Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Minyak Goreng Kemasan, Minyakita
5 September 2024 8:54 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muhamad Ikhwan Abdul Asyir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Muhamad Ikhwan Abdul Asyir, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jayabaya, Manajer Program Al Wasath Institute
Dari sekian banyak negara yang memproduksi olahan sawit, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka produksi terbesar di dunia. Ini terbukti dengan catatan data dari United States Departement of Argiculture (USDA) yang menyebutkan bahwa diantara kurun waktu 2019 - 2022, Indonesia mampu memproduksi sekitar 42 sampai 46 juta ton minyak sawit pertahun. Angka ini jika dikalkulasikan dengan presentasi adalah setara dengan 58 - 59% dari total produksi global. (Pertanian.co, 2024)
ADVERTISEMENT
Selain sebagai produsen, Indonesia juga tercatat sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Salah satu bentuk olahan minyak sawit yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah minyak goreng. Dengan konsumsi minyak goreng sekitar 20 kilogram/kapita/tahun, Indonesia memerlukan sekitar 5,4 juta kilogram minyak goreng sawit setiap tahunnya. (Palmoilina.asia, 2023). Angka ini menujukan bahwa tingkat konsumsi masyarakat kita terhadap berbagai olahan makanan yang menggunakan minyak goreng sangat besar, berbagai peluang dan tantangan pun hadir akibat tingginya angka ini.
Dari sini kita bisa melihat, minyak goreng sawit merupakan komonditas yang begitu dekat dengan masyarakat kita. Bahkan bisa dikatakan, minyak goreng sawit yang masuk dalam sembilan bahan pokok bagi masyarakat (p2k.stekom.ac.id) kita ini adalah bahan yang hampir pasti tidak bisa dihindari di interaksi masyarakat. Tak hanya soal makanan, kontribusi minyak goreng sawit ini juga memberikan peranan yang strategis pada sektor ekonomi masyarakat. Ruang sebarannya yang begitu besar, menjadikan minyak goreng sawit mudah untuk diperjual belikan di kalangan kita, bagi mereka pelaku usaha menengah kebawah sekalipun, karena minyak goreng merupakan bahan pokok konsumsi, kegiatan penjualan minyak goreng ini menjadi sangat mungkin dilakukan.
ADVERTISEMENT
Beberapa peluang dan tantangan atas komonditas minyak goreng sawit diantaranya adalah pengendalian produksi, sistem distribusi dan pengelolaan daya beli masyarakat terhadap produk minyak goreng. Selain itu, pengawalan terhadap ketersediaan minyak goreng sawit di Indonesia juga penting dilakukan, mengapa demikian. Hal ini selain untuk memastikan penyebarannya mampu dilakukan secara merata di berbagai wilayah kita, dengan harga yang terjangkau, tujuan agar kebutuhan masyarakat menengah kita atas minyak goreng bisa dipenuhi.
Apalagi, bagi mereka yang berkerja pada sektor kuliner dan banyak tersebar di berbagai wilayah, ketersediaan atau pasokan minyak goreng utamanya dengan harga yang relatif terjangkau tentu akan berdampak pada stabilitas ekonomi masyarakat. Tak berlebihan jika dikatakan keberadaannya mampu menjadi sumber masukan bagi usaha kecil yang terdapat di suatu daerah. Minyak goreng semakin memposisikan dirinya sebagai komonditas yang begitu penting menopang keberlangsungan kerja ruang ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Serangkaian Aturan Minyak Goreng
Masyarakat kita sempat dihebohkan soal minyak goreng ini, apalagi melihat beberapa waktu yang lalu, khususnya ketika pemulihan ekonomi pasca pademi yang melanda tahun - tahun kebelakang, sampai ketersediaan minyak goreng sempat langka di pasar. Adapun jika ketersediaan barang ada, harga jual beli yang ada cenderung mahal bagi masyarakat. Dari sini diperlukan berbagai terbosoan langkah dan kebijakan oleh pemerintah guna memperbaiki keadaan yang ada.
Mengenai pengaturan tentang minyak goreng di Indonesia, sebelumnya diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2021, selain itu, pada waktu selanjutnya, diubah menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2022 yang mengatur Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. (Kemendag.go.id, 2024)
ADVERTISEMENT
Selain itu, beberapa kebijakan sebelumnya juga telah diambil oleh pemerintah untuk mengendalikan harga minyak goreng, yaitu kebijakan satu harga melalui Permendag No. 3 Tahun 2022 yang kemudian diganti dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) melalui Permendag No. 6 Tahun 2022. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO) melalui Permedag No. 2 Tahun 2022 untuk menjamin ketersediaan pasokan minyak goreng dengan harga terjangkau. Sayangnya, pelaksanaan kebijakan tersebut belum sesuai harapan. (Dian Cahyaningrum, 2022).
Perbaikan Regulasi
Pemerintah melalui Kementerian Pergadangan kemudian meluncurkan Permendag Nomor 18 Tahun 2024 sebagai penyempurnaan dari regulasi minyak goreng yang belaku sebelumnya. Hadirnya Permendag ini tentu menjadi tanda bahwa pengaturan tentang stabilitas harga dan inflansi minyak goreng akibat angka produksi dan konsumsi yang tinggi coba dilakukan. Hadrinya aturan ini juga menjadikan pembaharuan terhadap aturan sebelumnya yang berkemungkinan sudah tidak relevan dengan kebutuhan saat ini. Dalam peraturan baru ini, beberapa akomodasi coba ditata ulang. Contohnya seperti dorongan akan optimalisasi DMO yang direalisasikan melalui pengaturan DPO dan HET yang sebelumnya kurang kompatibel coba diatur lagi besarannya.
ADVERTISEMENT
Pentingnya pengaturan harga ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Effendi bahwa Kebijakan pemerintah tentang harga minyak goreng adalah untuk membantu masyarakat tetap berproduksi, memperoleh keuntungan maksimal, dan setidaknya meringakan ekonomi keluarga (Effendi, 2022). Sedangkan penyesuaian besaran DPO dan DMO ini adalah langkah yang diambil karena terimplikasi harga minyak global yang berubah secara dinamis. Ini juga dilakukan sebagai respon pasar ekspor produk turunan kelapada sawit yang cenderung berubah pula di perdagangan global.
Lebih merinci, Permendag Nomor 18 Tahun 2024 mengakomodir perbaikan distribusi skema Domestic Market Obligation (DMO) yang sebelumnya mengatur baik dalam bentuk minyak curah dan kemasan, kini berfokus pada kemasan minyakita. (Emitennews.com, 2024). Karena minyak kemasan seringkali menjadi pilihan minyak goreng masyarakat, potensi akan kelangkaan, permainan harga tinggi, dan penurunan kualitas minyak konsumsi berbentuk curah sangat mungkin terjadi, pengaturan tentang DMO yang berfokus ke minyak kemasan minyakita tentu akan menutup kemungkinan - kemungkinan tersebut.
ADVERTISEMENT
DMO bagi pelaku ekspor yang semula sebesar 20% dari volume ekspor dalam Permendag ini diubah menjadi 30%. Hal ini dilakukan bertujuan agar pemenuhan kebutuhan sebaran minyak goreng sawit kemasan di pasar lokal. Ini juga artinya, potensi kekurangan minyak lokal dengan daya konsumsi tinggi akan semakin dicegah. Dalam teori supply dan demand menurut hukum ekonomi, jika demand (permintaan) cukup tinggi namun pasokan komoditas dari produsen (supply) sangat kecil, maka akan terjadi kenaikan harga.
Sebagai merek lokal, minyakita juga nantinya akan semakin menaik eksistensinya sebagai produk dalam negeri yang mampu bersaing. Penggunaan merek inipun bisa dilakukan oleh produsen manapun tentunya dengan pemenuhan persyaratan yang harus dipenuhi. Distribusinya juga akan optimal dimasing - masing level pasar yang ada, dengan bentuk kemasan yang lebih rapi, pendistribusian akan lebih mudah, minim product loss bagi setiap produsennya.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari segi produksi, pengalihan DMO yang semula masih termasuk minyak curah dan kini hanya dalam minyak goreng kemasan dengan merek minyakita, maka konsentrasi pada produksi minyak kemasan minyakita mampu tumbuh dengan baik. Para produsen minyak goreng, dengan adanya Permendag ini akan semakin memperhatikan proses dalam pengelolaannya. Para produsen juga bisa dengan mudah menggunakan merek minyakita atas hasil produksinya, tentunya dengan pengajuan terlebih dahulu. Penggunaan merek ini tentu akan secara langsung berdampak pada segi distribusi ke pangsa pasar. Para prosuden akan mampu menekan biaya promosi mereknya, apalagi jika merupakan merek baru, dengan menggunakan merek minyakita, produk yang ada sudah jelas familiar di masyarakat.
Kemudian dari segi tingkat komsumsi, penggunaan merek minyakita tentu akan semacam menumbuhkan public trust masyarakat pada produk minyak goreng yang tersedia. Sebab walaupun hendak dipungkiri sekalipun, dalam distribusi produk di kalangan masyarakat, faktor kepuasan atas sebuah merek tertentu akan menentukan seberapa besar potensi keterterimaan produk tersebut. Pun dengan produksi minyak goreng dengan merek minyakita, tujuan minyak kemasan akan diterima masyarakat dengan baik bisa dicapai.
ADVERTISEMENT
Namun dalam Permendag ini juga, yang menjadi catatan adalah dimana Domestic Price Obligation (DPO) diatur ulang yang mempengaruhi penambahan harga eceran tertinggi (HET). Hal ini perlu diperhatikan betul, karena dengan kenaikan HET ini bisa berpotensi penurunan besaran daya konsumsi. Produsen minyak sawit juga harus menghitung ulang dengan seksama untuk menjual bahan bakunya ke produsen minyak goreng.
Perhatian akan kandungan
Sebagai bahan konsumtif tinggi yang hampir selalu beririsan dengan masyarakat kita, perhatian akan jaminan kualitas sebaran olahan minyak goreng sawit ini juga penting dilakukan. Hal ini agar tingginya angka konsumsi minyak goreng juga beriringan dengan pemenuhan konsumsi gizi yang dibutuhkan. Maka pengaturan akan jaminan produk minyak goreng yang tersebar benar - benar berkualitas itu harus terus dilakukan. Hal ini selain agar sebarannya optimal, produk yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat kita kebanyakan terjaga betul secara kandungan nilai gizinya.
ADVERTISEMENT
Permendag Nomor 18 Tahun 2024 ini juga berorientasi pada konsentrasi ini, dimana diatur di dalamnya tentang ketentuan bentuk kemasan minyak goreng yang tidak mudah rusak. Ketentuan ini juga berlanjut pada minimalnya kemasan yang ada mampu memenuhi syarat tara pangan yang sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan, yaitu SNI dan izin edar dari BP POM, serta aturan maksimal 25 kilogram/kemasan. (Mediaindonesia.com, 2024)
Lewat ini, ke depan, masyarakat kita smemperhatikan betul, bahwa minyak goreng dengan kemasan tentu akan lebih terjamin skala kandungan gizi, keamaan dan kualitasnya, dibandingkan dengan minyak curah yang masih banyak juga tersebar di kalangan konsumsi masyarakat kita. Perhatian masyakarat kita juga akan semakin terbuka akan pentingnya menyediakan bahan konsumsi yang lebih bernilai gizi dan kualitas baik dari pada hanya sekedar memenuhi konsumsinya saja.
ADVERTISEMENT
Terakhir, semoga pengawalan dan pengendalian tentang minyak goreng ini terus dievaluasi, tidak hanya menjadi segelintir momentum saja. Semoga tujuan utama mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui yang salah satunya mampu ditopang melalui kebijakan sektor ekomoni dan perdagangan ini mampu diwujudkan.