhadap kelestarian ikan-ikan peruaya termasuk sidat.
ADVERTISEMENT
Pemasangan perangkap terhadap ikan stadia dewasa di jalur mudik juga banyak dilakukan oleh para nelayan di beberapa wilayah. Padahal indukan sidat tersebut sedang melakukan perjalanan menuju tempat pemijahan. Aktivitas penangkapan bukan hanya terhadap stadia indukan akan tetapi dilakukan juga di jalur mudik stadia anakan (glass eel), yaitu di muara sungai dengan alat tangkap yang berbeda tergantung lokasinya. Sebagai contoh, di muara sungai wilayah Palabuhanrat Sukabumi menggunakan anco dan sodok yang terbuat dari jaring halus. Di Poso Sulawesi Tengah menggunakan perangkap seperti bubu tapi panjangnya bisa sampai lima meter yang juga terbuat dari jaring yang halus.
Oleh karena besarnya ancaman terhadap kelestarian ikan sidat, di sisi lain belum dapat dilakukan pembenihan secara buatan maka pemerintah Indonesia melakukan upaya konservasi dengan cara perlindungan terbatas yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 tahun 2020. Pengaturan sidat pada regulasi ini secara garis besar sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Benih semua spesies Ikan Sidat (Anguilla spp.) pada stadium glass eel tidak boleh ditangkap setiap bulan gelap tanggal 27-28 Hijriah;
b. Sidat dari spesies Anguilla bicolor dan Anguilla interioris dewasa dengan berat diatas dua kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu; dan
c. Anguilla marmorata dan Anguilla celebesensis dewasa, dengan berat diatas lima kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu.
Mengingat perjalanan mudik atau ruaya sidat yang panjang dan memakan waktu yang lama, serta banyaknya ancaman selama perjalanan tersebut maka sudah saatnya dilakukan upaya perlindungan yang konstruktif agar populasinya tetap lestari sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Terlebih, sidat mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.
ADVERTISEMENT